Felicity

Clarecia Nathaniel
Chapter #10

IX — E-Mail

"Kelemahannya? Kamu, lah."

Mya tersenyum tipis. Sesudah memastikan bahwa bar telah rapi dan kini saatnya untuk kembali, Mya berniat untuk mencari Marshall. Maka Mya melangkah keluar dari kamar mandi dan berjalan ke arah ruangan Elden, mengharapkan sang pemuda bersurai pirang kusam akan ada di sana.

Saat hendak mengetuk, telinga Mya menegak.

“Lagipula, aku juga hanya menyimpulkan. Terakhir kali Hera membalas surelku adalah satu tahun lalu.”

Suara Asher. Mya termenung. Kerutan pada dahi semakin dalam dan lobus berusaha mengorek informasi terdalam yang entah terkunci pada kotak memori yang mana. Oleh dari itu, Mya berbalik sepenuhnya dan malah menemukan Marshall di dekat pintu arah lorong menuju parkir mobil. Siap mengantar Mya untuk pulang. Senyum Mya terbit—sangat tipis. “Pulang, yuk.”

Ada anggukan. Marshall memastikan sekali lagi ketika kalian menggerakkan tungkai dan menuju mobilnya, “Apartemenku?”

Gelengan. “Maaf, Mar, ada sesuatu yang harus kuurus.”

Alright.”

Tidak masalah bagi Marshall. Saat sudah mengantarkan Mya—hanya seperti biasa, ada ucapan selamat malam, terima kasih, dan Mya memasuki lobby gedung apartemen. Bahkan saat menunggu lift, kaki perempuan mengetuk-ngetuk tak sabar dan alisnya bertaut—isi kepala hanya satu hal, yakni membuka laptop, kemudian masuk ke dalam akun e-mail Hera.

Saat sudah di dalam ruang apartemen, Mya buru-buru mengunci pintu, membiarkan kuncinya tergantung, mengempas tasnya ke sofa, dan duduk di hadapan meja belajar sebelah ranjang. Mya menyalakan laptop, pergi ke internet, mengetik laman e-mail provider, lalu terdiam.

Ada desah lelah terlolos. Selanjutnya Mya menekan tengkuk dengan kedua tangan sebelum mengingat-ingat ucapan Hera—di akhir hayatnya.

...

“Sudah semester dua, ya … cepat, ya."

Mya tersenyum tipis. Apel yang telah dikupas ditaruh di atas meja. Seberapa sering pun Mya datang ke sini dan menghidu aroma antiseptik—Mya tidak akan terbiasa dengan itu. Hera yang memahami senyum putrinya kini bertanya lembut, “Kenapa? Jelek banget, mukanya."

“Mom,” Mya memanggil. Gelengen pendek diberikan. “Terimalah pengobatan. Uangku masih banyak. Kerjaku di Lightya lumayan. Kalau tidak, aku akan terus mencari. Tapi—”

“Sayang,” tukas Hera. “Mom tidak mau ngobrol soal ini, oke?”

“Mom terlalu keras kepala,” Mya mendesis. Menahan air mata, berusaha abaikan perih pada dada. Sejak dulu, selalu begitu. Sesosok ibu yang begitu kuat, mandiri, yang dapat membesarkan Mya Laskaris seorang diri. Seseorang yang teguh dan selalu tak ingin tunjukkan kelemahan—hingga hari ini.

“Iya, keras kepalaku menurun padamu, ya.”

Mya menarik napas, mengempasnya berat. Hera kemudian meraih rahang putrinya, membuatnya menatap sepasang iris kecoklatan Hera yang indah. Sewarna kacang kastanya dan cermelang, meski pucat dan gurat tua menghiasi wajahnya.

“Kamu sudah punya pacar? Siapa, tuh, yang sering kamu ceritakan … Marshall?”

Mya mendengus. “Cuman sahabat baik, Mom.”

“Kalau kekasih, belum mau punya?”

“Belum ketemu.”

Hera mengangguk-angguk paham. Selanjutnya ia berujar, “Tahu, tidak. Ada seseorang yang sangaaat sayang banget sama kamu. Kamu mungkin tidak ingat, tapi dulu dia sempat tinggal di dekat kita.”

Mya menatap Hera heran. Mya tidak mengingat pernah memiliki tetangga yang cukup dekat. Dan pastinya Mya tidak berselera untuk bertukar kata soal kekasih dan sesuatu semacam itu. Tidak kalau ibunya tengah terbaring pada kasur putih metah rumah sakit.

