Fields of Blood

Mizan Publishing
Chapter #2

PETANI DAN GEMBALA

Bagian Satu

Permulaan

Gilgamesh, yang di dalam DaftarRaja kuno disebut sebagai penguasa Uruk kelima, dikenang sebagai “lelaki terkuat—berbadan besar, tampan, cerdas, sempurna”.1 Dia barangkali memang benar-benar ada, tapi segera terselimuti aura sebagai legenda. Konon dia telah melihat segalanya, bepergian ke ujung dunia, mengunjungi neraka, dan mencapai kebijaksanaan tingkat tinggi. Pada awal milenium ketiga SM, Uruk yang berlokasi di selatan Irak sekarang adalah negarakota terbesar di federasi Sumeria, peradaban pertama dunia. Penyair SinLeqi, yang menulis riwayat hidup Gilgamesh versinya sendiri sekitar 1200 SM, masih penuh dengan kebanggaan akan kuil-kuilnya, istana, kebun, dan tokotokonya. Tapi dia mengawali dan mengakhiri epiknya dengan deskripsi penuh kegembiraan tentang temboktembok kota yang megah, enam mil panjangnya, yang telah dipugar Gilgamesh untuk rakyatnya.

“Berjalanlah di dinding Uruk!” dia mengajak pembacanya dengan penuh semangat. “Susuri alurnya mengelilingi kota, perhatikan fondasinya yang kokoh, periksa susunan batanya, betapa ia dibangun dengan ahlinya!”2 Benteng indah ini menunjukkan bahwa perang telah menjadi kenyataan hidup manusia. Namun, ini bukanlah perkembangan yang tak terelakkan. Selama ratusan tahun, Sumeria merasa tidak perlu melindungi kota-kotanya dari serangan luar. Namun, Gilgamesh yang memerintah sekitar 2750 SM, adalah Raja Sumeria jenis baru, “lelaki banteng liar, pemimpin tak terkalahkan, pahlawan di garis depan, dicintai prajuritnya—sang benteng, demikian mereka memanggilnya, pelindung rakyat, amuk banjir yang menghancurkan semua pertahanan”.3

Walaupun sangat mencintai Uruk, SinLeqi harus mengakui ada orang-orang yang tak puas pada peradaban itu. Para penyair telah mulai menceritakan kisah Gilgamesh tak lama setelah kematiannya karena ini merupakan kisah tipikal, salah satu karya sastra pertama tentang perjalanan sang Pahlawan.4 Tetapi, dia juga bergulat dengan kekerasan struktural yang tak terhindarkan dari kehidupan beradab. Tertindas, miskin, dan sengsara, penduduk Uruk memohon para dewa untuk membebaskan mereka dari tirani Gilgamesh:

Kota ini miliknya, dia angkuh

Melangkah di tengah kota dengan sombong, kepalanya terangkat tinggi,

Menginjak-injak warganya seperti banteng liar.

Dia adalah raja, dia lakukan apa yang dia mau

Pemuda Uruk disiksanya tanpa sebab,

Gilgamesh tak membiarkan seorang anak pulang ke ayahnya.5

Pemudapemuda ini mungkin diwajibkan ikut rombongan pekerja untuk membangun ulang dinding kota itu.6 Kehidupan kota tidak akan mungkin tanpa eksploitasi tak bermoral atas sebagian besar penduduk. Gilgamesh dan aristokrat Sumeria hidup dalam kemegahan yang belum pernah terjadi sebelumnya, tetapi bagi kebanyakan petani peradaban hanya membawa kesengsaraan dan penindasan.

