Leon Kruger sebagai anak lelaki umur sepuluh—pola pikirnya jauh lebih dewasa dari fisiknya. Segala hal diolah teliti serta penuh pertimbangan di dalam kepala kecil itu. Bersama dengan Kanna Arenberg, sejak hari itu, sejak segalanya berubah—mereka selalu berjalan bersisian, dengan hasrat proteksi terhadap satu sama lain, begitu hati-hati terhadap insan asing.
Saat Hera dan gadis kecilnya memutuskan untuk pindah ke suatu area yang jauh, Leon dan Kanna bersumpah akan menemukan. Akan menemui Mya Laskaris, akan kembali menjadi kawan dekatnya. Hera tertawa halus dan berpegang pada janji itu. Maka, itulah hari terakhir mereka melihat Mya. Pada saat itu pula Asher Arenberg keluar dari kota kecil dan mengambil pendidikan lanjut jauh di New Jersey sana.
Kanna Arenberg setelahnya berusaha untuk menghubungi Raine Arenberg. Adik dari kakeknya. Ada basa-basi yang payah sebelum pada akhirnya ia menjelaskan situasinya, serta bagaimana pada akhirnya ia tinggal dengan keluarga Kruger.
Raine tertawa miris di telepon waktu itu. Kanna dapat mendengar suara serak yang getir kala alto itu berujar, “Keluarga Arenberg memang sulit bahagia.”
Namun respon selanjutnya ialah apa yang Raine tak sangka. Kanna memberi anggukan, mengeratkan cardigan merah marun, dan berujar, “Mungkin iya. Tapi, aku bisa bertemu Leon.”
Dan itu pun cukup. Raine tersenyum—tulus. Bocah umur sepuluh yang seharusnya sama sekali tidak merasakan hal seperti ini. Maka, di obrolan yang panjang serta menguras emosi itu, beberapa kesimpulan diraih. Raine berjanji akan terus mengabarkan Kanna dan Leon perihal Asher. Entah itu soal keadaan pemuda tanggung itu, di mana ia, dan sebagainya.
Setelahnya, apa yang terjadi hanyalah waktu yang terasa melangkah begitu cepat. Leon dan Kanna tahu-tahu sudah dalam masa akhir SMA-nya. Di senja hari, ponsel Kanna bergetar—nada panggilan masuk. Tertera nama Raine di sana. Maka, gadis itu mengangkat telepon seperti biasanya dan menyahut sopan, “Malam, Raine. Ada apa?"
“Oh. Hanya ingin mengabarkan saja. Apa bocah Kruger ada di sana?”
Leon yang tengah terbaring malas di kasurnya kini menegakkan telinga. Kanna memberi anggukan meski ia yakin pamannya tak melihat. Selanjutnya, tombol speaker ditekan dan ia berujar, “Ada.”
“Teman kecil kalian—siapa namanya? Mya? Ibunya, Hera, ternyata masih sering bertukar surel dengan Asher. Bocah itu juga baru memberitahuku tadi.”
Leon mengerjap. Bola mata cerah yang warnanya tak pernah membosankan bagi Kanna membola. Ada rasa terkesiap di sana—serta memori terdahulu melintas nihil aba-aba. “Lalu? Apakah Sir Asher mengatakan sesuatu?” Leon bertanya.
“Ya. Katanya, putri Hera akan masuk kuliah di salah satu universitas di New Jersey. Tepatnya di mana—aku tidak tahu.”
Saat telepon ditutup, Leon dan Kanna termenung. Kanna yang lebih dulu membuka suara dan memecah keheningan, “Raine pernah cerita kalau Sir Asher memiliki kawan baik.”
Anggukan dari Leon. “Elden Fritz. Kita bisa mencarinya. Tapi sekarang … ada puluhan universitas di New Jersey.”
“Tidak bisakah kita meminta Raine untuk bertanya pada Asher dan menagih jawaban lebih rinci dari Aunty Hera?”
Leon memberi gelengan kali ini. “Mencurigakan. Asher pasti akan bertanya-tanya mengapa Raine ingin tahu sejauh itu.”
“Tapi … mereka sama-sama di New Jersey. Paman dan Mya—maksudku.”
Leon menarik sudut-sudut bibir. “Kebetulan yang mengerikan, ya?”
Kanna mengangkat alis singkat. Itu benar. Tapi mengandalkan kebetulan serta keberuntungan bukan cara mereka. Sang gadis kini melangkah dari meja belajar, lalu duduk di sisi kasur. Ia membiarkan sepasang iris abu-abunya mengarah pada Leon dan bertanya, “Apa dia punya hobi? Atau sesuatu—yang menurutmu akan jadi pilihannya dalam mengambil jurusan di kuliah?”
Leon mengusap-usap bagian belakang kepala. Tak butuh waktu lama hingga ia mengerjap, menendang sebelah sudut bibir, lalu, nah—Kanna dapat melihat kepercayaan diri yang sedikit kekanak-kanakan, namun sarat akan keyakinan. “Dia suka bernyanyi. Kita bisa menyaring universitas mana pilihannya.”
Kanna, kini, ikut mengukir kurva tipis pada bibirnya. “Elden dan Sir Asher sama-sama lulusan Seton Hall University, kan? Aku bisa mencari tahu kontak Elden dari sana dan kita bisa menemuinya.”
Maka, berbekalan tekad dan segudang harapan, rencana sederhana mereka susun. Terasa naif, tidak logis, serta tolol—tapi, inilah yang mereka lakukan. Saat menemukan satu universitas yang memiliki segudang jurusan, termasuk musik di dalamnya, Leon menghubungi universitas dan berlagak ingin apply ke sana. Oh—tidak, ia tidak sepenuhnya membual. Kanna memiliki ketertarikan dalam bidang seni fotografi dan universitas itu menyediakan jurusan yang dicarinya. Seperti melempar satu batu dan mengenai dua burung.