Suara hentakkan langkah sepatuku bergema memenuhi koridor. Beberapa orang yang kulewati menoleh gara-gara kehebohan yang kutimbulkan pagi itu. Persetan, yang penting aku harus tiba di mesin absen pukul delapan tepat, yang mana tinggal satu menit lagi. Kantorku menerapkan disiplin tinggi, terutama terkait jam kerja. Sedikit keterlambatan akan masuk dalam poin penilaian yang mempengaruhi bonus yang akan kudapatkan akhir tahun nanti.
Syukurlah aku berhasil absen fingerprint pukul delapan tepat. Ketika aku mengangkat jariku dari mesin absen, jam berubah menjadi 08.01. Beruntung sekali aku tak ada adegan tersandung atau tabrakan yang pasti akan membuatku terlambat.
Duduk di meja kerja, aku langsung mengipasi wajahku yang lembap oleh keringat. Sebenarnya AC di ruang kantorku dingin, tapi tidak cukup dingin untuk mengeringkan wajahku dengan cepat karena aku harus segera ber-make up. Aku tak sempat melakukannya di rumah gara-gara bangun kesiangan. Meja kerja Mas Tian kosong, aku agak lega karena dia tak perlu melihatku dengan wajah kacau dan polos tanpa make up. Walau Mas Tian pernah melihatnya saat menungguiku sakit, tetap saja aku malu kalau dia melihatnya sekarang.
Aku mengeluarkan pouch berisi seperangkat lengkap make up. Dengan gerakan secepat mungkin, aku meyapukan foundation ke seluruh wajah. Kemudian lanjut dengan menyapukan bedak padat.
“Cuy, nanti tolong bayar pajak ya.” Tiba-tiba Mas Tian muncul di belakangku dan meletakkan dokumen.
Ah, sial. Cepat sekali dia muncul. Aku belum selesai dandan! “Oke, Mas,”
“Gue kira lo nggak masuk.”
“Kesiangan bangun gue,” jawabku sambil memulaskan lipcream di bibir.
Mas Tian mengernyit dan tersenyum geli. “Padahal semalam nggak kemaleman perasaan.”
Alanis yang radarnya super sensitif langsung menoleh. “Anjir, habis ngapain lo berdua?!” ujarnya seolah menangkap basah kami sedang berbuat yang tidak-tidak.
Mas Tian tersenyum jahil ke arah Alanis. “Ada deeh,” lalu mengedipkan sebelah mata padaku. Sepertinya tidak menyadari perbuatannya menghentikan kerja jantungku sesaat.
“Ish, curiga gue.”
Dalam keadaan normal, aku akan mengelak dan berseru ‘gila lo!’. Tapi sekarang pikiranku kosong dan aku tidak bisa berkata-kata. Sementara Mas Tian hanya senyum-senyum sambil melangkah santai ke tempat duduknya.
Kalau Mas Tian bermaksud menggodaku. Well, dia sukses!
***
Siang hari yang hening seperti biasa. Kantuk mulai menyerang dan aku sudah menguap entah yang keberapa kali. Aku sudah meminum setengah cangkir kopi, tapi tampaknya efek kafeinnya belum bekerja. Sepertinya sedikit musik akan menghilangkan kebosanan dan kantukku. Sebaiknya aku memutar musik dengan irama riang. Setelah memastikan volume musik ponselku aman, aku mulai menyetel. Sambil terus bekerja, sesekali aku bergumam, ikut menyanyi mengikuti irama musik.
“All I wanna do is find a way back into love… I can’t make it through without the way back into love… Hoo hooo…” Seulas senyum muncul di bibirku. Aku sangat menyukai lagu ini.
Pendengaranku menangkap meja diketuk-ketuk, mengikuti irama musik yang sedang kuputar. Yang jelas bukan dari meja Alanis, apalagi Mbak Rifa. Aku melirik ke arah Mas Tian, dan benar saja, lelaki itu mengetuk-ngetuk meja mengikutiku menyanyi.
“I’ve been watching but the stars refuse to shine, I’ve been searching but I just don’t see the signs…” Hatiku semakin riang, aku makin semangat menyanyi.
“I’ve been looking for someone to share some light, not somebody just to get me through the night. I can use some direction. And I open to your suggestions…”
Tanpa kusangka-sangka, Mas Tian menyahut. Lalu kami menyanyikan bagian refrain bersama-sama.
“All I wanna do is find a way back into love… I can’t make it through without the way back into love. And if I open my heart again, I guess I’m hoping you’ll be there for me in the end…”
Astaga aku sungguh gembira! Lagu ini cukup mewakili isi hatiku, dan saat ini aku menyanyikannya bersama Mas Tian. Seolah kami sedang berduet dari hati ke hati. Aku harus menahan ekspresi wajahku dan stay cool.