Bangsa Sumeria tampaknya merupakan bangsa pertama yang menyita surplus pertanian hasil tanam rakyatnya dan menciptakan kelas penguasa istimewa. Ini hanya bisa dicapai dengan kekuatan. Pemukim yang mengusahakannya pertama kali tertarik datang ke dataran subur antara Tigris dan Eufrat itu sekitar 5000 SM.7 Tanahnya terlalu kering untuk pertanian, sehingga mereka merancang sistem irigasi untuk mengontrol dan mendistribusikan lelehan salju dari pegunungan yang membanjiri dataran itu setiap tahun. Ini adalah pencapaian luar biasa. Kanal dan parit harus direncanakan, dirancang, dan dipelihara dalam upaya bersama dan air dialokasikan secara adil di antara kelompok masyarakat yang bersaing. Sistem baru ini mungkin dimulai dalam skala kecil, tapi akan segera menyebabkan peningkatan dramatis dalam hasil pertanian dan dengan demikian terjadilah ledakan penduduk.8 Pada 3500 SM, penduduk Sumeria mencapai setengah juta jiwa, jumlah yang tak pernah terbayangkan sampai saat itu. Kepemimpinan yang kuat akan menjadi penting, tetapi apa yang sesungguhnya mengubah petani sederhana ini menjadi penduduk kota merupakan topik perdebatan tak berujung. Akan tetapi, barangkali ada sejumlah faktor saling terkait dan saling memperkuat yang terlibat: pertumbuhan penduduk, produktivitas pertanian yang belum pernah ada sebelumnya, dan banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan oleh irigasi—belum lagi ambisi besar manusia—semua berkontribusi untuk masyarakat jenis baru ini.9

Yang kita tahu dengan pasti ialah bahwa pada 3000 SM ada dua belas kota di dataran Mesopotamia, masing-masing didukung oleh produk yang ditanam petani di pedesaan sekitarnya. Mereka hidup pada level subsisten. Setiap desa harus membawa seluruh hasil panen ke kota yang dilayaninya; para pejabat mengalokasikan sebagian sebagai jatah bagi para petani lokal dan sisanya disimpan untuk para aristokrat di kuil-kuil kota. Dengan cara ini, beberapa keluarga besar dengan bantuan sekelompok pengikut—birokrat, tentara, pedagang, dan pelayan rumah tangga— mendapatkan antara setengah hingga duapertiga penghasilan.10 Mereka menggunakan kelebihan ini untuk mengongkosi gaya hidup yang sama sekali berbeda, bebas untuk melakukan kegiatan apa pun yang bergantung pada waktu luang dan kekayaan. Sebagai balasan, mereka memelihara sistem irigasi dan menjaga penegakan hukum dan ketertiban. Semua negara pramodern takut akan anarki: satu kali kegagalan panen yang disebabkan oleh kekeringan atau kerusuhan sosial dapat menyebabkan ribuan kematian sehingga kaum elite bisa mengatakan bahwa sistem ini menguntungkan penduduk secara keseluruhan. Tetapi karena seluruh hasil pekerjaan mereka diambil dari tangan mereka, para petani ini tak lebih baik nasibnya daripada budak: membajak, memanen, menggali saluran irigasi, menua dengan cepat dan melarat, kerja keras mereka di ladang mengisap darah mereka. Jika mereka gagal memuaskan para pengawas, kaki sapisapi mereka ditebas dan pohonpohon zaitun mereka ditebang.11 Kesusahan mereka terekam dalam beberapa catatan yang terserak. “Orang miskin lebih baik mati daripada hidup,” ratap seorang petani.12 “Aku kuda ras murni,” keluh yang lain, “tapi aku diikatkan ke seekor keledai, dipaksa menarik gerobak dan memikul gulma dan tunggul.”13

