Fight For Love

Anna Onymus
Chapter #4

Chapter 4

Sandwich. Dulu aku mengenalnya sebagai roti isi yang komplit dan mengenyangkan. Dua tangkup roti tawar berisi sayuran, protein berupa daging atau telur atau ikan, saus dan mayonais. Lezat sekali. Namun setelah aku mengetahui makna lain dari sandwich, aku kini membencinya. Tapi aku tak menyesal, toh sebagai makanan pun aku tidak begitu suka. Aku lebih suka burger ketimbang sandwich.

Aku membenci kata sandwich karena setelah dewasa, rupanya takdir menentukan diriku menjadi sandwich generation. Sejak Papa tiada, akulah yang menggantikan perannya sebagai tulang punggung keluarga. Peran itu membuatku tak bisa menikmati gajiku sepenuhnya, bahkan mungkin bisa dibilang aku hanya menikmati sebagian kecil saja karena ada Mama dan adik yang harus kubiayai. 

Di satu sisi, peran itu membuatku bangga dan merasa tangguh. Keadaan ini juga membuatku jadi pandai mengelola keuangan walau aku belum bisa menabung, apalagi investasi. Namun terkadang peran itu membuatku lelah. Karena aku hanya bisa menikmati segarnya gajian selama beberapa hari saja. Sisanya aku harus menahan sifat konsumtif dan memutar otak agar sisa uang di rekeningku cukup sampai tiba tanggal gajian lagi. Aku menyebutnya sebagai “tanggal beku”. Biasanya tanggal bekuku dimulai dari tanggal 10 atau 11 dan berlangsung hampir tiga minggu.

Hari ini aku baru saja menolak ajakan Camila dan teman-teman divisi procurement makan malam di Plaza Festival. Sebenarnya ingin sekali aku bertemu dan berkumpul bersama mereka lagi, namun apa daya, kondisi keuangan tak mengijinkan. Mereka mengajakku di tanggal beku paling mengenaskan dan sisa uang yang kupunya hanya cukup untuk transport ke kantor beberapa hari sampai gajian lagi. 

“Assalamualaikum!” ujarku begitu sampai rumah.

“Wa’alaikumsalam,” Mama menyahut dan menyambutku. “Udah pulang, Kak.”

Aku hanya mengangguk. “Lapar…” keluhku lemas.

“Oalah, Mama baru aja bikin sayur sup sama ayam goreng. Masih panas-panas, sengaja Mama baru masak nunggu kamu. Buruan gih mandi, terus makan.”

Aku mengangguk dan bergegas mandi. Begitu selesai mandi dan berpakaian ala kadarnya, aku langsung ke dapur dan makan malam. Seperti biasa, Mama menemaniku. Inilah hal yang paling aku syukuri dalam hidup. Bagaimanapun keadaan menekanku, aku punya sosok ibu yang selalu ada dan menawarkan kehangatan padaku. 

“Mama senang deh kamu pindah divisi. Tiap hari bisa pulang cepat. Di rumah juga nggak ada yang nelponin.”

“Iya, Ma alhamdulillah.” Aku juga senang. Walau di kantor aku begitu sibuk hingga kepala mau meledak, tapi begitu jam kantor selesai, selesai pulalah urusan pekerjaan. Aku bisa istirahat total di rumah. Berbeda dengan divisi procurement yang seringkali overtime dan mengharuskan semua karyawannya stand by untuk bisa dihubungi.

“Kak, kayaknya Mama mau pulang kampung akhir bulan.”

Teng! Kalau Mama sudah berucap seperti itu artinya pengeluaran ekstra akan mengancam gajiku bulan ini.

“Pengen betulin rumah. Mama berpikiran rumah itu pengen Mama tambahin tiga kamar, biar jadi lima. Kan lumayan bisa buat kos-kosan.”

“Hmm boleh juga tuh, Ma,” aku setuju dengan rencana dadakan Mama kali ini. “Iya bener, daripada mangkrak nggak ditempatin. Sayang.” Aku tambah semangat.

