Pagi ini akhirnya aku mendapat kabar bahwa kondisiku sudah membaik. Jika tak ada gejala dan hasil tes darahku baik, aku akan diizinkan pulang besok.
Ponselku di atas nakas berdentang. Ada satu pesan masuk dari Mbak Rifa yang menanyakan keadaanku dan mengabarkan bahwa besok teman-teman kantorku akan datang menjenguk. Aku mengabarkan bahwa kemungkinan besok aku sudah diperbolehkan pulang dan teman-temanku bisa menjengukku di rumah saja. Dengan senyum terkulum, aku kembali meletakkan ponselku di atas nakas.
Sungguh konyol karena rasanya aku merindukan Mas Tian. Apalagi sudah berhari-hari aku tidak melihatnya. Kami hanya saling berkabar lewat pesan singkat. Mas Tian menanyakan kabarku dan beberapa hal tentang pekerjaan. Semoga saja besok dia ikut menjengukku di rumah.
Aku kembali menyalakan televisi yang menemaniku selama berhari-hari di rumah sakit dan menonton setiap tayangan dari masing-masing kanal yang menyediakan tayangan yang cukup kusukai. Aku memang lebih memilih menonton televisi ketimbang tayangan di Youtube atau platform film di ponselku. Selain karena akan menyedot kuotaku dengan cepat (wifi yang disediakan rumah sakit tidak bisa diandalkan), aku juga harus menghemat daya ponselku karena malas mengisi daya, apalagi letak colokan listrik agak jauh dari tempat tidur.
Senja datang menjelang dan aku hampir tertidur saat aku dikagetkan suara pintu terbuka. Lebih kaget lagi saat kulihat Mas Tian muncul di pintu. Lelaki itu tersenyum dan melangkah masuk. Aku jadi salah tingkah sendiri, apalagi penampilanku kusut berantakan. Ditambah lagi rambutku lepek dan bau karena sudah tiga hari tidak keramas. Memang aku merindukan Mas Tian, namun aku tidak mengharapkan kehadirannya saat keadaanku sangat tidak layak begini.
"Lo baru mau istirahat ya? Ganggu nggak nih gue?" tanyanya seraya meletakkan sebungkus sate. Dari aroma yang menguar sepertinya itu sate kambing.
Pasti mukaku kelihatan beler. "Nggak kok, santai aja. Lagian nggak baik juga tidur maghrib-maghrib."
Mas Tian mengangguk-angguk dan memperhatikan seisi kamar. "Lo sendirian?"
"Ada Zahra sama Irfan sih tadi nemenin tapi sekarang mereka lagi ke kantin," jelasku tanpa bisa menyembunyikan keherananku. Apa Mas Tian tidak tahu kalau besok teman-teman akan menjengukku sehingga ia datang menjenguk hari ini?
"Ooh…"
"Gimana kerjaan kantor? Pasti keteteran ya nggak ada gue?" kataku nggak enak.
Mas Tian tersenyum kecil. "Ya elah, Nis. Nggak usah mikirin kerjaan dulu. Fokus istirahat aja biar lo cepat sembuh. Oh iya, gue bawa sate kambing. Dimakan ya, mumpung masih hangat."
Aku mengangguk. Mas Tian mengambil piring di nakas dan membuka bungkus sate.
"Banyak amat, lo beli berapa?"
"Tiga puluh tusuk. Kan lo harus banyak makan biar cepet pulih. Siapa tahu Zahra juga mau."
Aku menatapnya. "Tapi Zahra lagi makan. Mending kita makan bareng-bareng aja. Sayang nanti kalau nggak kemakan."
Mas Tian mengangkat bahu dan akhirnya ikut makan bersamaku. Entah kemana perginya Zahra dan Irfan sampai hampir satu jam berlalu dan mereka belum kembali dari membeli makanan. Atau mungkin mereka makan di tempat? Terserah. Ini memberi banyak waktu untukku dan Mas Tian bercengkrama berdua saja.
Tak bisa kupungkiri bahwa kehadiran Mas Tian membuatku merasa nyaman dan memberikan semacam penghiburan padaku setelah kebosanan berhari-hari di rumah sakit. Rasanya aku terbuai semakin jauh ke dalam jurang cinta terlarang ini.
***
Aku baru mengabari Mama setelah pulang dari rumah sakit dan mendapatkan rona wajahku kembali. Seperti yang sudah kuduga, Mama panik sampai marah-marah karena tak dikabari bahwa putrinya sakit. Mama bahkan hendak bergegas pulang kalau saja aku dan Zahra tidak melarang.
"Pantesan kamu nggak pernah video call," ujar Mama. "Lain kali jangan kayak gitu lagi ya. Kalau ada apa-apa kabarin Mama."
"Iya iya, Ma. Janji nggak kayak gitu lagi," kataku. "Oh iya, gimana renovasi rumah di kampung, Ma?"
"Nih, udah setengah jadi." Mama mengedarkan pemandangan ke seantero rumah. Mulai dari ruang tamu, dapur, teras dan kamar-kamar tambahan yang akan disewakan sebagai kos.
"Udah beda banget ya dari waktu terakhir kali aku kesana," gumamku.
"Iya, Kak. Mama juga lama-lama betah di sini." Mama terlihat sumringah.