Sumeria telah merancang sistem kekerasan struktural yang akan ditemukan di setiap negara agrarian hingga periode modern, ketika pertanian tidak lagi menjadi basis ekonomi peradaban.14 Hierarkinya yang kaku dilambangkan oleh ziggurat, menaracandi berjenjang raksasa yang menjadi ciri peradaban Mesopotamia: masyarakat Sumeria pun ditumpuk dalam lapisanlapisan menyempit yang berpuncak pada aristokrat yang diagungkan, setiap individu terkunci di satu tempat tanpa dapat mengelak.15 Namun, sejarahwan berpendapat, tanpa pengaturan kejam yang menindas sebagian besar penduduk, manusia tidak akan pernah mengembangkan seni dan ilmu yang memungkinkan adanya kemajuan. Peradaban itu sendiri membutuhkan kelas masyarakat yang punya waktu luang untuk mengembangkannya, maka demikianlah pencapaian terbaik kita selama ribuan tahun dibangun di atas punggung kaum petani yang dieksploitasi. Bukan kebetulan, ketika Sumeria menemukan aksara, tujuannya ialah untuk kontrol sosial.

Apa peran yang dimainkan agama dalam penindasan yang merusak ini? Semua komunitas politik mengembangkan ideologi yang melandaskan institusi mereka pada tatanan alamiah sebagaimana yang mereka persepsi.16 Bangsa Sumeria tahu betapa rapuhnya eksperimen perkotaan yang mereka pelopori. Bangunan bata lumpur mereka membutuhkan pemeliharaan terusmenerus; Tigris dan Eufrat sering membanjiri tepian dan merusak tanaman; hujan deras mengubah tanah menjadi lautan lumpur, dan badai menakutkan merusak lahan dan membunuh ternak.

Tapi kaum aristokrat mulai mempelajari astronomi dan menemukan polapola yang teratur dalam gerakan bendabenda langit. Mereka mengagumi cara berbagai elemen alam bekerja sama untuk menciptakan alam semesta yang stabil, dan menyimpulkan bahwa kosmos itu sendiri pastilah semacam negara di mana segala sesuatu memiliki fungsi yang sudah ditetapkan. Mereka memutuskan bahwa jika kota-kota mereka mengambil model dari keteraturan langit ini, masyarakat eksperimental mereka juga akan selaras dengan cara dunia bekerja dan, oleh karena itu, akan berkembang dan bertahan.17

Negara kosmik, mereka percaya, diatur oleh dewa-dewa yang tak terpisahkan dari kekuatan alam dan tidak seperti “Tuhan” yang disembah oleh orang Yahudi, Kristen, dan Muslim hari ini. Dewa ini tidak bisa mengendalikan peristiwa, tetapi terikat oleh hukum yang sama seperti manusia, hewan, dan tumbuhan. Dan tidak ada kesenjangan ontologis yang besar antara manusia dan Ilahi; Gilgamesh, misalnya, adalah sepertiga manusia, duapertiga Ilahi.18 Anunnaki, para dewa yang lebih tinggi, adalah alter ego langit kaum aristokrat, diri mereka yang paling lengkap dan efektif, bedanya dari manusia hanyalah bahwa mereka abadi. Bangsa Sumeria membayangkan dewa-dewa ini disibukkan dengan perencanaan kota, irigasi, dan pemerintahan, sama seperti mereka. Anu, sang Langit, memerintah negaraarketipal ini dari istananya di langit tapi kehadirannya juga dirasakan di semua otoritas di bumi. Enlil, Dewa Badai, terungkap tidak hanya dalam badai dahsyat Mesopotamia, tetapi juga dalam setiap jenis kekuatan dan kekejaman manusia. Dia adalah kepala penasihat Anu di Dewan Ilahi (yang menjadi model bagi majelis Sumeria), dan Enki, yang telah menanamkan seni peradaban bagi manusia, adalah Menteri Pertaniannya.