“Kalau Mya penasaran dan waktunya tepat, buka saja e-mail Mom, ya. Tapi kalau Mya bahagia dan menemukan seseorang yang kausayang … ya sudah, tidak usah."

...

Saat mengingat hari itu, senyum teduh Mya kambuh. Sebuah obrolan sederhana, sesuatu yang seharusnya bisa menjadi konversasi sehari-hari ibu dan anaknya. Sebuah penjelasan sederhana dari Hera tentang tetangga yang baik hati, namun saat itu Mya terlalu mati rasa untuk mempedulikan. Sebab, bagaimana fokunya dapat berpaling ke hal lain, sementara ibunya, seluruh buananya—tengah di ambang tali kematian?

Sekarang saat mengingat itu, tidak akan pernah Mya sangka bahwa satu tahun berikutnya, Mya akan bertemu kembali dengan Asher Arenberg. Dan sesuai kata ibunya—sikapnya yang keras kepala berhasil menuntun sejauh ini. Dan bagaimana Mya mengingat bahwa Asher selalu berkomentar soal sifat yang satu itu, yang dia anggap malah akan membuat Mya bersedih alih-alih bahagia.

“Aku selalu menganggap, justru aku keras kepala begini demi meraih kebahagiaanku …” Mya melirih—lebih teruntuk dirinya sendiri. Tanpa perintah siapa pun, seluruh ingatan yang masih sangat baru terputar di kepala. Sejak ‘kali pertama’ irisnya berlabuh pada sosok sang dosen di kelas itu. Sejak Mya bernyanyi di bar seolah itu penampilan pertama seorang amatir. Merasa begitu gugup, bergairah, serta dirajai euforia. Sejak entah bagaimana, entah kenapa, barangkali semesta memang hobi mempermainkan umatnya—insiden masa kecil itu terulang dan Asher kembali datang pada sisi Mya, menyelamatkannya.

Dan bahkan ketika Mya tidak mengingat apa pun, bila masa lalunya terkunci oleh gembok paling kukuh serta tangguh sekali pun—Mya jatuh cinta pada sepasang iris abu-abu yang selalu jujur dalam memandangnya Seperti sebuah jilatan api yang tak akan habis selama bara api masih menyala, seperti sebuah dandelion yang akan selalu bersama selama ia terbang hingga maut memisahkan.

Terlalu percaya diri—ya? Mungkin iya. Namun hati tak bisa membual, bahkan ketika bibir dengan lihai melakukannya. Oh, bukan berarti Mya gemar membual. Sudah berkali-kali Mya tunjukkan pada dunia bukan itu keahlian serta kegemarannya.

Namun, kembali lagi—bagaimana kalau Hera, selama ini, pada nyatanya … benar? Bagaimana kalau Mya sebetulnya sudah bahagia, lalu malah mengorek luka lama yang akan menyiksa? Bagaimana kalau segala ini salah dan Mya hanya perlu memilih seseorang yang sudah jelas sayang padanya?

Seperti Marshall.

Embusan napas lagi-lagi lolos, frustrasi. Mya menepuk kedua pipi, keras. Mengernyit sesaat akibat ngilu yang dirasakan pada sisi-sisi wajah. Berikutnya, Mya mengangguk. Aku yang akan memutuskan sendiri. Kekhawatiran yang ada akan jadi urusan nanti.

Maka, Mya memasukkan alamat surel milik ibunya dan sandi yang telah ia hapal mati sejak kematiannya. Saat tiba pada kategori pesan masuk, Mya perlahan menjatuhkan rahang.

Tidak ada nama lain di kotak masuk itu selain Asher Arenberg. Hanya dia—satu-satunya. Pesan terakhir masuk satu tahun lalu. Tepat dua hari sebelum ibunya dikremasi. Mya menekan sisi dahi yang mendadak pening. Menggerakan mouse, ada dua kali klik pada kotak kirim. Scroll jauh ke bawah, Mya temui sebuah pesan yang pertama kali dikirim pada … sepuluh tahun yang lalu. Selama satu dekade, tanpa Mya ketahui—ibunya bertukar pesan dengan Asher.

Ah. Ini akan jadi malam yang panjang. Mya bangkit dari kursinya, kemudian melangkah ke arah dapur. Segelas kopi susu dingin terasa tepat.

Hera <hera.sky@yahoo.com>

To: arenberg.a@yahoo.com

Lihat selengkapnya