Fight for Us ? Me ?

KATHERINE PRATIWI
Chapter #1

Wrong Path

Jika penyesalan dapat didenda seperti penilangan oleh polisi, mungkin Nila akan membayar denda yang sangat besar. Biasanya ia tidak pernah menyesal ketika membantu orang yang membutuhkan. Walau ada masanya ia dihujat karena menawarkan bantuan, ia tidak peduli, ia bersikap ‘bodo amat’. Namun kali ini berbeda. Rasanya seperti dihantui. Gaib sekalipun akan pergi jika dibacakan ayat suci. Tapi ini tidak, malah semakin meneror.

Semua berawal dari lima bulan lalu, ketika ia menolong seorang wanita yang terlibat kecelakaan mobil tunggal. Suasana saat itu ramai, namun tidak ada seorang pun yang menolong. Hanya sibuk mengabadikan kejadian naas tersebut ke akun media sosial mereka. Bukannya menghubungi panggilan darurat tetapi malah sibuk menambah jumlah like di media sosial. Berbekal ilmu yang didapatnya dari ekstrakulikuler PMR, ia sigap menolong wanita muda yang terjepit diantara kemudi dan joknya, sambil berusaha menghubungi 119. Menjaga wanita itu tetap hangat dan sadar sampai petugas datang. Menunggu 10 menit hingga petugas datang, Nila turut ikut ke rumah sakit. Memberi keterangan kepada polisi lalu menunggu untuk ikut mendonorkan darahnya. Wanita muda yang ditolongnya mengalami pendarahan perut dan membutuhkan transfusi darah. Entah kebetulan atau ditakdirkan untuk bertemu. Nila selalu terlibat pada wanita ini.

Selang beberapa waktu, seorang pemuda dan wanita paruh baya menghampirinya dengan wajah khawatir dan pucat. Setelah berkenalan dan menceritakan kronologi kejadiannya, mereka bertiga duduk berdampingan sambil menunggu operasi selesai. Dan selesainya operasi tidak menyelesaikan urusan Nila dengan keluarga yang ia tolong. Tapi awal dari teror yang ia terima.

Bukan teror yang buruk, hanya saja keluarga wanita itu terus memaksanya untuk menerima hadiah sebagai imbalan. Nila menolak tentu saja, namun akhirnya ia menerimanya karena mereka terus bergantian datang ke rumah hingga ke kantor. Mengundangnya ke acara keluarga mereka, mengikutsertakannya saat ada acara-acara lain. Menyebalkan. Hidup tenangnya mulai terusik. Dan sangat terusik ketika wanita yang ia tolong menikah. Ia ‘dipaksa’ secara halus untuk menjadi bridesmaid. Menolak pun tidak ada gunanya, ia tidak punya alasan lain. Akhirnya ia ikut terjun terlalu dalam ke keluarga yang ia tolong. Keluarga Bagastia.


>>>>>


“Aku besar di panti asuhan dan gak punya teman, Nila. Jadi, aku berharap kamu mau jadi pendampingku, temanku.”

Pinta Alana-wanita yang ia tolong- saat membawanya fitting baju. Nila sudah pasrah, ia ditarik ikut kesana-kesini. Membantu ini-itu. Ikut repot dan terjebak di rapat keluarga tentang pernikahan ini. Pasrah adalah solusi terbaik. Anggap saja mendapatkan keluarga tambahan di tanah orang. Dan akhirnya ia menikmati ditengah-tengah usaha kecilnya. Dan lebih banyak ia menghabiskan waktu bersama keluarga ini, dengan ikut acara-acara bahkan menginap dirumah keluarga Bagastia. Ia bagai anak yang lama tak pulang, sangat dimanja.

“Jangan salah paham. Kamu memang ditakdirkan untuk jadi bagian keluarga ini.” tutur Bu Helena saat Nila menemani memasak sore itu.

“Keluarga Tante itu kecil, Nila. Tante dua bersaudara, kakak tante sudah meninggal. Suaminya juga, tinggal keponakan Tante itupun jauh di luar negeri. Om kamu juga anak tunggal. Anak Tante cuma dua, kembar. Yang satunya juga gak tinggal bareng Tante. Jadi Tante bersyukur banget Alana selamat dari kecelakaan itu. Tante udah janji selama perjalanan ke rumah sakit, kalau Tante akan memberikan apapun untuk yang menolong Alana.”

Terkesima sesaat dengan penuturan tulus itu, Nila akhirnya paham. Nila mulai memahami keluarga ini. Cara bersyukur orang berbeda-beda kan ? Nila semakin larut dan ikhlas setiap dirinya diikutsertakan. Termasuk menjemput kembaran Sam yaitu Aska, yang pulang demi pernikahan sang kakak. Jam 3 subuh Nila sudah ada di depan pintu kedatangan internasional Bandara Soekarno Hatta. Setelah memberitahu warna pakaian dan lokasinya, Nila sedikit bisa bersantai sambil meminum teh pagi yang terlalu pagi. 5 menit menunggu, ia hampir tersedak saat pemuda dengan wajah sama persis seperti Sam menghampiri sambil menggendong anak lelaki 3 tahun.

“Nila ?”

“Aska ?”

Nila bingung harus memanggilnya dengan sebutan apa. Wajah bule itu tidak cocok dengan panggilan di Indonesia. Kalau Sam terang-terangan hanya ingin dipanggil ‘SAM’ tanpa embel-embel. Teringat Sam membuat Nila tersulut emosi. Ia akan menyelesaikan ‘perkara itu’ nanti dengan calon pengantin itu.

“Onti Nila ?” sapa anak lelaki itu ramah. Dan dengan sangat ramahnya ia berpindah ke gendongan Nila. Arman, anak dari sepupu Sam dan Aska, yang ikut pulang. Zaskia dan Chelsea.

Bertukar sapa sambil menuju parkiran, Nila bisa tahu, bahwa ia tidak salah berada ditengah keluarga Bagastia. Keluarga yang berpendidikan tinggi, santun, ramah dan bahagia. Aska menawarkan untuk menyetir, namun Nila tidak semudah itu mempercayakan hidupnya pada Aska yang baru selesai terbang kurang lebih 25 jam. Tanya jawab tak terhindarkan di mobil, keingintahuan Chelsea sangat besar. Nila memaklumi, Chelsea yang berusia 17 tahun tentu ‘kepo’ untuk istilah sekarang. Semua hal tentang Chelsea dan Zaskia sangat Nila sukai hingga satu hal merusak semuanya. Yaitu saat mereka berusaha menjodohkannya dengan Aska. Helo, ia baru mengenal keluarga ini selama 5 bulan, dan berkomunikasi dengan Aska baru dua kali. Dua kali dan berani-beraninya mereka menjodohkannya.

“Hari ini kamu gak kerja, Nila ?” Tanya Zaskia sambil memakan bekal yang sengaja Nila bawa.

“Masuk agak siang, Kak. Udah izin.”

Serentak Zaskia dan Chelsea terkejut dan membuat Nila tersenyum lucu. Ada apa dengan ekspresi mereka. Dan mereka langsung mengomeli kedua om dan tante beserta pasangan pengantin itu yang tega menyuruh Nila untuk menjemput padahal gadis ini masih harus bekerja.

“Ke kantor kamu saja langsung.”

Lihat selengkapnya