Setiap negara—bahkan negara bangsa sekuler kita—bersandar pada mitologi untuk mendefinisikan karakter dan misi khususnya. Kata “mitos” telah kehilangan kekuatannya pada zaman modern dan cenderung berarti sesuatu yang tidak benar, yang tidak pernah terjadi. Tapi di dunia pramodern, mitologi berarti realitas abadi alihalih realitas sejarah dan menyediakan cetak biru bagi tindakan pada masa kini.19 Pada titik yang sangat awal dalam sejarah ini, ketika catatan arkeologi dan sejarah begitu minim, mitologi yang mereka lestarikan dalam bentuk tertulis adalah satu-satunya cara kita untuk bisa masuk ke dalam pikiran bangsa Sumeria. Bagi para pelopor peradaban ini, mitos negara kosmik adalah latihan dalam ilmu politik. Bangsa Sumeria tahu bahwa masyarakat mereka yang berstrata sangat berbeda dengan norma egaliter yang berlaku dari zaman dahulu, tetapi yakin bahwa dengan cara tertentu diabadikan dalam hakikat segala sesuatu dan bahkan para dewa terikat padanya. Jauh sebelum manusia ada, konon, para dewa telah tinggal di kota-kota Mesopotamia, menanam makanan sendiri dan mengelola sistem irigasi.20 Setelah Banjir Besar, mereka menarik diri dari bumi ke surga dan mengangkat aristokrat Sumeria untuk memerintah kota-kota menggantikan mereka. Diangkat langsung oleh penguasa Ilahi, kelas penguasa tak punya pilihan dalam hal ini.

Mengikuti logika filsafat perenial, pengaturan politik bangsa Sumeria meniru pengaturan dewa-dewa mereka; inilah, menurut kepercayaan mereka, yang memungkinkan kota-kota mereka yang rapuh untuk berpartisipasi dalam kekuatan ranah Ilahi. Setiap kota memiliki dewa pelindung sendiri dan dijalankan sebagai milik pribadi dewa ini.21 Diwakili oleh patung seukuran manusia, dewa penguasa tinggal di kuil utama bersama keluarganya dan serombongan pelayan dan pengikut, masing-masing dari mereka juga digambarkan dalam patung dan menempati sebuah ruangan. Para dewa diberi makan, pakaian, dan dipuja dalam ritual rumit dan setiap kuil memiliki lahan pertanian yang luas dan kawanan ternak atas nama mereka. Semua orang di negarakota itu, tidak peduli seremeh apa pun tugas yang diembannya, terlibat dalam pelayanan Ilahi—menyelenggarakan upacara para dewa, bekerja di tempat penyulingan, pabrik dan bengkel mereka, menyapu kuil mereka, menggembalakan dan menyembelih hewan mereka, memanggangkan roti mereka dan memakaikan baju pada patung mereka. Tidak ada yang sekuler tentang negara Mesopotamia dan tidak ada yang personal tentang agama mereka. Ini adalah teokrasi di mana semua orang—dari bangsawan tertinggi sampai pekerja paling rendah—melakukan kegiatan sakral.

Agama Mesopotamia pada dasarnya bersifat komunal; laki-laki dan perempuan tidak menghadap yang suci hanya dalam privasi hati mereka, tetapi terutama dalam komunitas yang suci. Agama pramodern tidak memiliki eksistensi kelembagaan terpisah; agama tertanam dalam tatanan politik, sosial, dan domestik masyarakat, memberinya sistem makna yang menyeluruh. Tujuan, bahasa, dan ritualnya dikondisikan oleh pertimbangan duniawi ini. Sebagai landasan bagi masyarakat, praktik keagamaan Mesopotamia tampaknya merupakan kebalikan dari gagasan modern kita tentang “agama” sebagai pengalaman spiritual pribadi: agama pada dasarnya adalah urusan politik dan kita tidak memiliki catatan apa pun tentang peribadatan pribadi.22 Kuil para dewa bukan hanya tempat ibadah, melainkan pusat perekonomian karena surplus pertanian disimpan di sana. Bangsa Sumeria tidak memiliki kata untuk “pendeta”: kaum aristokrat yang juga birokrat, penyair, dan astronom kota itulah yang menyelenggarakan kultus kota. Ini bisa diterima, karena bagi mereka, semua aktivitas—dan terutama politik—adalah suci.

