Alarm itu berdering keterlaluan keras. Asher Arenberg meraih ponselnya, mengernyit akan sinar layar yang merisak, lalu mematikan dering. Empasan napas kasar lolos. Selanjutnya ia membenamkan wajah ke bantal dan mau tak mau satu hal yang masuk ke dalam pikirannya yang sadar adalah wajah seorang perempuan bersurai cokelat yang mencengir bagai orang tolol.
Asher menggeram. Masih berusaha mencerna segala informasi yang ditumpah-ruahkan di atas kepalanya semalem. Soal diri Mya, soal Leon dan Kanna yang diam-diam menarik seluruh tali, soal kawan kuliahnya yang brengsek dan bekerja sama, soal Marshall Emile yang ternyata sudah tahu selama ini, dan … oh—sialan. Ia baru ingat. Asher mengangkat kepala, lalu kembali menyambar ponselnya dan menekan kontak yang amat teramat familiar.
Mendekatkan layar ponsel ke daun telinga, tak berapa lama, sahutan terdengar dari seberang sana, “Halo?”
“Raine, kau brengsek,” Asher menyumpah secepat yang ia bisa. “Selama ini kau melapor apa pada Leon dan Kanna?”
“Oh, sudah ketahuan, ya?”
“Sudah ketahuan, ya—kepalamu.”
Ada tawa menggelegar di sana. Mau tak mau—Asher hanya dapat mengembus napas panjang. Sudah lama sekali sejak terakhir ia mendengar tawa pamannya yang begitu lepas seperti itu. Mau murka pun rasa-rasanya sulit sekarang.
“Kenapa? Kau sangat mencintainya, kan? Kurasa bukan pilihan yang salah.”
Asher meretas panggilan. Ia sekali lagi menarik napas dan mengembuskannya sebelum bangkit dari kasurnya. Ia pergi ke arah kamar mandi, membasuh wajah, menyikat gigi. Setelahnya ia memakai jaket olahraga sederhana, mengenakan sepatu, lalu menggenggam ponsel pintar dan keluar dari pintu apartemennya.
Memulai rutinitas, lelaki itu mulai berlari santai sejak keluar dari lobby apartemennya. Langkahnya berkelana di sepanjang jalan hingga tak terhitung seberapa jauh ia memacu tungkainya. Meski ia memakai earphone dan lagu senantiasa terputar di sana, namun isi kepalanya juga melayang jauh dan tak di tempat. Saat sampai di sebuah taman, iris keabuan Asher mau tak mau menyadari seseorang terbaring melintang pada bangku taman. Ia nyaris saja menghela napas dramatis dan memijit pelipis sebelum menghampiri Mya.
Ada tepukan sederhana pada pipi Mya. Mya membuka pelupuk. Bohong kalau detak jantungnya tidak melewati satu interval—lalu disusul detak yang bertalu-talu. Padahal, baru saja ritmenya perlahan tenang setelah Mya beristirahat dari lari pagi yang melelahkan. Senyumnya merekah, menyapa, “Pagi, Sir Asher.”
“Dunia sangat sempit,” Asher merespon tidak acuh. Mya terkekeh tipis, lalu bangkit menjadi posisi duduk, dan membiarkan Asher mengambil tempat di sebelah perempuan itu. Hening merengkuh untuk beberapa saat.
Hanya duduk dalam diam, dengan kesederhanaan. Mentari pagi, anak-anak yang datang dan berlarian, beberapa pejalan kaki lewat, serta mobil yang beberapa kali melintas. Selanjutnya Mya bertanya sederhana, “Semalam bicara apa saja dengan Leon dan Kanna?”
Asher mendengus pendek. “Hanya ketololan mereka.”
“Hm-mmn,” Mya bergumam. Anggukan singkat menjadi respon lainnya.
Kali ini, Asher lah yang membuka suara, “Tidak bisa tidur?” tanyanya. Wajar saja. Ada lingkaran hitam di bawah mata dan jelas sekali Mya kekurangan banyak waktu tidur.
Mya tersenyum tipis. “Hanya membaca terlalu banyak.”
