"Makan yuk, laper gue," ajak Alanis.
"Makan dimana? Gue nggak tau daerah sini."
"Sama, gue juga. Makan di resto sini aja sih. Tadi gue lihat daftar menunya nggak yang kemahalan kok. Enak-enak juga kayaknya."
Aku mengangguk, soalnya aku sendiri juga mulai lapar. "Gue kabarin Mas Tian yaa."
"Oke."
Aku segera mengirim pesan pada Mas Tian. Tak lama kemudian, ia sudah muncul di depan kamarku dan Alanis bersama Mario.
Resto hotel ramai sekali, penuh dengan pria-pria berkaus polo putih dengan logo perusahaan BUMN yang sangat kukenal. Di sudut resto terdapat semacam panggung kecil yang tampaknya biasa dipakai live music. Di belakang panggung itu tertempel spanduk bertuliskan "Leadership Training 2022" dan logo perusahaan.
Beruntung kami masih kebagian tempat duduk. Walau letaknya agak di tengah, yang mengesankan kami bercampur dengan orang-orang yang pelatihan itu. Tapi mau bagaimana lagi? Tak ada tempat tersisa selain di tengah-tengah itu. Ditambah lagi hotel ini hanya punya satu resto di balkon sayap barat.
"Lo berdua tempatin gih," perintah Mas Tian. "Gue sama Mario yang pesan."
Aku dan Alanis mengangguk. Kami pun segera memilih menu, kemudian Mas Tian dan Mario menuju bar untuk memesan.
"Cowok-cowok BUMN mah beda ya. Walau cuma pakai kaus polo, tetap aja kinclong. Kelihatan wibawanya," bisik Alanis.
Aku mengangguk setuju. "Iya, gilaa… cakep-cakep banget!"
Kami cekikikan pelan bak remaja yang sedang mengagumi kakak kelas ganteng. Wah beruntung sekali aku, memilih hotel yang dipenuhi lelaki tampan dan mapan. Andai salah satunya bisa kugaet.
Ah, sudahlah. Aku tak mau berharap. Aku lelah kecewa. Cukup saja aku menikmatinya sebagai penyegar mata.
Pesanan kami pun akhirnya tiba.
"Nggak ada saus pedasnya?" tanyaku.
"Tuh di situ sausya," Mario menunjuk meja yang penuh sedotan dan saus.
Aku mengangguk dan beranjak. Namun belum sampai sepenuhnya berdiri, lututku terantuk meja. Aku mengaduh pelan dan duduk kembali sambil mengelus lututku.
"Astaga, Nisa. Pelan-pelan apa," ujar Mas Tian. Tangannya terulur ikut mengelus lututku.
"Heh! Tangannya ya! Modus aja lo!" pekik Alanis.
Mas Tian berdecak. "Modus apanya? Ini namanya gue perhatian. Nista banget pikiran lo," balas Mas Tian. Ia lantas bangkit dari tempat duduknya. "Ya udah gue ambilin aja ya."