Sistem rumit ini bukanlah pembenaran terselubung atas kekerasan struktural negara, melainkan lebih merupakan upaya untuk menanamkan makna ke dalam eksperimen manusia yang problematik dan berani. Kota ini adalah artefak terbesar manusia: artifisial, rentan, dan bergantung pada pemaksaan yang dilembagakan. Peradaban menuntut pengorbanan, dan orang Sumeria harus meyakinkan diri bahwa apa yang mereka tuntut dari kaum tani memang diperlukan dan sepadan. Dengan mengklaim bahwa sistem mereka yang tidak adil itu selaras dengan hukum dasar alam semesta, orang Sumeria mengungkapkan realitas politik yang keras dalam terminologi mitikal.

Itu tampak seperti hukum besi karena tidak ada alternatif. Pada akhir abad kelima belas, peradaban agraria akan terbentuk di Timur Tengah, Asia Selatan dan Timur, Afrika Utara dan Eropa dan di dalam masing-masingnya—baik di India, Rusia, Turki, Mongolia, Levant, Cina, Yunani, atau Skandinavia—kaum aristokrat akan mengeksploitasi kaum petani sebagaimana yang dilakukan bangsa Sumeria. Tanpa kekerasan aristokrat ini, akan menjadi mustahil untuk memaksa petani menghasilkan surplus ekonomi, karena pertumbuhan penduduk akan terus berpacu dengan kemajuan dalam produktivitas. Meski tampak tidak enak, dengan memaksa massa untuk hidup di tingkat subsisten, aristokrasi menahan pertumbuhan penduduk dan membuat kemajuan manusia menjadi mungkin. Andai surplus pertanian tidak diambil dari petani, tidak akan ada sumber daya ekonomi untuk mendukung teknisi, ilmuwan, penemu, seniman, dan filsuf yang akhirnya mewujudkan peradaban modern.23 Dan, sebagaimana dikemukakan biarawan Trappist Amerika Thomas Merton, kita semua yang telah memperoleh manfaat dari kekerasan sistemik ini terlibat dalam penderitaan yang ditimbulkan selama lebih dari lima ribu tahun atas sebagian besar laki-laki dan perempuan.24 Atau, sebagaimana filsuf Walter Benjamin mengatakan: “Tidak ada dokumen peradaban yang tidak sekaligus merupakan dokumen barbarisme.”25

Pemerintahan agrarian melihat negara sebagai milik pribadi mereka dan merasa bebas untuk memanfaatkannya untuk memperkaya diri sendiri. Tidak ada dalam catatan sejarah yang menunjukkan bahwa mereka merasa bertanggung jawab atas para petani.26 Sebagaimana keluhan rakyat Gilgamesh dalam Epic: “Kota ini miliknya .… Dia adalah raja, dia lakukan apa yang dia inginkan.” Namun, agama Sumeria tidak sepenuhnya mendukung ketidakadilan ini. Ketika para dewa mendengar keluhan sedih ini, mereka berseru kepada Anu: “Gilgamesh, meski mulia, meski dipuja, telah melampaui batas. Rakyat menderita karena tiraninya .… Seperti inikah pemerintahan raja yang kau inginkan? Haruskah seorang gembala menyiksa ternaknya sendiri?”27 Anu menggeleng, tetapi tidak dapat mengubah sistem.

