Keesokan harinya, kami baru bisa meninggalkan hotel pukul delapan pagi. Beda satu jam dari waktu yang kami sepakati. Sudah kami bangun kesiangan berjamaah, Alanis juga terlalu lama berkemas.
"Lagian kenapa nggak bebenahnya dari semalam sih?!" gerutu Mas Tian sambil menjejalkan koper Alanis ke dalam mobil.
"Inget yee lo juga pada kesiangan!" Alanis tak mau kalah. "Walaupun gue bebenah koper dari semalam juga tetep aja kita baru bisa jalan siang."
Perdebatan itu berakhir begitu kami masuk mobil dan asyik menikmati perjalanan. Mas Tian sengaja membuka jendela agar kami bisa menikmati udara Bandung yang segar. Hari ini kami berencana pergi ke wisata Pasar Terapung dan Konservatorium Bosscha.
Namun sayangnya, jalan ke arah Pasar Terapung dan Bosscha macet sehingga kami memutuskan untuk wisata kuliner dengan mendatangi tempat-tempat makanan yang hits di Bandung. Walau tidak ke tempat wisata, acara kami tetap menyenangkan, dan tentu saja mengenyangkan.
"Harusnya sering-sering ya kita kayak gini," kata Mario. Ia tampak menikmati liburan akhir pekan kami di Bandung.
"Iya, yang deket-deket aja ya. Terus ajak yang mau-mau aja," aku setuju.
"Bener tuh. Banyak loh padahal tempat wisata dekat Jakarta. Bandung, Bogor, Purwakarta, Anyer, Tanjung Lesung, Sawarna Sukabumi..." Mario menyebutkan satu demi satu.
"Kepulauan Seribu..." Mas Tian menyahut.
"Ih iyaaaa! Waah seru kali ya lain kali kita ke pantai!" Aku jadi tambah semangat.
"Ayo lah jadiin bulan depan!" kata Alanis yang juga bersemangat. "Kita ajak Mbak Rifa, biar dia ngajak anak-anaknya. Bocah kan senang diajak ke pantai. Biar kita ada mainan."
Kami semua mengangguk setuju.
***
Sebelum kembali ke Jakarta, teman-temanku mengantarku kembali ke hotel. Hari masih terang saat aku tiba di hotel. Mereka memang sengaja pulang agak cepat supaya tidak kemalaman sampai di Jakarta karena lalu lintas yang padat.
Kamar hotelku telah bersih kembali, persis seperti saat aku tiba kemarin. Extra bed untuk Alanis sudah diambil. Aku langsung mandi, berganti pakaian dan merebahkan diri di tempat tidur. Untuk menghabiskan waktu, aku menonton beberapa episode serial Taiwan sampai ketiduran.
Aku bangun saat hari sudah gelap. Itu juga karena kelaparan. Aku segera cuci muka dan turun menuju restoran. Tak lupa, aku membawa novel yang kubeli sebelum berangkat kemarin.
Aku memesan seporsi nasi goreng, sebotol air mineral dan secangkir kopi gula aren. Aku tahu aku takkan bisa tidur malam ini karena tertidur sepanjang sore tadi. Jadi sekalian saja aku bergadang. Aku bisa menghabiskan sisa malam yang tenang dengan membaca novel atau series marathon. Ngomong-ngomong serial Taiwan yang kutonton tinggal tiga episode lagi. Setelahnya, ada serial komedi romantis Korea yang sudah masuk daftar tontonku.
Restoran tidak seramai kemarin. Hanya ada segerombol orang yang berkumpul di sudut restoran dengan meja lebar. Mereka tampak sedang main kartu. Kulihat ada Donghae KW juga di sana. Aku belum tahu siapa nama lelaki itu, jadi sebut saja dia Donghae KW.
Sepiring nasi goreng pesananku kulahap dengan cepat sambil berkirim pesan singkat dengan Mama. Setelahnya, aku menonton orang-orang yang main kartu itu sembari menghabiskan kopi gula arenku. Permainan mereka tampak lebih seru ketimbang novel roman picisan yang kubawa. Siapa yang kalah, mukanya akan dicoret lipstik. Wajah Donghae KW sudah tercoret di pipi kanan dan dahinya. Sepertinya bibirnya juga, entah siapa teman kurangajar yang mencoret bibir Donghae KW hingga ia tampak cantik sekarang.
Kukira mereka bermain begitu asyik hingga tak ada yang peduli dunia luar, termasuk menyadari kehadiranku. Namun tiba-tiba seseorang yang duduk di samping Donghae KW menatap balik ke arahku. Ia menyenggol Donghae KW dan lelaki itu pun ikut menoleh ke arahku. Kontan aku terkejut dan salah tingkah. Aku segera mengalihkan tatapanku ke sembarang arah. Kemudian mengambil novel yang sejak tadi tak kupedulikan di sudut meja.
Aku harus segera pergi dari sini. Dengan sekali teguk, aku menghabiskan kopiku yang masih tersisa setengah gelas dan meninggalkan restoran. Lain kali aku harus lebih berhati-hati dan tidak menatap sembarangan lagi. Malu sekali rasanya tertangkap basah seperti ini.
***
Tidurku singkat sekali. Semalam aku baru bisa tidur pukul tiga dinihari dan terbangun pukul enam gara-gara ingin pipis. Karena tak bisa kembali tidur, aku pun mengenakan jaket tebalku dan membuka pintu, berniat ingin menghirup udara pagi yang segar.
Rupanya taman sudah ramai. Beberapa orang yang kini sudah mengenakan kaus polo putih dengan logo BUMN itu sudah memenuhi taman. Ada yang sekadar jalan-jalan, duduk dan mengobrol, ada pula yang bermain bulu tangkis.
Donghae KW yang sedang jogging melihatku dan berhenti sejenak. Ia melempar senyum ramah yang sopan. Entah karena sikapnya yang sopan atau aku belum terbangun sepenuhnya, aku membalas saja senyum itu tanpa keinginan menghindar.
Puas menikmati udara segar dan bermalas-malasan di balkon, aku kembali ke kamar untuk mandi. Ketika tengah mengeringkan rambut, tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Kukira petugas hotel, ternyata Donghae KW! Mau apa dia pagi-pagi menghampiriku? Wah, dia beneran notice gara-gara sering kuperhatikan. Tapi kok dia bisa tahu ini kamarku?
"Ada apa, Mas?" tanyaku. Semoga dia tidak datang kesini untuk meledekku.
Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya padaku. "Dompetnya semalam ketinggalan, Mbak."
"Oh," aku mengambilnya, malu karena salah sangka. Tapi bahkan sampai sekarang aku belum menyadari dompetku hilang. "Makasih ya, Mas."
Donghae KW mengangguk. "Sama-sama." Ia lantas mengulurkan tangan. "Adit."