Tak ada yang lebih membuatku terguncang di pagi hari yang cerah ini ketimbang apa yang kulihat sewaktu membuka aplikasi Instagram. Bahkan walaupun tiba-tiba petir menggelegar atau kilat berpendar di sampingku rasanya takkan semengejutkan ini. Berlebihan ya? Tapi begitulah yang kurasakan. Kekagetan yang amat sangat sampai tubuhku terdiam kaku selama beberapa saat.
Aku sedang duduk di bangku halte bus Transjakarta. Mengistirahatkan kakiku yang pegal setelah dipaksa berdiri menahan beban tubuh selama satu jam setengah sambil membuka aplikasi Instagram. Seperti biasa, update Instagram story Arman muncul paling depan dan aku langsung membukanya. Lalu seketika menyesal telah melakukannya. Lelaki pujaanku meng-upload foto bersama seorang perempuan yang aku yakini sebagai pacar barunya.
Sebenarnya ini bukan pertama kali Arman upload foto bersama perempuan. Sebelumnya boleh saja aku ingkar dan yakin perempuan-perempuan itu bukan pacarnya walau mereka foto berdua. Sedangkan yang satu ini, foto mereka tampak, mesra. Berdiri bersebelahan begitu dekat dan Arman merangkul mesra pundak perempuan itu dengan tambahan caption "Hello my love!".
Tubuhku serasa melayang, permukaan halte yang kupijaki terasa bergetar dan hilang. Aku yang tak pernah menyiapkan diri untuk kenyataan seperti ini tak ayal merasa begitu terpukul. Tanpa bisa kutahan, air mataku mulai jatuh bercucuran, tanpa sama sekali mempedulikan penumpang bus yang lalu lalang dan mungkin saja sedang menatapku aneh karena menangis tak tahu tempat.
Pantas saja selama ini hanya aku yang tampak berusaha dan menjadi orang terakhir yang membalas pesan Arman ketika kami berkirim pesan. Pantas saja ia selalu bersikap netral tiap kali aku berusaha mendekat. Mungkin sikap baiknya kepadaku memang hanya sopan santun belaka. Seharusnya aku menyadari dan tidak tutup mata akan kenyataan itu. Seharusnya kemungkinan seperti ini kusiapkan. Seharusnya aku siap sakit hati apabila cintaku tak berbalas dan ternyata Arman menemukan perempuan lain yang benar-benar ia cintai. Bodohnya aku, cinta buta kepada orang yang jelas-jelas takkan membalas perasaanku.
Sialnya, aku mengetahui semuanya saat hari baru saja dimulai. Saat seharusnya energi dan mood-ku untuk bekerja dan menghadapi setiap tantang yang bisa saja datang. Andai saja ada cuti patah hati, mungkin aku akan mengambil beberapa hari untuk menenangkan diri. Atau setidaknya setor muka di kantor dengan tampang lebih baik. Bukannya dengan wajah layu dan make up berantakan karena menangis.
Sebelum masuk kantor, aku terlebih dulu mampir ke toilet untuk membasuh muka dan bersiap memasang tampang netral. Walaupun tetap saja bekas menangisku tak bisa hilang sepenuhnya. Aku melepas kucir kuda rambutku dan merapikannya dengan agak ke depan untuk menutupi sebagian wajahku. Mendekati pintu kantor, aku menghela napas dan mengatur ekspresi. Bersiap mengenakan topeng baik-baik saja. Berharap semoga topeng ini dapat bertahan hingga sore ini.
***
Menjelang siang, saat semangatku mulai luntur dan kebosanan dengan ritme kerja yang itu-itu saja, pikiran tentang Arman muncul menyusup. Mengisi seluruh ruang kosong dalam kepalaku. Semakin menyeruak dan membuatku kembali larut dalam duka patah hati.
Kenapa Arman cepat sekali menemukan cintanya? Kalaupun memang dia bukan jodohku, tak bisakah aku dulu yang menemukan tambatan hati, sehingga aku tak perlu melalui saat-saat menyebalkan seperti ini? Aku bahagia untuknya, tak ada yang lebih melegakan bagiku selain melihat Arman bahagia dan baik-baik saja. Tapi aku juga punya sisi egois yang merasa tersakiti karena kebahagiaan Arman bukanlah aku.
Bisakah aku melupakan Arman dan melanjutkan hidup? Atau masih adakah kesempatanku mengharapkannya? Jahatkah aku bila berharap mereka cepat-cepat putus dan Arman jatuh ke pelukanku? Selama ini Arman adalah sumber kebahagiaanku, sumber kekuatanku menjalani hari dan menaklukkan masalah serta tantangan. Lalu kalau sumber kebahagiaanku direnggut dariku, apalah artinya aku menjalani hari? Apalah alasanku tersenyum? Bisakah aku tetap menjadi kuat dalam menaklukkan tantangan dan menghadapi masalah? Atau, akankah aku menemukan lagi seseorang yang membuatku jatuh cinta setengah mati seperti Arman? Entahlah, Arman adalah sosok sempurna yang belum pernah kutemui sebelumnya dalam hidupku.
“Nis, ini reimburse event kantor cabang Semarang belum dikerjain ya? Udah tiga hari katanya di keuangan. Katanya lo udah terima kemarin lusa? Kenapa bisa kelewat?” Alanis tiba-tiba mengoceh di tengah keheningan. Atau aku yang begitu terisolasi perasaanku sehingga dunia sekitarku terasa hening, padahal penuh manusia?
Astaga Alanis! Tak bisakah bertanya pelan-pelan dan tidak memberondong seperti ini? Sumpah aku sangat ingin membentaknya, pusing aku mendengar berondongan pertanyaannya. “Iya, itu pembayaran masih kurang NPWP. Gue udah mintain ke kantor cabangnya juga iya iya aja, nggak ada tindak lanjutnya! Ya mana bisa gue kerjain kalau dokumennya kurang?!” Tanpa kusadari nada bicaraku meninggi dan cenderung ketus.
“Ya udah lo follow up lagi aja coba.” Alanis menjawab lagi, tapi dengan nada bicara lebih pelan. Mungkin dia kaget melihatku mengamuk barusan, hal yang tak pernah kulakukan sejak berbulan-bulan aku di divisi keuangan.
Tak perlu dia memberi tahu, aku juga sudah melakukannya. Hampir saja aku menyembur Alanis lagi kalau Mas Tian tidak bersuara menengahi.