Sebagai panitia outing, aku harus datang lebih pagi. Dengan menahan kantuk yang teramat sangat, aku berangkat dari rumah pukul 04.45 dari rumah. Rombongan outing divisi keuangan akan berangkat pukul 6 pagi. Jalan raya begitu lancar dan aku sampai kantor pukul 05.15 pagi, lebih pagi daripada yang kuperkirakan. Kantor masih sepi, tentu saja. Bahkan matahari belum menampakkan cahaya sepenuhnya. Aku duduk di undakan tangga lobi, menunggu kedatangan panitia lain. Biarlah kepagian, daripada keburu kena macet dan malah jadi kesiangan.
Aku menghubungi sopir bus yang akan membawa kami menuju Bandung, memastikan bahwa bus berfungsi dengan baik, aman dan tidak terlambat. Sementara menunggu, aku pergi ke minimarket dekat kantor untuk mengisi kartu e-toll dan membeli sebotol minuman, minyak angin dan obat maag. Ketika aku kembali ke kantor, Dahlia yang bertugas sebagai seksi konsumsi juga sudah sampai. Ia sedang menurunkan kotak-kotak berisi camilan dan tiga dus air mineral dengan vendor makanan. Aku langsung turun tangan membantunya.
“Baru sampai?” tanya Dahlia.
“Lumayan, gue kepagian.”
Dahlia mengangguk-angguk. “Lo ambil camilan lo. Udah sarapan belum?”
“Nanti aja, Dahlia. Gue tadi sarapan dulu sebelum berangkat.”
Dahlia mengambil kotak camilan jatahnya dan sebotol air mineral, lalu duduk di undakan tangga. “Gue belum sarapan, tadi buru-buru, takut kesiangan.” Lalu kami pun mengobrol sambil menunggu kedatangan teman-teman yang lain.
Bus sudah tiba dan stand by pukul setengah enam pagi. Konsumsi, perlengkapan P3K dan barang-barang peserta outing yang sudah tiba dinaikkan ke dalam bus. Wajah-wajah orang divisi keuangan hari ini tampak sumringah, berbeda dengan saat mereka sedang work-mode-on yang cenderung datar. Bahkan tawa dan candaan khas bapak-bapak divisi keuangan sudah terdengar memenuhi lobi.
Pukul enam tepat, semua peserta outing mulai naik bus karena kami akan segera berangkat. Aku menghitung jumlah peserta yang sudah duduk di bangku bus, memastikan tidak ada yang ketinggalan dan baru menyadari belum melihat Mas Tian.
Aku segera meneleponnya, namun tidak mendapat respon. Aduuh bikin pusing saja orang satu ini. Kalau dia datang terlambat, setidaknya dia harus memberi kabar karena kami juga tak bisa menunggu terlalu lama untuk satu orang. Acara kami padat dan tak mau kesiangan sampai Bandung hanya karena menunggu satu orang yang datang terlambat. Ya kalau Mas Tian betulan terlambat, kalau dia batal ikut outing bagaimana?!
“Gimana, Mbak? Udah ada kabar belum itu temannya?” Sopir bus menanyaiku, sudah hampir lima belas menit kami menunggu. Gerutuan dan bisik-bisik menanyakan di mana Mas Tian pun mulai terdengar.
“Nggak tahu, Pak. Dihubungi juga nggak respons,” kataku resah. “Gimana ya enaknya? Apa kita tunggu lima menit lagi aja? Kalau dia belum nongol juga, kita tinggal aja,” putusku.
Pak Budi, manager divisi keuangan, yang juga duduk di depan menyetujui keputusan. Dia sendiri pun tampak geram karena kami jadi terlambat berangkat gara-gara Mas Tian.
Tepat setelah aku berkata begitu, pintu bus terbuka dan Mas Tian menyeruak masuk dengan napas terengah-engah.
“Nah, ini dia makhluknya!” ujarku. “Hampir aja lo mau kita tinggal.”
“Sorry, sorry,” kata Mas Tian sambil meletakkan pantat dan ransel besarnya begitu saja di sebelahku. “Motor ojek online yang gue naikin tadi bannya bocor. Mau order lagi susah, nggak dapat-dapat. Terpaksalah gue nunggu.”
“Ya paling nggak lo kabarin kek. Atau respons kalau ditelepon.”
“Ya maaf,” kata Mas Tian akhirnya. Lantas barulah aku menyadari bahwa aku baru saja meluapkan kekesalan pada atasanku sampai dia minta maaf. Aku melihat Mas Tian di sebelahku, tampaknya dia tidak keberatan atas kekurangajaranku. Atau mungkin dia sadar diri bahwa dia memang salah. Ya sudahlah.
Bus pun akhirnya melaju meninggalkan gedung kantor menuju Bandung.
***
Sesampainya di hotel, aku segera berlari ke meja resepsionis. Mengonfirmasi kamar dan membantu membagikan kunci. Setelahnya, kami diantar ke kamar masing-masing oleh petugas hotel. Satu kamar hotel diisi empat orang. Khusus untuk manajer dan supervisor, aku memesan dua kamar hotel untuk dua orang dengan twin bed.
“Kenapa sih gue harus sekamar sama Pak Budi? Mana berdua doang lagi,” gerutu Mas Tian saat bertemu denganku.
“Ini Pak Budi yang minta, Mas. Gue udah coba ajuin yang lain aja, tapi Pak Budi nggak mau,” aku menjelaskan.
“Hadeeh...” Mas Tian kesal, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya meringis sementara dia berlalu.
Aku sendiri mendapat kamar bersama Mbak Rifa, Dahlia, dan Jasmin. Agenda setelah check in adalah makan siang lalu dilanjut indoor game dan presentasi penyampaian hasil kerja dan rencana kerja masing-masing divisi. Juga presentasi beberapa laporan. Bagian itu pasti akan sangat menjemukan. Kurasa aku akan minum segelas kopi saat makan siang nanti agar tidak ketiduran ketika presentasi nanti.
***
Bagian paling membosankan dalam rangkaian acara outing divisi keuangan sudah terlewati. Kini, tiba saatnya kami bersenang-senang hingga akhir acara esok hari. Diawali dengan agenda makan malam barbeque di taman hotel.
Arena makan malam telah ditata sedemikian rupa. Dua orang staf hotel sudah siap di depan panggangan barbeque, memanggang daging dan sosis yang besar-besar. Di sebelah panggangan sudah siap kentang goreng, berbagai macam saus, sayuran pendamping, buah-buahan dan minuman. Aroma daging panggang memenuhi udara di sekitar taman, disertai suara obrolan dan candaan para peserta outing.
“Sini, cuy!” Alanis menepuk bangku di sebelahnya. Di meja itu sudah duduk Mbak Rifa dan Adinda.
Aku menghampiri mereka dan duduk di sebelah Alanis. Kami berempat menyantap makan malam sambil bercengkrama. Kebanyakan membicarakan tentang meeting yang berlangsung siang tadi. Terlebih ada sedikit masalah di bagian perpajakan.