Boleh saja aku dan keluargaku tinggal di perumahan minimalis di pinggiran Ibukota. Masih mencicil jangka panjang pula. Namun kami punya aset lain di kampung halaman, rumah peninggalan Papa. Awalnya, kami berniat ingin menjual rumah itu untuk menyambung hidup. Tapi beruntungnya, aku langsung diterima bekerja seminggu setelah wisuda sehingga rumah tersebut bisa diselamatkan.

“Tadi Mama habis teleponan sama Tante Ira. Dia ngasih saran, daripada itu rumah kosong dan lama-lama rusak, mending direnovasi terus dikontrakin. Nah, kepikiran tuh Mama buat jadiin rumah itu kos-kosan. Kan tempatnya strategis dan dekat corporate university dan biasanya banyak yang cari kos-kosan.”

Aku mendengarkan sambil mengangguk-angguk antusias menanggapi cerita Mama yang begitu bersemangat. Jarang sekali Mama bersemangat begini sejak ditinggal Papa. Seolah separuh ruhnya hilang.

“Kalau jalan itu kosan kan lumayan, Kak. Kita jadi ada pemasukan tambahan dan Mama bisa sering-sering pulang kampung.”

“Tapi gimana renovasinya, Ma? Berapa sih biayanya?” 

“Kalau dikira-kira mungkin kita harus nyiapin lima puluh juta. Mama masih punya perhiasan emas sama uang arisan kompleks bulan depan. Sisanya kalau hutang bank gimana?” Saat bertanya begitu, nada bicara Mama merendah. Tampak sungkan.

Hutang bank? Itu artinya aku harus ekstra memutar otak dan lebih irit supaya bisa membayarnya. Tapi bagaimanapun usulan Mama ide bagus dan cukup menguntungkan kedepannya. 

“Hutang bank ya. Ya udah nggak apa-apa, Ma,” jawabku ditambah seulas senyum.

Mama tampak lega. “Iya ya, Kak gitu aja. Besok Mama mulai nyari tukang.”

Aku lanjut menyantap makan malamku dan berharap semoga aku telah mengambil keputusan yang benar. Juga rejekiku dicukupkan untuk menyelesaikan urusan itu. Pusing? Tentu saja. Tapi aku berusaha untuk tidak overthinking dan menjalani saja. Toh mungkin aku tak perlu menanggung sendirian hutang itu karena begitu jadi, rumah itu akan jadi kos-kosan dan ada pemasukan tiap bulan untuk meringankan bebanku. Paling tidak aku tidak sandwich-sandwich amat nantinya.

***

Hari gajian yang kunantikan akhirnya tiba. Tanpa menunggu lama-lama, aku langsung ke ATM untuk mengambil uang tunai. Sebagian untuk kuberikan pada Mama, sebagian lagi untukku. Cicilan dan paylater sudah kulunasi sebelumnya agar aku tidak khilaf.

Mesin ATM lumayan antri. Sambil menunggu antrian, aku melihat-lihat beranda Instagram. 

“Weh, Nisa.”

Aku menoleh dan mendapati Mas Tian mengantri di belakangku. “Eh, Mas Tian. Kirain udah balik.”

“Belum, tadi gue sebat dulu di samping.”

Hmm pantas saja dia bau rokok. “Eh, tadi pembayaran agensi medsos udah lo approve kan?” tiba-tiba aku teringat.

Mas Tian melenguh. “Yah elah, kenapa sih ngomongin kerjaan?”

Aku hanya membalasnya dengan cengiran sok innocent. Walau protes, Mas Tian tetap menjawabnya bahwa ia sudah approve tepat sebelum pulang. Pasalnya, orang media sosial sudah menerorku minta agar pembayaran diselesaikan besok, yang tentu saja takkan kutanggapi pesannya sampai jam delapan besok pagi.

Lihat selengkapnya