Bagi bangsa Arya yang bermigrasi ke anak Benua India, musim semi adalah musim yoga. Setelah musim dingin yang “damai tenteram” (ksema) di perkemahan, tiba saatnya memanggil Indra untuk kembali memimpin mereka terjun ke medan pertempuran dan para imam melakukan upacara yang menampilkan ulang kelahiran ajaib sang dewa.1 Mereka juga menyanyikan himne untuk merayakan kemenangan kosmiknya atas nagakekacauan Vritra, yang telah menawan air pemberi hidup di gunung primal sehingga dunia tidak lagi layak huni. Selama pertempuran heroik ini, Indra telah diperkuat oleh himne yang dinyanyikan oleh Maruts, dewa badai.2 Sekarang para imam menyanyikan himne yang sama untuk membentengi para prajurit Arya, yang seperti Indra sebelum pertempurannya meminum arak soma. Kini setelah bersatu dengan Indra, diangkat dengan minuman keras memabukkan, mereka mengikatkan kuda-kuda ke kereta perang mereka dalam ritual formal yug (“pengikatan”) dan berangkat untuk menyerang desa-desa tetangga, dalam keyakinan teguh bahwa mereka pun sedang menegakkan yang hak di dunia. Bangsa Arya menganggap diri mereka “mulia”, dan yoga menandai dimulainya musim menyerang ketika mereka benar-benar memenuhi arti nama mereka.
Sementara itu, bagi penggembala Timur Dekat, ritual dan mitologi Arya India memuja pencurian dan kekerasan terorganisasi. Bagi IndoArya pun, pencurian ternak tidak membutuhkan pembenaran: seperti setiap aristokrat, mereka menganggap penyitaan paksa sebagai satu-satunya cara mulia untuk mendapatkan barang, sehingga merampok, per se, adalah kegiatan suci. Dalam pertempuran, mereka mengalami ekstasi yang memberi makna dan intensitas bagi kehidupan mereka, sehingga menunaikan fungsi “religius” serta ekonomi dan politik. Tetapi kata “yoga”, yang memiliki konotasi begitu berbeda bagi kita hari ini, mengingatkan kita pada dinamika yang menarik: di India, para imam, orang bijak, dan mistikus Arya sering akan menggunakan mitologi dan retorika perang untuk menumbangkan etos prajurit. Tidak ada mitos yang hanya memiliki satu makna definitif; mitos selalu diperbarui dan maknanya berubah. Cerita, ritual, dan simbol yang dapat digunakan untuk mempromosikan etika perang juga bisa mempromosikan etika perdamaian. Dengan merenungkan mitologi kekerasan dan ritual yang membentuk pandangan dunia mereka, orang-orang India akan bekerja dengan penuh semangat untuk menciptakan jalan antikekerasan (ahimsa) yang luhur sebagaimana nenek moyang mereka mengelukan kesucian jalan perang.
Namun, titik balik dramatis baru akan terjadi hampir satu milenium setelah pemukim Arya pertama tiba di Punjab selama abad kesembilan belas SM. Tidak ada invasi dramatis; mereka tiba dalam kelompok-kelompok kecil, secara bertahap menyusupi wilayah itu selama periode yang sangat panjang.3 Dalam perjalanan, mereka melihat reruntuhan peradaban besar di Lembah Indus, yang pada puncak kekuasaannya (kl. 23002000 SM) telah berkembang lebih besar dari Mesir maupun Sumeria, tetapi mereka tidak berusaha untuk membangun kembali kota-kota ini, karena, seperti semua penggembala, mereka menolak keamanan hidup menetap. Sebagai bangsa kasar pemabuk, Arya menafkahi hidup mereka dengan mencuri ternak sukusuku musuh dan melawan penduduk asli, dasa (“barbari”).4 Karena keterampilan pertanian mereka belum sempurna, mereka hanya bisa menghidupi diri sendiri dengan cara merampok ternak dan menjarah. Mereka tak memiliki wilayah, tetapi membiarkan hewan mereka merumput di tanah orang lain. Merambah tanpa henti ke arah timur untuk mencari padang rumput baru, mereka tidak akan sepenuhnya meninggalkan kehidupan berpindahpindah ini sampai abad keenam SM. Terusmenerus berpindah, tinggal di tendatenda sementara, mereka tidak meninggalkan catatan arkeologis. Selama periode awal ini, kita sepenuhnya bergantung pada teksteks ritual yang disampaikan secara lisan dan yang menyinggung, secara terselubung, seperti tekateki, mitologi yang digunakan suku Arya untuk memberi bentuk dan makna bagi kehidupan mereka.
