Asher keluar dari aula. Langkahnya terburu dalam lorong area kampus. Jantungnya serasa mencelos, jatuh hingga ke pangkal lambung. Ulu hatinya nyeri dan segala yang ada dalam kepalanya terasa rengsa dihantam sesuatu tak pegari. Dan meski pidato telah berakhir untuk lima menit, suara-suara masih terputar ulang dalam kepala, menggaung begitu keras.
Asher menarik napas, mengempasnya cepat. Menekan pelipis, si pemilik juntaian sepekat jelaga kembali memutar tubuhnya dan berjalan ke arah yang tadi ia jauhi. Saat kembali mendekati ruang aula, ia melihat Mya diam-diam keluar.
“Hei.”
Mya menoleh, mendapati Asher. Ekspresinya kaku. Dan Mya hanya ingin tertidur. Pulang, terpulas, dan entahlah—semoga ketika terbangun, semua hal yang rumit sudah lesap. Hanya saja—tidak mungkin, kan?
Dunia tidak seramah itu. Mya berusaha mengelak, ucapannya menguar lelah, “Maaf, Ash. Lain kali, oke?”
Dan Asher tidak yakin ia harus berkata apa. Tapi satu hal yang ia tahu—kalau itu bersangkutan dengan Mya, maka mau tak mau akan ada perhatian yang lebih. Diakui atau tidak. Maka ia mendekati Mya, sekali lagi membiarkan telapak tangannya membungkus pergelangan tangan sang perempuan lembut. Mya mengerjap.
Asher menuntun ke arah parkiran. Memberikan Mya helm cadangan yang ia simpan di dalam jok motornya, kemudian ia sendiri memakai pelindung kepalanya. Perjalanan itu terasa sangat lama. Mya yang merengkuh pinggangnya selama perjalanan juga tidak membantu meredakan seluruh frustrasi dan lelah yang ada.
Saat ia telah mengantarkan hingga ke depan lobi apartemen, Mya masih berusaha tampilkan senyum. Ada rasa ucapan terima kasih sebelum Mya masuk ke dalam gedung itu. Asher masih terdiam untuk dua menit ke depan.
...
Saat sampai di bar—dan ini terasa aneh, sebab manusia mana pergi ke bar siang bolong? Namun, di sana, Asher telah menemukan Elden, Kanna, dan Leon. Tiga biang keladi seperti biasa. Asher merotasi bola mata. Kanna pastilah telah bercerita, mengingat perempuan itu hadir pada saat Mya melakukan pidato itu.
“Dia sudah pulang?” Elden bertanya singkat.
Asher memberikan anggukan. Tanpa ragu, dia berjalan ke balik meja tinggi, meraih satu botol bourbon dan menuangkannya ke dalam gelas. Elden membiarkan. Asher menegak isinya, lalu menaruh gelas itu di atas meja. Ia mengetuk-ngetuk sisi gelas dengan jari telunjuk dan kerutan pada dahinya terlihat jelas.
“Aku tidak yakin dia ingat masa lalunya.” Asher menatap ke bawah. “Aku rasa … dia membaca surelku dengan Hera.”
“Apa pun itu,” Leon yang kali ini angkat suara. Pemuda itu juga menelan gelas berisi soju yang telah dituang Elden sebelumnya. Salah satu keuntungan memiliki bar adalah—bisa nyaris setiap hari menyicip alkohol. Kekurangannya adalah; tidak ada apa pun selain alkohol. “Dia sudah memenuhi keinginan untuk tahu masa lalunya.”
“Dengan taruhan dia akan semakin terluka?” Asher mendesis. Sungguh, untuk apa, sih, selama ini dia memperjuangkan mengunci ingatan itu?
Kanna, kali ini membalas lembut. Meski begitu, argumennya tegas dan telak, “Kurasa, dia tak akan menyesali itu. Kau yang akan paling tahu, kan—Paman?”
