Aku menghampiri Mas Tian begitu ia tiba di kantor dan selesai bersiap kerja.
“Gue ijin keluar sebentar boleh nggak?” tanyaku.
“Mau ke mana lo?”
“ATM gue ketelen kemarin, gue mau ngurus ke bank.”
Mas Tian tertawa kecil. “Kayaknya lo hobi banget ya ceroboh sama ATM.”
“Bukaaan...” sergahku sebal. Ya kali aku sengaja, selain berbahaya untuk saldoku, aku juga malas ribet mengurus kartu ATM baru ke bank. “Kemarin pas gue mau tarik tunai, mesin ATM-nya tiba-tiba mati dan gue udah terlanjur masukin kartu.”
“Terus lo udah cek saldo? Aman kan nggak kepotong?”
Aku mengangguk. “Alhamdulillah saldo gue aman.”
“Ya udah, kasih tahu Alanis sama Rifa ya.”
Aku tersenyum. “Oke, thank you, Abaaang...” kataku dengan nada merayu yang meledek.
Sementara Mas Tian hanya tertawa kecil sambil geleng-geleng. Makin lama, Mas Tian makin tidak terasa seperti atasanku karena aku dan teman-teman bagian pembayaranku, sering meledeknya. Mas Tian tak pernah keberatan, dia bahkan sering juga meledek kami. Hal sederhana itu membuatku semakin nyaman di posisi pekerjaanku saat ini. Bekerja mendekam di balik meja kantor dengan angka-angka di layar monitor terasa tidak terlalu membosankan lagi.
***
Instagram story Arman muncul paling depan saat aku membuka aplikasi Instagram kala kebosanan melanda. Aku membukanya, seperti biasa ingin memgetahui kabarnya. Namun seketika itu pula aku menyesalinya, dan kurasa aku tak perlu lagi ingin tau kabarnya setiap saat. Arman tampak dimabuk cinta dengan memposting foto berdua dengan pacar barunya. Tampaknya mereka sedang kencan di kafe.
Tanpa bisa kutahan maupun kuingkari, aku sakit hati melihatnya. Rasanya pelepasan kebosanan siang ini tak ada gunanya. Bahkan memperparah bad mood-ku. Mulai hari ini kuputuskan untuk membisukan semua kiriman foto dan Instagram story Arman. Aku tak mau ambil resiko perasaanku jadi kacau kalau misalnya Arman posting foto mesra bersama pacarnya, lalu aku tak sengaja melihatnya saat lewat di berandaku, dan mengakibatkan pekerjaanku dan seluruh hariku ikut kacau karenanya.
Aku merasa seperti pecundang payah dan pengecut saat memilih menu ‘bisukan’ di akun Instagram Arman. Peduli setan, aku melakukannya lebih karena menyayangi diriku sendiri. Lagipula tak ada yang tahu, termasuk Arman, si pemilik akun. Karena aku tetap mengikuti Instagramnya.
Bagaimanapun sulitnya, aku harus move on. Tak ada lagi sisa harapan untuk dipertahankan. Aku juga masih cukup bermoral untuk tidak merebut Arman dari pacarnya atau mendoakan agar mereka segera putus. Aku juga tak mau berakhir menjadi perempuan merana bodoh yang menunggu lelaki yang kucintai selamanya.
***
Suara seruan memanggil di gerbang seketika membuyarkan keseruan film laga yang sedang kutontkon. Terpaksa aku harus menghentikan adegan saat aktor film sedang melayangkan jotosan ke wajah musuh. Kepalan tangan dan wajah penuh amarahnya membeku di layar ponselku. Aku lantas turun dari tempat tidur dan berlari keluar menghampiri kurir yang mengantarkan paket yang pastinya bukan untukku.