Sekitar tahun 1200, sekelompok keluarga Arya yang terpelajar memulai tugas monumental mengumpulkan himne yang telah diwahyukan kepada resi (rishi) zaman dulu, menambahkan puisi baru mereka sendiri. Antologi ini terdiri dari lebih seribu puisi, dibagi menjadi sepuluh buku, akan menjadi Rig Weda, yang paling suci dari empat teks Sansekerta yang secara kolektif dikenal sebagai Weda (“pengetahuan”). Beberapa dari himne ini dinyanyikan selama ritual pengorbanan Arya untuk mengiringi pertunjukan sandiwara dan gerak tubuh tradisional. Bunyi akan selalu memiliki makna suci di India dan ketika lantunan musik dan katakata misterius menyusup ke dalam pikiran mereka, suku Arya merasa terhubung dengan kekuatan misterius yang menyatukan unsur-unsur berbeda dari alam semesta ke dalam satukesatuan kosmik. Rig Weda adalah rita, tatanan Ilahi, diterjemahkan ke dalam ucapan manusia.5 Tapi bagi seorang pembaca modern, teksteks ini tidak tampak “religius” sama sekali. Alih-alih berisi peribadatan pribadi, kitab itu memuja perang, sukacita pembunuhan, kegembiraan dari minuman keras, dan kemuliaan mencuri ternak orang lain.
Pengorbanan adalah penting bagi setiap perekonomian kuno. Kekayaan masyarakat dianggap bergantung pada anugerah yang dijanjikan oleh para dewa pelindungnya. Manusia menanggapi kemurahan hati Ilahi ini dengan mengucap syukur, sehingga meningkatkan kehormatan para dewa dan memastikan kebajikan lebih lanjut. Jadi, ritual Weda didasarkan pada prinsip pertukaran timbal balik: do ut des—“Aku memberi supaya engkau memberi.” Para imam akan mempersembahkan bagian terpilih dari hewan kurban kepada para dewa: persembahan itu disampaikan ke alam surga oleh Agni, Api suci, sedangkan daging sisanya adalah hadiah dari para dewa untuk komunitas. Setelah sebuah serangan yang sukses, para prajurit akan membagikan rampasan mereka melalui ritual widata, yang menyerupai festival potlatch* penduduk asli Amerika barat daya.6 Ini pun bukanlah sesuatu yang bisa kita sebut urusan spiritual. Kepala suku (raja) yang mengadakan upacara pengorbanan itu dengan bangga memamerkan sapi, kuda, soma, dan hasil panen yang telah direbutnya kepada tetua klannya sendiri dan kepada raja-raja tetangga. Sebagian dari barang tersebut dipersembahkan kepada para dewa, yang lain disajikan kepada kepala suku yang berkunjung, dan sisanya dikonsumsi dalam pesta liar. Para peserta mabuk atau sedikit melayang; ada seks dengan gadisgadis budak dan lomba pacu kereta yang agresif, lomba menembak dan tarik tambang; ada permainan dadu dengan taruhan tinggi dan pertempuran purapura. Tapi ini bukan sekadar sebuah pesta besar; ini sesuatu yang penting bagi ekonomi Arya: cara ritual untuk mendistribusikan sumber daya yang baru diperoleh dengan nilai yang wajar dan menetapkan kewajiban pada klan lain untuk membalas. Persaingan suci ini juga melatih pemuda dalam keterampilan militer dan membantu para raja mengidentifikasi bakat, sehingga aristokrasi prajurit terbaik bisa muncul.
