Fight For Love

Anna Onymus
Chapter #1

Chapter 1

Aku melangkah menaiki tangga halte bus Transjakarta dengan langkah gontai. Seluruh semangat dan tenaga terasa terkuras habis dari diriku. Bukan hanya karena lelah bekerja, melainkan juga karena patah hati. Penyebab kedua itu yang terasa paling memberatkan akhir hariku.

Sudah setahun aku terjerat cinta lokasi dengan Arman, teman satu divisiku. Lelaki yang begitu sempurna di mataku dan menjerat hatiku sejak pertama kali aku melihatnya. Ia begitu memesona dengan perawakan tinggi tegap, penuh percaya diri, cerdas dan tampan. Selain sosoknya yang mengagumkan, ia juga ramah dan santun.

Kehadiran Arman begitu berarti bagiku, walaupun lelaki itu tak pernah membalas perasaanku. Hidupku jadi lebih indah dan penuh warna sejak aku mengenalnya. Sikap Arman yang santun dan ramah kepadaku juga semakin memupuk perasaanku padanya. Walau aku tahu sikap baik Arman bukan hanya padaku saja. Dia adalah tipe lelaki yang ramah pada semua orang. Bagaimanapun hubunganku dengan Arman, aku menikmatinya.

Namun semua keindahan dalam hidupku ini akan segera berlalu. Aku akan dipindah ke divisi keuangan, sedangkan Arman dipindah ke kantor cabang Depok di waktu bersamaan. Cukup jauh dari kantor pusat di kawasan Mega Kuningan. Aku akan kehilangan hari-hari menyenangkanku di mana ada Arman dalam jangkauan pandanganku dan mungkin kami akan jarang berkomunikasi. Meskipun aku dan Arman masih dalam naungan perusahaan yang sama. 

Inikah akhir dari dongengku? Aku sungguh merasa menyesal karena terlalu terbuai dan menganggap kami akan terus menerus bersama. Lupa bahwa aku bekerja di perusahaan besar dan bisa dimutasi sewaktu-waktu. Seharusnya aku berusaha lebih keras memenangkan hati Arman. Atau menjaga hati supaya tidak jatuh cinta terlalu dalam kepadanya sehingga tak perlu mengalami patah hati jika semuanya berakhir seperti ini. Bodohnya aku tidak memilih di antara kedua pilihan itu. Dan sekarang aku hanya bisa meratapi patah hati yang sepertinya akan berkepanjangan. 

***

Hari-hari terakhir bekerja di divisi procurement kujalani dengan hati ngenes. Sementara, Arman tampak santai-santai saja menyelesaikan sisa urusannya sebelum meninggalkan divisi procurement. Sama sekali tidak menyadari bahwa orang yang duduk di sebelahnya sedang melawan perasaan sedih karena akan berpisah dengannya. Bahwa orang itu mencintainya. Ah, siapalah aku di mata Arman sampai-sampai dia harus memperhatikanku?

Sebenarnya masih ada kesempatan terakhir untukku. Mumpung aku masih bisa bertemu Arman dalam beberapa hari ke depan. Aku bisa mengakui saja perasaanku pada Arman. Mengatakan padanya bahwa selama ini aku mencintainya. Supaya tak ada penyesalan dan rasa penasaran. Terasa seperti judi dengan harga diri sebagai taruhannya. Jika ternyata Arman merasakan yang kurasakan, aku menang. Namun jika ternyata ia tidak mencintaiku, aku kalah dan mungkin kehilangan Arman untuk selamanya. Resiko yang terlalu besar untuk diambil karena aku tak mau kehilangan Arman, walau hanya sebagai teman. 

“Nisa.”

Seketika lamunanku buyar, dan aku baru menyadari diriku sedang terduduk lesu dengan kepala menunduk dan tangan tergeletak di atas keyboard. “Ya?”

Kening Arman mengerut. “Lagi ngelamunin apa sih sampai nggak dengar aku panggilin?”

Ngelamunin kamu! Hatiku menjawab cepat. “Lagi ngantuk aja,” dustaku. “Kenapa?”

“Lusa kan kita farewell, enaknya beliin apa ya buat teman-teman?” Arman meminta pendapatku. 

Lihat selengkapnya