Ya, ya. Justru karena Asher paham betul tak akan ada penyesalan. Yang ada hanyalah beban pikiran yang harus ditanggung. Mya kuat—ia tahu itu. Namun, barangkali semua kawan-kawannya ada benarnya. Barangkali selama ini, dia yang takut dan protektif. Meski pada nyatanya—Mya tak membutuhkan itu. Perlindungan yang keterlaluan—tidak perlu.
Sebab selama ini, barangkali—ialah yang pengecut. Ia yang takut, bersembunyi dalam memori anak remaja umur delapan belas. Ia yang berusaha mengalihkan wajah dari realitas yang ada, dari histori yang pernah terbentuk. Ia, yang menggunakan seribu satu alasan untuk menjauh.
Asher menggertak gigi. Ini terasa bodoh. Lalu apa yang tersisa? Apa yang harus dilakukan mulai sekarang? Langkah macam apa yang harus diambil, keputusan seperti apa. Tak ada lagi rahasia, tak ada lagi kasus yang disembunyikan di balik punggung. Gadis kecil yang sempat ketakutan, terempas kejadian buruk, kini telah bertumbuh dewasa.
Merangkak menuju masa depan, menerima masa lalu, merengkuh luka dan ubah itu menjadi sesuatu yang berharga.
Asher harus apa lagi? Tak ada, bukan? Tak ada alasan untuk menghindari lagi.
“Ash, jangan terlalu pusing berpikir,” Elden memberi saran. “Ikuti kata hatimu saja.”
“Kata hatiku.” Asher mendengus. Ada nada cemooh di sana. Apa kata hatiku bahkan benar.
Salah. Asher tahu itu kesimpulan yang salah. Apa yang harus ia lakukan hanyalah mengikuti kata hatinya yang membuat baik dia maupun Mya—bahagia. Harusnya semudah itu saja. Harusnya tinggal menghadapi itu saja. Benar atau tidaknya, bukan itu urusannya.
Tak ada hitam dan putih di dunia ini. Hanya aja abu-abu yang melebur jadi satu, saru dengan warna lainnya.
Sebab mau membual bagaimana pun, ia tahu bagaimana isi hatinya. Ia tahu bagaimana pundaknya terasa ringan setiap kali Mya tunjukkan cengiran. Ia tahu bagaimana hari-harinya terasa lebih baik setelah menemui Mya dan beradu pandang dengannya. Ia tahu seberapa napasnya tercekat setiap kali Mya bernyanyi, memamerkan deretan gigi yang rapi, dan kepalanya menengadah untuk mengerahkan tenaga pada suara.
Ia tahu bagaimana dulu Mya hanya tampak seperti anak kecil yang bersemangat, namun kini Mya wanita dewasa yang memikat. Ia tahu bagaimana dari banyaknya insan di dunia, dia malah jatuh hati pada Mya. Ia tahu bagaimana ada harapan dan keinginan untuk selalu berada di sisi sang pemilik manik gulma. Dan entah sejak kapan, matanya selalu mengikuti sosok Mya dan memerhatikan setiap hal kecil.
Selama tiga bulan ini—segalanya terasa absurd, tidak dapat dipercaya, dan melelahkan. Tapi di waktu sesingkat ini pula ia paham akan apa yang ia ingini. Di waktu ini pula ia merasa—ini sisa potongan yang hilang dari hidupnya.
“…. Ada orang lain yang mungkin lebih pantas.” Pada akhirnya, itu adalah argumen yang dikirimkan oleh Asher. Sebuah kalimat yang ia sendiri tak yakini, tapi tentu takut akan kebenaran yang mungkin terkandung di sana. Sebab mengingat hidupnya, mengingat sejarahnya, serta semua hal yang pernah ia lewati—itu tidak masuk ke dalam kategori bahagia. Setidaknya, sebagian besar bukan.
Namun atas kalimat itu, Leon mendecak. Oke, baiklah—dia jengah.
"Kau ingin kupukul?"
Asher melayangkan delikkan.