Tidaklah mudah melatih seorang prajurit untuk siap menghadapi bahaya dari hari ke hari. Ritual memberi arti bagi pertarungan yang pada dasarnya suram dan berbahaya. Soma melenyapkan segala hambatan dan himne mengingatkan prajurit bahwa dengan memerangi penduduk asli mereka melanjutkan pertempuran hebat Indra demi ketertiban kosmik. Konon Vritra adalah “yang terburuk di antara para Vratra”, sukusuku prajurit pribumi yang mengintai penuh ancaman di sekeliling masyarakat Weda.7 Bangsa Arya dari India memegang keyakinan Zoroaster bahwa sebuah pertarungan besar sedang berkecamuk di surga antara para dewa perang dan para asura** pencinta damai. Tapi tidak seperti
* Festival potlatch: Orang India Amerika di Pantai Utara Pasifik. Pada festival tersebut mereka saling memberikan hadiah. ** Asura adalah versi bahasa Sansekerta dari Ahura (“tuan”) Avesta.
Zoroaster, mereka agak membenci asura yang duduk diam dan secara teguh berpihak kepada para dewa luhur ‘yang mengendarai kereta mereka, sedangkan asura berlindung di balaibalai rumah mereka’.8 Begitu besar kebencian mereka terhadap kebosanan dan kesia-siaan hidup bermukim sehingga hanya dalam perampokan mereka merasa sepenuhnya hidup. Mereka pun bisa dibilang diprogram secara rohani: gerakan ritual yang diulang terusmenerus menanamkan dalam tubuh dan pikiran mereka pengetahuan naluriah tentang bagaimana seorang lelaki alpha harus membawakan diri; dan himne emotif menanamkan keyakinan mendalam bahwa bangsa Arya dilahirkan untuk mendominasi.9 Semua ini memberi mereka keberanian, keuletan, dan energi untuk melintasi jarak yang sangat jauh dari barat daya India, menghilangkan setiap rintangan di jalan mereka.10
Kita nyaris tidak tahu apa-apa tentang kehidupan bangsa Arya selama periode ini, tetapi karena mitologi tidak sepenuhnya tentang dunia langit melainkan pada dasarnya mengenai yang di sini dan sekarang, dalam teksteks Weda ini kita menangkap bayangan tentang komunitas yang berjuang demi hidupnya. Pertarungan mitikal—antara para dewa dan asura dan Indra serta naganaga kosmiknya—mencerminkan perang antara Arya dan dasa.11 Arya mengalami Punjab sebagai penjara dan dasa sebagai musuh sesat yang mencegah mereka mencapai kekayaan dan ruang terbuka yang menjadi hak mereka.12 Emosi ini mengalir dalam banyak cerita mereka. Mereka membayangkan Vritra sebagai ular besar, melingkar di sekitar gunung kosmik dan melilit eraterat sehingga air tidak bisa lolos.13 Cerita lain berbicara tentang setan Vala, yang telah memenjara matahari bersama sekawanan sapi di sebuah gua sehingga tanpa cahaya, kehangatan, dan makanan dunia akan mati. Tapi setelah melantunkan himne di samping Api suci, Indra menghancurkan gunung itu, membebaskan sapi dan meletakkan matahari tinggi di langit.14 Nama Vritra dan Vala berasal dari akar IndoEropa *vr; “menghalangi, melingkupi, melingkari”, dan salah satu julukan Indra adalah Vrtrahan (“mengalahkan perlawanan”).15 Arya harus berjuang menemukan jalan melalui musuh yang mengelilingi mereka seperti yang dilakukan Indra. Pembebasan (moksha) akan menjadi simbol lain yang akan ditafsir ulang oleh generasi terkemudian; kebalikannya adalah amhas (“penangkaran”), serumpun dengan kata bahasa Inggris anxiety (“kecemasan”) dan bahasa Jerman Angst, membangkitkan ketegangan yang menyesakkan.16 Orang-orang bijak kelak akan menyimpulkan bahwa jalan menuju moksha terletak pada kesadaran bahwa sedikit itu lebih banyak.
