Fight For Love

Anna Onymus
Chapter #20

Chapter 20

Aku baru saja selesai dirias ketika akad nikah akan dimulai. Karena mendapat giliran dirias terakhir, perias pengantin memulas make up di wajahku dengan agak buru-buru. Entah bagaimana hasil rias wajahku, aku tak sempat bercermin untuk melihatnya karena aku harus segera ke kamar Zahra. Begitu Irfan selesai mengucapkan akad nikah, aku akan mengiringi Zahra menemui kekasih yang akan jadi suaminya itu.

Zahra tampak bahagia sekaligus tegang. Tangannya terasa dingin saat kugenggam. Zahra tampak cantik bagai ratu dengan pakaian dan riasan pengantin ala Jawa. Di luar tak terdengar suara lain selain pembacaan ayat Al-Quran.

"Saya terima nikahnya Zahra Adisti binti Heri Trisaputro dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," terdengar suara Irfan yang begitu lantang mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan nafas.

"Gimana para saksi? Sah?" Sang Penghulu bertanya.

"Sah... sah..."

"Alhamdulillah."

Doa-doa kembali dibacakan. Kini Irfan dan Zahra sudah resmi menjadi suami-istri. Ketegangan di wajah Zahra hilang, tinggal tersisa binar penuh kebahagiaan. Aku segera menggandeng Zahra keluar dari kamar, mendampinginya dengan pujaan hati yang kini telah menjadi suaminya.

***

Aku menghampiri Adit yang tengah mengobrol dengan Ira, salah satu sepupuku yang datang dari Malang. Aku lihat-lihat Ira tampak senang mengobrol dengan Adit dan tak henti-hentinya mengumbar senyum manis. Sedangkan Adit menanggapi dengan sopan dan kalem-kalem saja.

"Kamu di sini dari kapan? Kok aku nggak lihat?" tanyaku.

"Dari pagi, aku bahkan lihat akad nikahnya adik kamu," Adit tersenyum.

Aku kaget mendengarnya. "Kok nggak ngabarin sih?!" Duh, aku jadi nggak enak. Tapi mana aku tahu juga, kan dari pagi aku sudah ribet membantu persiapan acara dan dirias.

"Santai aja. Kan emang niatnya aku kesini mau nemenin kamu."

Aih, Adit jago banget bikin anak orang baper dan salah tingkah! "Eh, kenalin ini Ira, sepupuku dari Malang," aku mencoba mengalihkan percakapan. Padahal mereka sudah mengobrol sejak aku datang.

"Ya, tadi kita udah ngobrol kok," kata Ira. "Aku kesana sebentar ya," pamit Ira.

Hari ini Adit begitu tampan dan tampak elegan. Wajahnya bersih tanpa sehelaipun kumis atau janggut, rambut lurusnya disisir ke belakang dan ditata modis. Kemeja putih yang dilapisi jas kasual warna cokelat terang dan celana bahan warna khaki membalut tubuhnya dengan pas. Ia juga wangi. Ini sih Donghae siap show! Tak heran Ira betah mengobrol dengannya. Kira-kira Adit gimana ya?

Eh, kenapa aku jadi posesif gini?

"Kamu udah makan belum? Makan dulu gih," kataku tak enak hati.

Adit mengangguk kecil. "Santai aja."

Zahra dan Irfan sedang berganti pakaian untuk acara adat. Tak sampai satu jam, mereka kembali keluar untuk prosesi adat. Kedua mempelai itu tampak begitu mempesona dalam balutan pakaian adat Jawa warna hitam, bagaikan raja dan ratu. Inilah saatnya. Prosesi adat Jawa yang khidmat akan segera dimulai. Jika saat akad yang penuh haru aku bisa menahan tangis karena ada di dalam kamar bersama Zahra, entah bagaimana kali ini aku akan bertahan.

Benar saja, air mataku akhirnya jatuh, aku begitu terbawa suasana ini. Percampuran antara kebahagiaan penuh haru dan kesedihan karena hari bahagia ini berlangsung tanpa hadirnya ayah kami. Terlebih saat sungkem. Terlihat di panggung pelaminan Zahra juga berguncang karena sesenggukan.

Adit yang berdiri sebelahku menyodorkan tisu. Lalu kurasakan kehangatan melingkupi tangan kananku. Entah sejak kapan Adit menggenggam tanganku. Tanpa banyak berpikir, aku pun membalas genggaman tangannya. Aku merasa begitu rapuh dan membutuhkan suntikan kekuatan. Aku bahagia melihat adikku bahagia, namun bagaimanapun ada rasa nelangsa di hatiku yang mati-matian kutekan selama berbulan-bulan. Nelangsa karena kisah cintaku selalu gagal, hingga aku harus menerima nasib dilangkahi adikku.

Namun lagi dan lagi, aku mengingatkan diri. Bahwa aku melakukan ini atas dasar sukarela. Aku tak mau kekurang beruntunganku dalam percintaan menghalangi kebahagiaan orang lain. Aku tak mau jadi kakak yang egois.

"Udah nangisnya," Adit mengambil selembar tisu lagi dan mengusap sudut mataku.

Perlakuan Adit begitu sweet, saking sweet-nya mataku sampai meleleh tak henti-henti menangis. Ya ampun, kenapa aku jadi cengeng begini? Padahal tadi sudah janji nggak mau nangis lama-lama.

Adit mengelus tanganku. "Kamu hebat, Nisa. Nggak banyak orang dengan kerelaan seperti kamu."

Aku mengangguk dan berusaha berhenti sesenggukan. Aku tahu Adit sedang berusaha menguatkan aku. "Pasti udah habis luntur make up aku," gumamku.

Adit tersenyum kecil. "Masih cantik kok."

Aku menengadah menatap Adit, yang tampak setampan pangeran. "Makasih ya, Dit kamu udah nemenin aku hari ini."

"Aku senang bisa nemenin kamu," balasnya.

Aku mengajak Adit naik ke pelaminan untuk memberikan ucapan selamat kepada Zahra dan Irfan.

"Zahra selamat ya!" ucapku seraya memeluk adikku erat. "Semoga jadi rumah tangga yang sakinnah, mawaddah, warahmah."

"Aamiin... makasih, Kak. Semoga Kakak cepet nyusul ya," kata Zahra sambil melirik-lirik Adit.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman, sedangkan kata 'amin' hanya kuucapkan dalam hati saja. Aku malu mengatakannya. Nanti ketahuan banget ngarep!

"Selamat ya, Zahra," kini giliran Adit yang menyalami dan mendoakan Zahra.

Lihat selengkapnya