“Ash, apa kau serius ingin berdebat soal ini?” Elden bertanya. Iris biru secerah angkasa melihat Asher. Si iris keabuan menatap balik.
Gelengan.
“Lalu?” Elden kembali menagih.
“Aku sayang padanya.”
Senyuman. “Itu cukup, kan?”
…
Sudah satu minggu sejak perlombaan pidato, Mya merasa lebih nyaman bergelung di dalam selimut daripada pergi ke kampus. Absen dititipkan pada kawan sekelas dan Mya nyaris tak peduli pada hal lainnya. Syukurlah—keadaan kamar masihlah sehat. Sampah dan bekas bungkus makanan dibuang rapi dan pakaian kotor diserahkan pada binatu di apartemen. Minimal—meski keadaan terasa menyedihkan, dan jelas Mya tampak payah, ruangan tempatnya tinggal bersih.
Mya menggeram rendah lalu meraih ponsel saat benda kecil itu berbunyi. Pesan dari Elden. Dia memastikan apakah Mya akan datang hari ini. Selanjutnya Mya memastikan hari dan tanggal. Helaan napas. Hari Jumat. Berarti, seharusnya hari ini ada kelas bahasa Inggris. Namun mengindahkan itu untuk sesaat, Mya membalas pesan Elden dan menyatakan permintaan maaf sebab Mya izin untuk tidak datang—lagi.
Berbicara soal bahasa Inggris dan dosen yang mengajar di kelas tersebut—Mya teringat sesuatu. Maka, Mya mengerahkan tenaga untuk bangkit dari kasur, berjalan ke arah meja, dan menyalakan laptop. Kemudian, Mya membuka e-mail Hera, serta satu pesan yang tersimpan pada draft. Belum terkirim, namun seperti biasa—calon penerima e-mail-nya sama seperti yang sebelum-belumnya.
E-mail yang telah Mya sadari ada sejak kali pertama masuk ke dalam akun ibunya, namun baru Mya buka satu hari seusai pidatonya.
Hera <hera.sky@yahoo.com>
To: arenberg.a@yahoo.com
Asher, sejujurnya, aku sudah tidak yakin bisa lanjut mengobrol padamu setelah ini. Aku tidak banyak bercerita soal diriku sendiri, tapi sejak Mya masuk pertengahan semester 1, kesehatanku memburuk. Pleuritis. Peradangan pada selaput pembungkus organ paru-paru, kata dokter. Mereka bilang, sebetulnya penyakit ini bisa disembuhkan dengan antibiotik dan sebagainya, dan jujur aku tidak terlalu memerhatikan. Mereka hanya bilang, bila aku datang begitu merasa sakit, maka aku akan sembuh.
Tapi, aku memang sekeras-kepala itu. Aku mengabaikan penyakitku karena ingin bekerja. Aku tidak rela melihat putri semata wayangku bekerja keras seorang diri. Namun sepertinya, ini malah menjadi hal paling bodoh yang pernah kulakukan. Dokter bilang, sudah terjadi komplikasi. Ada cairan tertumpuk di selaput pada paru-paruku.
Aku tidak menerima pengobatan. Aku tidak ingin dia meminjam pada bank lalu terlilit hutang, atau mengemis pada orang lain. Asuransi tidak bisa menanggung seluruh biaya. Aku juga tidak bilang padamu karena aku sangat tahu kau akan peduli untuk membayarnya biaya rumah sakit, Asher, dan jangan mengelak soal itu.
Melalui surel terakhir yang akan kukirim ini, aku hanya ingin bilang … terima kasih telah menemaniku. Ketika aku tidak punya siapa-siapa untuk diajak bicara. Terima kasih telah memahaminya, telah mau peduli padanya.
Terima kasih karena hari itu kau menyelamatkannya. Aku sangat, sangat, berterima kasih. Aku tahu kau melihatnya sebagai seorang adik perempuan, tapi, sekarang dia sudah tumbuh dewasa. Bila suatu hari bertemu dengannya lagi, perlakukanlah ia sebagai wanita dewasa.