Pada abad kesepuluh, bangsa Arya telah mencapai wilayah Doab antara Sungai Yamuna dan Gangga. Di sana mereka mendirikan dua kerajaan kecil, yang satu didirikan oleh konfederasi klan Kuru dan Panchala, yang lain oleh Yadawa. Tapi setiap tahun ketika cuaca dingin, KuruPanchala mengirim prajurit untuk membangun pos Arya baru sedikit lebih jauh ke timur. Di sana mereka akan menundukkan penduduk setempat, menyerang pertanian mereka dan merebut ternak mereka.17 Sebelum bisa menetap di daerah ini, hutan tropis yang lebat harus dibersihkan dengan api, sehingga dewa api Agni menjadi alter ego Ilahi penjajah ini dalam gerak maju perlahan ke arah timur dan menginspirasi Agnicayana, pertempuran ritual yang mengesahkan koloni baru. Pertamatama, para prajurit bersenjata lengkap berjalan ke tepi sungai untuk mengumpulkan tanah liat untuk membangun altarapi dari bata, sebuah pernyataan provokatif akan hak mereka atas wilayah ini, memerangi setiap penduduk setempat yang menghalangi mereka. Koloni itu baru menjadi kenyataan ketika Agni melompat ke altar baru ini.18 Altar yang panas menyala ini membedakan perkemahan Arya dari kegelapan desa orang barbar. Para pemukim juga menggunakan Agni untuk memikat ternak tetangga mereka untuk mengikuti api. “Dia harus membawa api terang membara ke permukiman musuh,” kata teks terkemudian. “Dengan cara itu, dia mengambil harta kekayaannya, barang miliknya.”19 Agni melambangkan keberanian dan dominasi prajurit, “diri” (atman)nya yang paling mendasar dan ilahiah.20
Namun seperti Indra, alter egonya yang lain, prajurit itu pun bercela. Disebutkan bahwa Indra telah melakukan tiga dosa yang secara fatal melemahkannya: dia telah membunuh seorang pendeta Brahmana, melanggar janji persahabatan dengan Vritra, dan merayu istri orang lain dengan menyamar sebagai suaminya; dengan demikian dia telah secara progresif kehilangan keunggulan spiritualnya (teja), kekuatan fisiknya (bala), dan keindahannya.21 Disintegrasi mitikal ini kini sejajar dengan perubahan besar dalam masyarakat Arya ketika Indra dan Agni akan menjadi ekspresi keilahian yang tidak memadai bagi sebagian rishi. Ini adalah langkah pertama dalam proses panjang yang akan meruntuhkan kecanduan bangsa Arya pada kekerasan.
***
Kita tidak tahu persis bagaimana Arya mendirikan dua kerajaan mereka di Doab, “Negeri Arya”, tetapi mereka hanya bisa melakukannya dengan kekerasan. Mungkin banyak peristiwa yang membenarkan apa yang disebut sejarahwan sosial “teori penaklukan” dalam penegakan negara.22 Para petani mendapat banyak kerugian akibat perang, yang menghancurkan tanaman dan membunuh ternak mereka. Ketika bangsa Arya yang secara ekonomi lebih miskin, tetapi secara militer lebih unggul menyerang mereka, tak tertutup kemungkinan bahwa, daripada menderita kehancuran ini, beberapa petani yang lebih pragmatis memutuskan untuk tunduk kepada perampok dan malah menawarkan sebagian dari kelebihan hasil panen mereka. Para perampok itu sendiri belajar untuk tidak membunuh angsa bertelur emas karena mereka bisa mendapatkan penghasilan tetap dengan kembali ke desa itu untuk meminta lebih banyak barang dan, lamakelamaan, perampokan ini mungkin telah dilembagakan menjadi upeti rutin. Setelah Yadawa dan KuruPanchala menundukkan cukup banyak desa di Doab dengan cara ini, mereka sebenarnya telah menjadi penguasa aristokrat kerajaan agraris, meskipun setiap tahun mereka masih mengirim rombongan perampok ke timur.
Transisi ke kehidupan agraris ini berarti perubahan sosial yang besar. Tentu saja kita hanya bisa berspekulasi, tetapi sampai saat ini, tampaknya masyarakat Arya belum berstrata secara kaku: klan yang lebih rendah berjuang bersama kepala suku mereka, dan para imam sering ambil bagian dalam penyerangan.23 Namun, bersama pertanian datanglah spesialisasi. Bangsa Arya menemukan bahwa mereka sekarang harus mengintegrasikan dasa, petani dari kalangan penduduk asli yang menguasai teknik pertanian, ke dalam komunitas mereka, sehingga mitos Vritra yang mengutuk dasa mulai ditinggalkan, karena tanpa kerja dan keahlian mereka ekonomi agrarian akan gagal. Tuntutan produksi juga berarti bahwa bangsa Arya sendiri harus bekerja keras di ladang, sementara yang lain menjadi tukang kayu, tukang besi, pengrajin tembikar, penyamak kulit, dan penenun. Mereka sekarang harus tinggal di rumah, sementara prajurit terbaik dikirim untuk berperang di timur. Mungkin ada perebutan kekuasaan antara para raja, yang memegang kekuasaan, dan para imam yang memberinya legitimasi. Berbeda dari tradisi berabad-abad, perkembangan baru ini harus dicangkokkan ke dalam mitos Weda.
