Tak kusangka acara outing divisi keuangan ternyata menjadi acara yang begitu seru, menyenangkan, dan penuh keajaiban. Padahal awalnya kukira acaranya takkan semenyenangkan saat di procurement dulu. Hanya karena keseharian orang-orang di divisi keuangan tidak seramai orang -orang divisi procurement, bukan berarti mereka tak bisa asyik sama sekali. Rekan- rekan divisi keuangan yang biasanya bekerja dengan begitu serius dan kadang tanpa bersuara, bisa menjelma menjadi asyik dan ramai saat tidak sedang bekerja. Semua membaur dalam obrolan akrab dan hangatnya canda tawa.
Itu tadi barulah hal-hal yang membuat outing divisi keuangan begitu seru dan menyenangkan. Lantas apa yang membuatnya penuh keajaiban? Jika dulu hari-hariku terasa penuh keajaiban karena hadirnya Arman, maka kali ini yang membuatnya penuh keajaiban adalah Mas Tian. Ya Tuhan, aku bahkan merasa konyol sendiri dengan pikiranku, tapi kurasa aku benar-benar tertarik pada Mas Tian. Entah ketertarikan dalam jenis apa (aku tak berani mendeskripsikannya sebagai cinta). Aku masih harus menelaah kembali perasaanku. Lagipula untuk sampai pada tingkat jatuh cinta pada Mas Tian, itu terlalu beresiko. Kalaupun ia membalas perasaanku, jalan kami takkan pernah mudah dan aku tidak siap dengan kesulitan seperti itu.
Mas Tian meletakkan sekantong gorengan di sisi meja kerja Alanis, yang menjadi tempat strategis meletakkan makanan. Aroma gorengan hangat di sore hari saat lapar mulai melanda begitu menggoda. Tanpa berlama-lama, aku, Alanis dan Mbak Rifa segera menyerbu. Sambil menyantap gorengan, kami bercengkrama. Mengobrol ringan membahas seputar outing, mulai dari cerita seru hingga lucu.
“Nggak lagi-lagi deh gue off road,” Alanis menutup ceritanya saat ikut off road. Awalnya dia memang ingin pura-pura sakit, tapi kami berhasil membujuknya agar mau ikut. Alanis begitu panik ketika melewati medan yang menegangkan sampai-sampai ia menangis.
“Ah, cemen lo. Medan off road kemarin mah biasa aja. Nisa aja kalem-kalem aja. Ya nggak, Nis?” sahut Mas Tian.
Ada desiran di dadaku saat Mas Tian bertanya padaku soal off road. Pasalnya, lelaki itu satu mobil off road denganku dan duduk di sampingku. “Iya, seru kok off road kemarin. Mobil kita malah rame pada ngakak-ngakak,” jawabku sok santai.
“Iya lah, mobil kalian isinya orang gesrek semua.” Mbak Rifa menyahut. Mobil off road-nya di belakang kami sehingga ia bisa melihat keadaan mobil kami yang memang dipenuhi canda tawa melebihi ketegangan.
“Eh, tapi gue lihat-lihat Tian sama Nisa akrab banget pas outing kemarin.”
Glek! Maksud Alanis apa? Dia tidak membaca gelagatku mencuri-curi pandang atau berlagak sok baik pada Mas Tian kan? Rasa-rasanya sikapku kelihatan wajar kok. Aku jadi deg-degan, celaka kalau sampai gelagatku ketahuan Alanis.
“Duduk sebelahan di bus sama di off road, makan siang bareng, nyanyi kompak banget pas barbeque,” tambah Alanis.
Rasa panas mulai menjalari tubuhku saat Mas Tian menyelamatkanku dengan jawabannya.
“Itu gue yang samperin waktu pas di bus. Gue kan dateng telat, malas jalan ke belakangan. Ya udah gue duduk depan,” Mas Tian menjawab dengan santai. “Terus pas di off road, kan kalian para panitia yang bikin grup. Kebetulan aja gue segrup sama Nisa.”
“Iya,” dukungku. “Nah pas barbeque kan kita nyanyi bareng-bareng. Lo juga ikut nyanyi.”
“Ngapa sih lo resek aja. Cemburu lo ya? Hahaha…” Mas Tian malah menggoda Alanis dengan gayanya yang menyebalkan sekaligus kocak.
Walau jawaban yang diberikan Mas Tian sebenarnya wajar, diam-diam aku senang dibela olehnya. Tampaknya mulai saat ini aku harus berhati-hati dengan Alanis. Bisa-bisa dia membaca ketertarikanku pada Mas Tian, entah dari ucapan maupun gerak-gerikku. Bisa gawat kalau sampai ketahuan!
***
Karena Irfan akan melamar Zahra dalam waktu dekat, Mama mempercepat rencananya membangun rumah di kampung. Beliau berangkat akhir pekan ini dan kemungkinan akan ada di sana selama dua bulan sampai renovasi rumah selesai dan siap disewakan untuk kos-kosan.
“Biar cepet selesai urusannya. Kalau rumahnya udah bagus kan enak, ya barangkali nanti keluarga Irfan mau main ke kampung,” kata Mama saat mengutarakan keinginannya.
Untuk biaya renovasi, kami mengambil hutang bank. Zahra berjanji nantinya akan membantu melunasi biaya renovasi. Semoga dia akan benar-benar menepati janjinya.
Pagi ini aku membawa churos, masakan hasil kreasi yang baru kupelajari akhir pekan kemarin. Sebelum membawanya ke kantor, tentu saja aku sudah mencobanya lebih dulu dan ternyata rasanya enak. Jadi aku bisa membawanya ke kantor dengan percaya diri.
Churos yang kubawa belum terlalu dingin dan untungnya masih renyah. saat kuletakkan di meja printer. Waktu di divisi procurement, aku sering membuat makanan kecil dan membawanya ke kantor. Selain karena aku memang senang bereksperimen di dapur, aku juga melakukannya untuk cari perhatian pada Arman. Bahagia sekali rasanya jika ia melahap makananku, apalagi kalau sampai habis. Bagiku itu adalah ungkapan tersirat yang tulus bahwa masakanku enak. Sejak tidak lagi bekerja bersama Arman, semangat memasakku memuai. Toh tak ada objek atau seseorang yang ingin kutarik perhatiannya.
Tapi akhir pekan kemarin, tiba-tiba saja aku ingin mencoba memasak lagi setelah melihat acara masak-masak di televisi. Koki perempuan yang setia mengisi acara masak-masak Sabtu pagi itu membuat beberapa kudapan seperti biasa, salah satunya adalah churos. Karena bahan-bahan yang diperlukan mudah didapat dan pembuatannya tidak terlalu sulit, aku jadi penasaran ingin mencoba resepnya. Dan voila! Aku berhasil membuat churos, lengkap dengan celupan cokelat dan gula dengan bubuk kayu manis.
“Wih, bawa apaan tuh?” Mas Tian yang baru tiba menegurku.
“Churos, Mas,” jawabku dengan perasaan antara malu dan bangga.
“Widiih… bikin sendiri?” tanya lelaki itu seraya mengambil satu dan mencicipinya.