Asher mengangguk paham. Ia tidak melanjutkan apa-apa. Saat kesunyian kembali membalut, akhirnya Mya berdiri dari sana. Sebab seberapa nyamannya ini terasa, Mya sangat gugup dan rasanya ingin segera kabur. Gugup karena—entahlah, Asher yang terduduk di sebelahnya terasa begitu dekat dengan pundak yang hampir menyentuh. Wajah Mya kembali menghangat bukan hasil dari lari pagi. Maka Mya selanjutnya berujar dengan senyum, “Sampai jumpa di kampus, Sir Asher.”
Asher menoleh ke arah Mya.
“Hei."
...
“Kanna."
“Hmn?” Kanna memerhatikan catatannya. Dosennya baru saja memberi teori tentang fotografi lanskap. Ia harus mempelajari ini, kemudian melakukan tugas mingguannya dan mencari lokasi yang pas.
Mya memiringkan kepalanya sesaat, kemudian bertanya, “UKM Bahasa Inggris biasa ada lomba speech tahunan kan?”
Ada anggukan dari Kanna. Makan siang yang dipesannya belum disentuh dan ia lanjut memberikan informasi dari apa yang diingatnya, “Biasanya, sih, begitu. Kalau tidak salah bulan ini sudah dimulai kok pendaftarannya. Siapa pun yang ikut akan dapat sertifikat.”
Mya mengangguk puas. Mengulum senyum, lalu Mya menjawab relaks, “Iya, aku hanya memastikan. Cara daftarnya bagaimana? Tinggal ke ruangannya saja, ya?”
“Iya, kurasa begitu. Mya ingin ikut?”
“Yap.”
Kanna, kali ini, mengerjap dan barulah mengangkat kepalanya. Kerutan pada dahinya terpahat jelas dan ia bertanya dengan polos, “Untuk apa? Kau mengincar sertifikat?”
Mya terkikik kecil. “Ada, deh. Ya sudah, aku daftar dulu, ya.”
Kanna tidak paham. Mya pergi dari meja itu dan melangkah menjauh dari area kantin. Ketukan sepatu Mya kontinu dan membawa tubuh ke arah lift. Mya mengingat-ingat di mana ruangan UKM Bahasa Inggris. Setelah itu, Mya menekan tombol dan membiarkan benda besi itu membawa ke arah lantai yang dituju.
Saat telah menemukan lorong dan kelas yang tepat, Mya mengetuk pintu dan masuk ke dalamnya. Ketua UKM menyambut Mya dengan senyum tipis, “Ada yang bisa dibantu?”
Mya mengangguk, kirimkan senyum halus. “Aku ingin daftar lomba speech untuk yang tahun ini.”
“Oh, boleh. Silakan tulis nama, nomor mahasiswa, dan nomor ponsel di sini,” ujar ketua itu, mengulurkan formulir yang telah terisi hingga setengah, Mya juga menerima pulpen yang diulurkan, kemudian mulai menulis sesuai yang dipinta.
Selanjutnya Mya mendengar sang ketua UKM menjelaskan, “Acaranya tanggal 7 November di aula utama. Nanti lewat nomor telepon, aku invite, ya, ke multi-chat. Semua informasi akan dikirimkan di sana.”
Mya menarik sudut-sudut bibir. “Sweet. Oh, iya. Semester ini aku ada mata kuliah Inggris … boleh, tidak, materinya kuambil dari salah satu assignment?”
Ketua itu mengangguk. “Boleh, nanti dibicarakan dulu dengan dosen terkait, ya. Kalau dosennya sudah setuju, aku minta nama dosen dan tema speech-mu.”
“Eh—bebas, kan, temanya?”
“Bebas, kok.”
Mya tunjukkan cengiran. Ada ucapan terima kasih sekali lagi sebelum Mya pergi keluar dari kelas tersebut. Saat melinjak lorong dan berencana untuk menuju kelas selanjutnya, lagi-lagi—pada perempatan lorong, Mya melihat sosok yang familiar, tengah merokok di area khusus dan bersandar pada pigura jendela. Ada senyum yang diukir sebelum Mya mendatangi Asher dan mengapa, “Sir.”
Asher menoleh, mengangguk. Sedikit tidak menyangka. Sigap, ia memadamkan linting dan memasukkannya ke dalam kantung kulit kecil. Mya tidak bisa menahan senyum tipis. “Kenapa?” tanya Asher.