Kekayaan baru dan keluangan waktu memberi para imam lebih banyak kesempatan untuk merenung dan mereka mulai memperbaiki konsep tentang ketuhanan. Dari dulu mereka melihat para dewa sebagai bagian dari realitas yang lebih mulia dan lebih menyeluruh yakin Wujud itu sendiri, yang sejak abad kesepuluh SM mereka sebut Brahman (“Maha Segala”).24 Brahman adalah kekuatan yang menyatukan seluruh kosmos bersama-sama dan memungkinkannya untuk tumbuh dan berkembang. Ia tak bernama, tak dapat dijelaskan, dan benar-benar transenden. Para dewa (deva) tak lain adalah berbagai manifestasi dari Brahman: “Mereka memanggilnya Indra, Mitra, Naruna, Agni, dan dia adalah Garatman bersayapmulia dari langit. Kepada yang Satu, orang bijak memberi banyak julukan.”25 Dengan tekad yang nyaris argumentatif, generasi baru para resi berniat menemukan prinsip pemersatu yang misterius ini dan para dewa yang terlalu mirip manusia tidak hanya merupakan gangguan, tetapi jadi memalukan: mereka menyembunyikan ketimbang mengungkapkan sang Brahman. Menurut para resi, tak seorang pun, bahkan yang tertinggi di antara para dewa, tahu bagaimana dunia kita menjadi ada.26 Cerita lama tentang Indra membunuh raksasa demi menertibkan kosmos sekarang tampak amat kekanakkanakan.27 Secara perlahan, kepribadian para dewa mulai menyusut.28
Salah satu himne yang terakhir ini memberikan dukungan suci bagi stratifikasi masyarakat Arya.29 Resi ini merenungkan mitos kuno raja yang pengurbanan kematiannya melahirkan kosmos, yang disebut sang resi sebagai “Purusha”, “Sosok” primordial. Dia menggambarkan dirinya berbaring di atas rumput arena ritual yang baru dipotong dan membiarkan para dewa membunuhnya. Jasadnya kemudian dipotongpotong dan menjadi komponen alam semesta: burung, hewan, kuda, sapi, langit dan bumi, matahari dan bulan, dan bahkan para dewa besar Agni dan Indra, semua muncul dari berbagai bagian tubuhnya. Namun, hanya 25 persen dari Purusha yang membentuk dunia terbatas ini; 75 persen sisanya tidak terpengaruh oleh waktu dan kematian, transenden dan tak terbatas. Dalam penyerahan diri Purusha, pertempuran kosmik lama dan pertandingan suci digantikan oleh mitos tanpa pertempuran: raja menyerahkan diri tanpa perlawanan.
Kelas sosial baru Kerajaan Arya juga bermunculan dari tubuh Purusha:
Ketika mereka memotong-motong Purusha, berapa bagian yang mereka buat?
Mereka namai apakah mulutnya, tangannya?
Mereka namai apakah paha dan kakinya?
Sang imam (Brahmin) adalah mulutnya; kedua lengannya menjadi prajurit (rajanya).
Pahanya menjadi orang biasa (waishya), dari kakinya terlahirlah hamba (shudra).30
Dengan demikian, masyarakat baru yang bertingkat-tingkat ini, klaim himne tersebut, bukanlah penyimpangan berbahaya dari masyarakat egaliter masa lalu, melainkan sudah setua alam semesta itu sendiri. Masyarakat Arya kini terbagi menjadi empat kelas sosial—asalusul dari sistem kasta rumit yang akan berkembang kemudian. Setiap kelas (varna) memiliki “tugas” suci (dharma) tersendiri. Tidak seorang pun bisa melakukan tugas yang ditetapkan untuk kelas lain, seperti halnya sebuah bintang tidak bisa meninggalkan lintasannya dan mengganggu lintasan sebuah planet.
