Demam yang kurasakan membuatku tak bisa tidur nyenyak. Setiap kali mulai pulas, aku selalu bermimpi buruk sehingga lebih dari satu jam aku hanya tidur ayam. Putus asa mencoba tidur, aku memutuskan untuk menonton televisi demi mengusir sepi. Barangkali nanti aku akan mengantuk dan tertidur.
Aku mengulurkan tangan meraih remot televisi di nakas, menyalakan televsi dan mengatur volumenya sekecil mungkin agar tidak membangunkan Mas Tian. Ya benar, Mas Tian memutuskan menginap di rumah sakit menemaniku. Sekarang ia tidur di sofa yang kekecilan untuk tubuhnya yang jangkung. Sementara televisi menayangkan film box office tengah malam, aku mengamati wajah Mas Tian yang tertidur damai. Sepasang kelopak mata yang menutupi mata teduhnya, bulu mata panjang, alis tebal yang kini tampak rileks, hidung mancung dan bibir kecokelatan. Bahkan saat tidur walau dengan mulut terbuka saja ia tetap tampan.
Mau tak mau aku jadi mengakui, sepertinya aku telah melupakan Arman dan perasaanku berpaling pada Mas Tian. Sudah seberapa dalam kah perasaanku padanya? Masihkah aku hanya sebatas kagum padanya? Setiap perlakuan baiknya padaku serasa terus menjerumuskan perasaanku semakin dalam padanya. Perasaan yang seharusnya tak boleh kumiliki.
Lihat saja dia. Tidur di sofa rumah sakit menungguiku, tidak pulang dan belum berganti pakaian setelah mengantarku dan mengurus administrasi. Tak ada laki-laki yang pernah melakukan hal sepeduli itu padaku, tentu saja selain ayahku.
Tiba-tiba Mas Tian bergerak. Dengan cepat kulemparkan pandangan ke layar televisi di depanku. Benar saja, lelaki itu terbangun.
"Kok lo belum tidur?" Mas Tian bertanya dengan suara parau.
"Nggak bisa tidur," jawabku singkat.
Tanpa sungkan-sungkan, Mas Tian menggeliat di sofa. Mengekspos tubuhnya yang tinggi atletis. Sekali lagi, aku harus mengalihkan pandangan karena semakin aku menatapnya, semakin aku ingin menjatuhkan diri ke dalam pelukannya.
"Lo kan lagi sakit, harus istirahat."
"Gue mimpi buruk terus," keluhku. "Emang kalo lagi demam gue sering mimpi buruk."
"Kenapa nggak bangunin? Kan gue bisa temenin." Cowok itu berpindah duduk di tepi ranjang.
Mas Tian tidur begitu pulas dan aku tak tega membangunkannya. "Nggak apa-apa, nanti juga gue tidur. Lo tidur lagi aja, entar malah lo yang jadinya kurang istirahat."
Tapi cowok itu tidak mematuhi permintaanku. Alih-alih tidur, kami malah jadi mengobrol. Banyak topik yang kami bicarakan mulai dari urusan kantor sampai bertukar cerita tentang keluarga masing-masing. Aku baru tahu kalau ternyata keluarga Mas Tian cukup aktif di gereja lingkungannya. Ibunya seorang pelatih paduan suara gereja, ayahnya rajin ikut kegiatan sosial di sela-sela waktu kerja, bahkan ia punya paman seorang pendeta. Sementara Mas Tian bisa dibilang termasuk orang baik-baik yang menjaga diri dan pergaulannya, serta rajin beribadah.
Diam-diam aku agak mencelus mendengar ceritanya. Walau dari awal menyadari bahwa perasaanku padanya tak memiliki harapan, tetap saja rasanya menyakitkan mendengar langsung darinya. Ia begitu kuat memeluk agamanya dan tak mungkin bisa kupengaruhi.
"Arman gimana?"
"Nggak tahu, gue udah nggak pernah kontakan lagi sama dia. Nggak pernah update sosmednya juga."