Felicity

Clarecia Nathaniel
Chapter #12

XI — Will You?

“Rasanya sudah lama sekali tidak kembali ke negara ini,” Raine Arenberg menghela napas. Ia mengenakan topi kesukaannya, lalu melangkah. Diseretnya koper dengan sebelah tangan, sementara satu tangannya lagi membawa backpack. Di area bandara, ia celingukan mencari taksi. Saat menemukannya, Raine melambaikan tangan.

Lelaki nyaris paruh baya itu masuk ke dalamnya. Supir taksi bertanya dengan ramah ia ingin ke mana. Raine lalu menautkan alis, membuka ponselnya, dan memerhatikan catatannya baik-baik.

“Uh ….“

...

Eh, iya, iya! Aku sudah pesan, kok, kuenya. Nanti tinggal kauambil saja, Mar!” ujarnya, sedikit panik. Lalu suara Marshall di seberang menjawabnya dengan paham. Mematikan ponsel, Savvy menghela napas lega.

Vero—kekasihnya, mengangkat sebelah alis. Perempuan bersurai pirang itu berujar santai, “Acaranya masih nanti malam, kan?”

Savvy memberi anggukan. Ia memasukkan satu bungkus daging mentah ke dalam troli belanja. Tak lama, Chris yang begitu kelebihan tenaga memasukkan sepuluh jagung. Savvy menganga, lalu menatap si lelaki bersurai kastanya. “Chris, ini terlalu banyak!”

“Tenanglah, akan habis denganku, kok.”

“Biarkan saja,” Vero menjawab. “Asal dia habiskan.”

Tidak berhenti di sana, Chris kembali mendatangi keranjang belanjaan setelah mengambil sepuluh kaleng minuman bersoda. Vero yang melihatnya hanya tertawa kecil. Kemeriahan yang menyenangkan. Savvy menarik napas dan mendesah lelah. Tapi selanjutnya senyum tipis terbit pada bibir lelaki itu.

“Malam ini akan ramai, ya."

...

Leon Kruger meloloskan kuapan. Sang surya tengah membubung tinggi di angkasa, tepat di tengah. Rasanya terik dan membakar epidermis. Maka, ia lebih memilih untuk menyantaikan diri dengan segelas kopi dingin. Namun, selanjutnya Kanna mendatanginya yang terbaring di sofa dan mengusap peluh pada keningnya.

“Leon, kita harus membantu Savvy menyiapkan acaranya.”

Leon menggeram dramatis. Ia mengangkat pelupuk, memperlihatkan bola mata berwarna gradasi. Dengan malas, pelupuknya kembali tertutup. “Aku mengantuk.”

Kanna tersenyum tipis. Ia berjongkok, kemudian mengecup hidung Leon. “Ayo.”

Leon akhirnya sedikit berguling, meraih tengkuk sang perempuan, dan mencium bibirnya, singkat. Selanjut lelaki itu bangkit menjadi posisi duduk dan siap-siap untuk membasuh tubuh. Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, ia masih dapat mendengar Kanna berkomentar, “Tapi tidak terasa, ya. Aku tidak sangka loh, dia akan S2 sastra."

“Hm-mmn. Tapi itu terdengar seperti apa yang akan dia pilih, kan.”

Kanna mengangguk-angguk paham. Kali ini, lelaki itu betulan berniat untuk masuk ke dalam kamar mandi dan menyegarkan dirinya dengan air dingin. Namun, lagi-lagi Kanna menghentikannya dengan ucapan sederhana sang perempuan, “Oh, iya. Leon, apakah kamu sudah siap menjadi seorang ayah?”

Leon tersedak udara. Ketika ia menoleh pada Kanna, mencari aksen humor dari perkataannya barusan, ia tak menemukannya. Namun lalu tawanya terdengar lepas. Leon tidak jadi pergi ke kamar mandi dan malah mendekap istrinya.

...

Marshall Emile menutup laptopnya. Kemudian dia beranjak dari kursinya dan meraih tasnya. Salah seorang rekan kerjanya bertanya, “Sudah mau pulang?”

Yeah,” Marshall menjawab. Tersenyum tipis. “Nanti kalo ada info soal kapal, cc saja, ya. Biasa memang dari pihak sana lambat, jadi terus saja di update.”

“Siap. Hati-hati, Sir.”

Marshall mengangguk. Setelah lima tahun bergelut dalam bidang impor dan logistik, ia semakin lihai dalam menghadapi klien, akomodasi, dan segala sesuatu semacam itu. Namun, jujur, kalau boleh sedikit pongah—bidang impor tidak sesulit itu. Hanya urusan surat, beacukai, hitungan pajak, bikin surat izin, pastikan dokumen lengkap—kira-kira hanya begitu-gitu saja.

Marshall berjalan ke arah parkiran dan mulai mengendarai motornya di sepanjang jalan kota New York yang sarat akan hiruk-pikuk. Kemudian teringat sesuatu, Marshall mengarahkan motornya untuk ke suatu sudut jalan yang lain. Iris madunya menemukan sebuah toko kue di antara apitan gedung-gedung tinggi. Toko kue yang tampak mungil, klasik, dan juga manis.

Setelah memarkir motornya di hadapan toko itu, Marshall kemudian turun dan melangkah masuk ke dalam area toko. Ia menemui kasir, kemudian berucap, “Eh … mau ambil pesanan atas nama Savvy, ada?”

Perempuan yang menjaga toko itu tersenyum tipis. Matanya sedikit sayu dan meneduhkan. Surai hitamnya panjang hingga ke punggung. Dengan nada yang sama halusnya, ia membalas, “Oh, ada. Tadi Mr. Savvy sudah menghubungi. Marshall Emile, benar?”

Marshall mengangguk. “Ah—yeah. Benar.”

Perempuan itu melenggang masuk ke bagian dapur untuk sesaat. Setelah sekitar lima menit terlewat, ia kembali dengan sebungkus kue. “Ini. Apakah ini untuk kekasihmu?”

“Eh?” Marshall mengerjap. Ia menggeleng, mengusap tengkuk. Tawa gugup terdengar. “Ah, bukan. Maksudku, aku sempat suka padanya, tapi—eh. Hanya sahabat baik. Kue ini untuk merayakan proyeknya yang berhasil. Maaf, malah bercerita begini.”

Perempuan itu terkikik. “Tak apa. Loh, dia menolakmu, ya?”

Lihat selengkapnya