Pengorbanan masih penting; anggota dari setiap varna harus menundukkan kesukaan pribadi mereka demi kepentingan bersama. Dharma kaum Brahmana, yang berasal dari mulut Purusha, adalah memimpin ritual masyarakat.31 Untuk pertama kalinya dalam sejarah Arya, para prajurit sekarang membentuk kelas berbeda yang disebut rajanya, istilah baru dalam Rig Weda; kelak mereka akan dikenal sebagai Kshatriya (“yang diberdayakan”). Mereka berasal dari lengan, dada, dan jantung Purusha, tempat bersemayamnya kekuatan, keberanian, dan energi, serta dharma mereka sehari-hari ialah mempertaruhkan nyawa mereka sendiri. Ini adalah perkembangan signifikan, karena membatasi kekerasan di dalam komunitas Arya. Sampai saat itu, semua lelaki berbadan sehat menjadi pejuang dan agresi menjadi raison d’etre seluruh suku. Himne itu mengakui bahwa rajanya sangat diperlukan, karena kerajaan tidak bisa bertahan tanpa kekuatan dan paksaan. Namun, selanjutnya hanya rajanya yang bisa memanggul senjata. Anggota ketiga kelas lainnya— Brahmana, Waisya, dan Shudra—sekarang harus melepaskan kekerasan dan tidak lagi diizinkan untuk ambil bagian dalam serangan atau berjuang dalam perang kerajaan mereka.
Dalam kedua kelas terbawah kita menyaksikan kekerasan sistematis masyarakat baru ini. Mereka berasal dari tungkai dan kaki Purusha, bagian tubuh terbawah dan terbesar; dharma mereka ialah untuk melayani, melakukan tugastugas kecil bagi kelas atas, dan memikul beban seluruh kerangka sosial, melaksanakan kerja produktif yang menjadi andalan kerajaan agrarian.32 Dharma kaum waishya, klan orang-orang biasa, yang kini terlarang untuk berperang, ialah menghasilkan makanan; aristokrasi Kesatria kini akan menyita kelebihan hasil panen mereka. Kaum waishya dengan demikian diasosiasikan dengan fertilitas dan produktivitas, dan karena berasal dari tempat yang dekat dengan kelamin Purusha, mereka juga diasosiasikan dengan nafsu badani, yang menurut kedua kelas atas, membuat mereka tak layak dipercaya. Namun, perkembangan paling signifikan ialah diperkenalkannya shudra: dasa di bagian bawah tubuh sosial itu sekarang didefinisikan sebagai “budak”, yang bekerja keras untuk orang lain, melakukan tugas paling rendah, dan karenanya dihina sebagai kotor. Dalam hukum Weda, waisya untuk ditindas, tapi sudra bisa dibinasakan atau dibunuh sesuka hati.33
Himne Purusha dengan demikian mengakui kekerasan struktural yang terletak di jantung peradaban Arya yang baru. Sistem baru ini mungkin telah membatasi peperangan dan penyerangan ke salah satu kelas istimewa, tapi menyiratkan bahwa penaklukan paksa waisya dan sudra adalah bagian dari tatanan sakral alam semesta. Bagi Brahmana dan Kesatria, aristokrasi Arya baru, kerja produktif bukanlah dharma mereka, sehingga mereka punya waktu luang untuk mengeksplorasi seni dan ilmu pengetahuan. Sementara setiap orang diharapkan untuk berkorban, pengorbanan terbesar dituntut dari kelas bawah, dikutuk untuk hidup dalam perbudakan dan dilabeli sebagai nista, rendah, dan hina.34
***
Peralihan bangsa Arya ke pertanian terus berlanjut. Sekitar 900 SM, ada beberapa kerajaan kecil di negeri Arya. Berkat peralihan dari budi daya gandum ke produksi sawahbasah, kerajaan itu menikmati surplus yang lebih besar. Pengetahuan kita tentang kehidupan di negara-negara yang baru muncul ini memang terbatas, tapi sekali lagi, mitologi dan ritual dapat memberi sedikit kejelasan tentang perkembangan organisasi politiknya. Dalam kerajaan kecil ini, sang raja, meskipun masih dipilih oleh rekanrekan Kesatrianya seperti kepala suku, sedang bergerak untuk menjadi rajasuya, penguasa agraria yang kuat dan kini diimbuhi oleh sifatsifat Ilahi selama upacara penyuciannya sepanjang tahun. Selama upacara ini, Kesatria lain menantang raja baru, yang harus merebut kembali wilayah kekuasaannya dalam permainan dadu ritual. Jika kalah, dia dipaksa ke pengasingan, tetapi akan kembali bersama sebuah pasukan untuk menjatuhkan lawannya. Jika menang, dia akan menenggak arak soma dan memimpin serangan ke wilayah-wilayah tetangga, dan ketika kembali dia sarat dengan harta jarahan, para Brahmana mengakui kedudukannya sebagai raja: “Engkau, ya Raja, adalah Brahman.” Raja itu sekarang adalah “Segalanya”, sumbu roda yang menyatukan seluruh kerajaannya dan memungkinkannya untuk mencapai kesejahteraan dan berkembang.
