Bukan hanya membantuku mencari informasi tentang Pine Villa yang pernah digunakan divisi marketing saat outing, Mas Tian juga mencari referensi hotel dan bus dari beberapa divisi. Ini sih bukan lagi sekedar membantu, tapi juga membebaskanku dari tugas terberat seksi akomodasi! Tak perlu lagi aku mencari-cari di internet membaca review sampai mata juling dengan masih dihantui ketakutan bahwa hotel dan bus pariwisata yang nantinya akan kupesan tak sebagus yang diiklankan di internet. Setidaknya kalau kedua akomodasi itu sudah pernah digunakan sebelumnya oleh divisi lain dan layanannya memuaskan, aku tak perlu ragu lagi.
“Gilee potong rambut Tian! Kece badai!” Alanis meledek saat melihat Mas Tian baru masuk ruangan pagi itu.
Sedangkan yang diledek hanya menanggapinya dengan senyum sok cool dan mengerling.
“Ish, sok kecakepan lagi!” ujar Alanis lagi.
“Ya terus gue harus apa dong? Masa iya gue jawab ‘Iya lah gue ganteng!’. Apa banget,” sahut Mas Tian seraya meletakkan tas laptopnya.
“Tapi nggak usah senyum ngeselin juga kali!” Alanis masih belum puas.
Sedangkan aku dan Mbak Rifa hanya tertawa-tawa di tempat duduk kami. Bila dibandingkan dengan aku dan Mbak Rifa yang cenderung pendiam, Alanis adalah yang paling cerewet dan paling sering ledek-ledekan dengan Mas Tian. Mereka berdualah yang menghidupkan suasana di bagian pembayaran sehingga pekerjaan kami jadi nggak tegang-tegang amat karena diselingi candaan dua orang itu. Jika salah satu dari mereka tidak masuk kantor, seketika bagian pembayaran jadi sepi.
Aku melihat Mas Tian dari samping monitor Alanis, lagi. Memang benar, Mas Tian tampak berbeda dengan potongan rambut barunya. Tampak lebih rapi, bersih, dan tampan. Semakin enak dilihat.
“Nis, internet lo bisa nggak?” Mas Tian tiba-tiba saja bertanya padaku.
Aku langsung kaget dan gelagapan, khawatir dia memergokiku mencuri pandang. “Ehm,” aku bergumam gugup sambil menggeser-geser mouse-ku karena monitorku sudah mode stand by. Begitu layar rmonitorku menyala lagi, aku melihat status sambungan internet yang ternyata terputus. “Nggak bisa, Mas. Eror kayaknya.”
“Hmm pantes, punya gue juga eror,” gumamnya. “Lo kenapa kaget begitu? Habis bengong lo ya?”
Ah sial, sudah bagus Mas Tian tidak memergokiku mencuri pandang. Malah sekarang aku jadi kelihatan sekali kaget dan salah tingkah! “Iya, hehehe.”
Cowok itu geleng-geleng. “Astaga, Nisa. Pagi-pagi udah bengong. Kesambet, repot lo.”
Lagi-lagi aku hanya menanggapinya dengan cengiran. Iya, Mas kebengong. Salah fokus gara-gara lihat potongan rambut lo, lagi-lagi aku membatin.
***
“Beneran, Ma?” Kabar yang menyambutku sepulang kerja begitu mengagetkan.
“Iya, beneran. Irfan mau serius sama Zahra. Rencananya dua atau tiga bulan lagi Irfan mau ngelamar Zahra.”
“Tapi kan Zahra baru lulus kuliah, Ma,” sergahku setengah mengeluh. “Kerja full time aja dia belum dapat lho.”
Mama mengangkat bahu pasrah. “Ya mau gimana lagi? Irfan udah berniat baik dan mereka udah lama pacaran.” Kemudian Mama menatapku. “Itu juga kalau kami setuju.”
Boro-boro memberikan persetujuan, berpikir pun aku belum bisa. Sudah capek sepulang kerja, lalu disambut kabar mengejutkan, mana bisa aku berpikir jernih.