Narasi puisi Atrahasis (kl. 1700 SM) berlatarkan periode mitikal ketika para dewa masih tinggal di Mesopotamia dan “para dewa alihalih manusia yang melakukan pekerjaan” yang padanya peradaban bergantung.28 Penyairnya menjelaskan bahwa Anunnaki, aristokrasi Ilahi, telah memaksa Igigi, dewa-dewa yang lebih rendah, untuk memikul beban berat: selama tiga ribu tahun mereka membajak tanah dan memanen ladang serta menggali saluran irigasi—mereka bahkan harus mengeruk Sungai Tigris dan Eufrat. “Malam dan siang, mereka mengeluh dan saling menyalahkan”, tapi Anunnaki tidak ambil peduli.29 Akhirnya, massa yang marah berkumpul di luar istana Enlil: “Kami semua menyatakan perang. Kami telah berhenti menggali!” mereka berseru. “Bebannya terlalu berat. Itu membunuh kami!”30 Enki, Menteri Pertanian, setuju. Sistem ini kejam dan tidak bisa dibiarkan dan Anunnaki salah karena mengabaikan penderitaan Igigi: “Pekerjaan mereka terlalu berat, masalah mereka terlalu banyak! Setiap hari bumi menggemakan. Sinyal peringatannya cukup keras!”31 Tetapi jika tidak seorang pun melakukan kerja produktif, peradaban akan runtuh. Maka, Enki memerintahkan Dewi Induk menciptakan manusia untuk mengambil alih posisi Igigi.32 Para dewa pun tidak merasa bertanggung jawab atas nasib manusia pekerja. Massa pekerja tidak diperbolehkan mengganggu eksistensi mereka yang istimewa, jadi ketika manusia menjadi begitu banyak sehingga suara mereka membuat tuantuan Ilahi mereka terjaga, para dewa memutuskan untuk mengurangi penduduk melalui wabah. Sang penyair secara jelas menggambarkan penderitaan mereka.

Wajah mereka berkerak, seperti gandum basah, Paras mereka pucat, Mereka berjalan keluar terbungkukbungkuk, Bahu mereka yang tegap tertunduk, Tubuh mereka yang tegak merunduk.33

Namun, lagilagi kekejaman kaum aristokrat tidak dibiarkan berlalu tanpa kritik. Enki, yang disebut sang penyair “berpandangan jauh”, berani menentang sesama dewanya, mengingatkan mereka bahwa hidup mereka bergantung pada budak-budak manusia.34 Anunnaki dengan enggan setuju untuk membebaskan mereka dan menarik diri ke surga yang damai dan tenang. Ini adalah ekspresi mitikal dari realitas sosial yang keras: jurang yang memisahkan kaum bangsawan dari petani telah menjadi begitu besar sehingga mereka sebenarnya menghuni dunia yang berbeda.

Atrahasis mungkin dimaksudkan untuk dibaca umum dan ceritanya mungkin juga telah dilestarikan secara lisan.35 Fragmenfragmen teks ini telah ditemukan sepanjang seribu tahun, sehingga tampaknya kisah ini diketahui secara luas.36 Dengan demikian seni tulisan, yang awalnya diciptakan untuk melayani kekerasan struktural Sumeria, mulai merekam keresahan anggota kelas penguasa yang lebih bijaksana, yang tidak dapat menemukan solusi bagi dilema peradaban, tetapi setidaknya mencoba melihat tepat pada masalahnya. Kita akan melihat bahwa yang lain—para nabi, orang bijak, dan mistikus—juga akan menyuarakan protes mereka, dan mencoba menemukan cara yang lebih adil bagi manusia untuk hidup bersama.