Tugas utama seorang raja ialah menaklukkan tanah pertanian baru, tugas yang disakralkan oleh Kurban Kuda (Ashwamedha) di mana seekor kuda jantan putih ditahbiskan, dibebaskan, dan dibiarkan berkeliaran tanpa gangguan selama satu tahun, diiringi oleh tentara raja yang ditugasi untuk melindunginya. Seekor kuda peliharaan akan selalu pulang ke kandang, jadi tentara itu sebenarnya mengarahkan kuda itu ke wilayah yang ingin ditaklukkan raja.35 Maka demikianlah di India, seperti halnya di setiap peradaban agraria, kekerasan berkelindan di dalam tekstur kehidupan aristokrat.36 Tidak ada yang lebih mulia daripada kematian dalam pertempuran. Mati di ranjang adalah dosa terhadap dharma Kesatria dan jika ia merasa akan kehilangan kekuatan ia diharapkan menemui kematiannya di medan perang.37 Akan tetapi, orang biasa tidak punya hak untuk berperang, jadi jika ia meninggal di medan perang maka kematiannya dianggap sebagai penyimpangan mengerikan dari norma—atau bahkan lelucon.38
Namun selama abad kesembilan SM, sebagian Brahmana di Kerajaan Kuru memulai reinterpretasi baru lagi atas tradisi kuno Arya dan mengawali gerakan pembaruan yang secara sistematis mengeluarkan seluruh kekerasan dari ritual agama dan bahkan membujuk kaum Kesatria untuk mengubah jalan mereka. Ideide mereka tercatat dalam kitab suci yang dikenal sebagai Kitab Brahmana, yang berasal dari abad kesembilan hingga ketujuh SM. Tidak ada lagi ritual pesta liar potlatch atau pertandinganpertandingan yang kasar dan gaduh. Dalam ritual yang sama sekali baru ini, sang Pelindung (yang membiayai penyelenggaraan kurban) adalah satu-satunya orang awam yang hadir dan dipandu melalui upacara rumit oleh empat imam. Penggerebekan ritual dan pertempuran purapura digantikan oleh nyanyian lirih dan gerakan simbolik, meskipun jejak-jejak kekerasan lama tetap bertahan: himne lembut berjudul “Kereta Kencana sang Dewa”, dan lagu pujian megah dibandingkan dengan gada mematikan Indra, yang diayunkan bolakbalik oleh para penyanyi “dengan suara keras”.39 Akhirnya, dalam ritual Agnicayana yang diperbarui, bukannya berperang untuk wilayah baru, sang Pelindung hanya mengangkat tungku api, mengambil tiga langkah ke timur, lalu meletakkannya kembali.40
Sangat sedikit yang kita ketahui tentang motivasi yang ada di balik gerakan pembaruan ini. Menurut salah seorang peneliti, gerakan ini berasal dari tekateki tak terpecahkan bahwa ritual pengorbanan, yang dirancang untuk memberikan hidup, sebenarnya terlibat dalam kematian dan kehancuran. Para resi tidak bisa menghilangkan kekerasan militer dari masyarakat, tapi mereka bisa melepaskannya dari legitimasi agama.41 Ada juga kekhawatiran baru tentang kekejaman terhadap hewan. Dalam salah satu puisi akhir Rig Weda, seorang resi dengan lembut menenangkan kuda yang akan disembelih di Ashwamedha:
Jangan biarkan jiwamu tersayang membakarmu saat engkau datang, jangan biarkan kapak berlama-lama di dalam tubuhmu