***

Epic of Gilgamesh, yang berlatarkan pertengahan milenium ketiga ketika Sumeria telah dimiliterisasi, menyajikan kekerasan perang sebagai ciri khas peradaban.37 Ketika orang-orang memohon bantuan para dewa, Anu mencoba meringankan penderitaan mereka dengan memberi Gilgamesh lawan tarung seukurannya sendiri untuk mengalirkan sebagian dari agresinya yang berlebihan. Jadi, Dewi Induk menciptakan Enkidu, laki-laki purba. Dia besar, berbulu, dan memiliki kekuatan luar biasa tetapi berjiwa lembut, ramah, berkeliaran dengan bahagia bersama para herbivora dan melindungi mereka dari predator. Tetapi untuk memenuhi rencana Anu, Enkidu harus melakukan transisi dari barbarian yang damai menjadi manusia beradab yang agresif. Pendeta Shamhat diberi tugas mendidiknya dan, di bawah bimbingannya, Enkidu belajar untuk berpikir, memahami perkataan, dan memakan makanan manusia; rambutnya dipotong, minyak harum digosokkan ke kulitnya, dan akhirnya “dia berubah menjadi seorang manusia. Dia mengenakan pakaian, menjadi seperti pendekar”.38 Pria beradab pada dasarnya seorang pria perang, penuh testosteron. Ketika Shamhat menyebutkan kekuatan militer Gilgamesh, Enkidu menjadi pucat karena marah. “Bawa aku ke Gilgamesh!” serunya, menepuk dada. “Aku akan berteriak di wajahnya: Akulah yang terkuat! Akulah pria yang bisa membuat dunia gemetar! Akulah yang tertinggi!”39 Tak lama setelah kedua lelaki alpha ini saling memandang mata, mereka mulai bergulat, berlarian di sepanjang jalan Uruk, tangan dan kaki terayun berjalin dalam pelukan nyariserotis, sampai akhirnya, setelah puas, mereka “saling mencium dan membangun persahabatan”.40

Pada periode ini, aristokrat Mesopotamia telah mulai menambah penghasilan dengan peperangan, sehingga dalam periode berikutnya Gilgamesh mengumumkan bahwa dia akan memimpin ekspedisi militer dengan lima puluh orang ke Hutan Cedar yang dijaga oleh naga menakutkan Humbaba untuk mengembalikan hutan berharga ini ke tangan Sumeria. Barangkali serangan perebutan tersebut yang telah mengantarkan kota-kota Mesopotamia pada dominasi atas dataran tinggi utara yang kaya akan barang mewah kesukaan kaum aristokrat.41 Para pedagang telah sejak lama melanglang ke Afghanistan, Lembah Indus, dan Turki untuk membawa kembali kayu, barang mentah dan logam dasar, serta batu berharga dan semimulia.42 Tapi bagi seorang aristokrat seperti Gilgamesh satu-satunya cara mulia untuk mendapatkan sumber daya langka ini ialah dengan kekerasan. Di semua negara agraria pada masa depan, kaum aristokrat akan terbedakan dari penduduk selebihnya dengan kemampuan mereka untuk hidup tanpa bekerja.43 Sejarahwan budaya Thorstein Veblen telah menjelaskan bahwa dalam masyarakat seperti itu, “pekerja mulai diasosiasikan … dengan kelemahan dan ketundukan”. Kerja, bahkan perdagangan, bukan hanya “tidak terhormat … tapi secara moral mustahil bagi orang merdeka yang mulia”.44 Karena seorang aristokrat memperoleh hak istimewanya dari pengambilalihan paksa surplus petani, “pemerolehan barang dengan metode selain penyitaan malah dipandang tidak layak”.45

Oleh karena itu, bagi Gilgamesh, pencurian terorganisasi melalui peperangan tidak hanya mulia tetapi bermoral, dilakukan bukan hanya untuk memperkaya diri, melainkan untuk kepentingan kemanusiaan. “Sekarang kita harus pergi ke Hutan Cedar, tempat bersemayamnya raksasa Humbaba,” serunya dengan percaya diri: “Kita harus membunuhnya dan mengusir kejahatan dari dunia.”46 Bagi prajurit, musuh selalu mengerikan, antitesis dari segala yang baik. Tetapi secara signifikan, penyair itu menolak untuk menisbahkan pengesahan agama atau etika pada ekspedisi militer ini. Para dewa dengan teguh menentangnya. Enlil telah secara khusus menunjuk Humbaba untuk menjaga hutan terhadap setiap serangan predator seperti ini; Ibu Gilgamesh, Dewi Ninsun, ngeri dengan rencana itu dan pada awalnya menyalahkan Shamash, dewa matahari dan pelindung Gilgamesh, karena menanamkan ide mengerikan ini dalam pikiran anaknya. Tapi ketika ditanya, Shamash tampaknya tahu apa-apa tentang hal itu.

Lihat selengkapnya