Pesta pernikahan itu berlangsung meriah, kebahagiaan berada dimana-mana. Senyum tak luntur sejak akad selesai di wajah kedua pengantin itu. Bahkan saat resepsi malam ini, wajah Sam dan Alana memancarkan kebahagiaan yang seolah mengatakan ‘Dia bahagiaku’. Nila yang turut terlibat dalam terselenggaranya acara ini sangat bahagia. Lelaki yang baik telah bertemu dengan perempuan yang baik. Samudera dan Alana.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama untuk Nila. Aska, sibungsu keluarga ini merusak segalanya.
“Jangan terlalu dekat dengan keluarga saya jika nanti meninggalkannya. Pergi sekarang, belum terlambat.”
Baru pertama bertemu, Nila sudah ingin mematahkan leher Aska. Tapi itu tak bertahan lama. Alasan kehilangan kembali Aska lontarkan. Obrolan mereka berlanjut hingga pesta usai. Aska tidak sependiam yang Nila lihat. Ia hanya menyortir orang-orang yang kiranya bepontensi untuk melukai ia dan keluarganya. Termasuk Nila yang menjadi terduga.
Bahkan sampai pesta usai pun, tatapan mata Aska tidak terlalu ramah pada Nila. Entah apa yang menyebabkan hal itu, Nila jadi serba salah. Mereka semua kembali kerumah saat jam menunjukkan pukul 10 malam. Kecuali pasangan pengantin yang bermalam di hotel sebelum besok pergi berbulan madu. Tante Helena dan Om Bagas langsung masuk ke kamar. Begitu pula dengan Chelsea dan Zaskia. Aska juga ikut masuk kekamar Zakia dengan menggendong Arman yang sudah pulas tertidur. Sepertinya ia harus pulang malam ini. Ia tidak tahan lagi lebih dari satu hari jika tetap disini. Tidak ada kamar yang kosong. Masalahnya Aska akan tidur dimana ? Atau dia akan tidur dimana ?
“Mau pulang ?”
Nila mengangguk pelan sambil memasukkan pakaian kotornya. Ia malas berhadapan dengan Aska, ia masih merasa tersinggung dengan ucapan pria itu. Selesai beberes ia melihat Aska sudah duduk di meja kecil dekat jendela dengan laptop menyala. Apa tinggal lama di luar negeri membuatnya nyaman-nyaman saja berada satu ruangan sempit dengan lawan jenis yang tidak terlalu dikenal ? Sialan.
“Tidur saja disini. Terlalu malam untuk pulang.”
“Terima kasih. Masih banyak taksi jam segini.”
“Jangan keras kepala. Tidurlah, saya keluar 10 menit lagi.”
Nila mau membantah namun tidak jadi saat tatapan tajam Aska tertuju pada dirinya. Sepertinya Aska ada benarnya. Dan terima kasih besok adalah hari Minggu yang berarti ia masih punya jatah istirahat satu hari sebelum Senin. Mengikuti saran Aska, Nila memilih mandi dan meninggalkan Aska dengan laptopnya. Berendam air hangat adalah pilihan terbaik sembari menunggu Aska meninggalkan kamar.
Namun harapannya untuk hari ini seperti tidak ada gunanya. Padahal waktu yang dihabiskan untuk mandi sudah lebih dari 30 menit. Tapi Aska bukannya pergi, malah semakin serius menekuni komputer lipat itu. Bagaimana ia mau istirahat ? Mengalah karena ini kamar milik pria itu, Nila mengambil bantal dan selimut untuk tidur diruang tamu. Biarlah yang penting ia bisa meluruskan punggungnya yang sudah lelah.
“Tidur saja. Saya hanya butuh 10 menit lagi.”
Bodoh amatlah. Berulang kali Nila berucap dan mengikuti kata Aska. Kasur itu lebih menggoda dibanding harus tidur di sofa. Perlahan Nila membaringkan tubuhnya ke kasur dan rasa nyaman langsung merilekskan otot punggungnya. Tak butuh waktu untuk terbuai mimpi. Nila terlelap.
Aska melirik ke samping kiri dan menemukan perempuan asing yang sudah bergelung nyaman di kasurnya. Tidak merasa risih pada hadirnya. Seakan mereka sudah mengenal lama. Mungkin terlalu lelah, sampai perempuan itu tidak menempatkan kepalanya di bantal, tetapi di guling. Selimut juga tidak menutupi seluruh kakinya. Posisi tidur alakadarnya. Mematikan laptop dan membereskan meja kerja tanpa suara, Aska beranjak ke kasurnya. Membenarkan posisi kepala Nila dan selimut perempuan itu. Menaikkan suhu pendingin ruangan ke suhu ruang lalu mematikan lampu.
>>>
“Mama belum tidur ?”
Aska menemukan Helena duduk di kursi dapur sambil memegang gelas susu hangat. Mengikuti Helena duduk, Aska malah meminum minuman ibunya. Kebiasaan yang sulit hilang.
“Mama ngantuk, tapi otak Mama gak bisa berhenti berpikir.”
Aska dan Helena sama-sama tertawa lucu. Sifat yang ini menurun jelas pada dirinya. Berbeda dengan kembarannya yang kadang seperti tidak memiliki beban hidup.
“Mama mikirin Sam ?”
Helena menggeleng kecil sambil merebut gelasnya dari tangan Aska. “Mama mikirin kamu.”
“Aku ?”
“Iya. Kamu.” melihat raut bingung Aska, Helena menjentikan jarinya ke jidat Aska. “Kapan kamu menyusul abangmu ?”
Ah, sialan. Pertanyaan yang seharian ini selalu di dengar Aska. Membuat pria itu muak. “Nanti Ma.”
“Cari yang seiman. Berakhlak baik. Cinta kamu dan bisa terima keluarga kita.”
Aska hanya mengangguk saja, mengiyakan ucapan Helena. Tidak membantah. Lebih baik mengiyakan daripada membantah. Terutama ibunya dalam mode seperti ini.
“Mama bahagia Sam akhirnya bisa bersama dengan Alana. Tidak ada yang bisa mengerti Sam seperti Alana. Kadang Mama saja susah untuk mengikuti pola pikir Sam. Dan Alana mampu untuk itu.”
Helena menggenggam tangan anak bungsunya erat. Tangan yang dulunya sangat kecil dan rapuh, kini sudah lebih besar dari tangannya. Kokoh dan hangat.
“Mama juga berharap kamu bisa menemukannya. Jangan ingat yang dulu. Jadikan itu pelajaran, bukan penghalang. Mengerti ?”
“Iya Ma.”
“Mama tunggu proposal kamu untuk melamar anak orang.”
Terkekeh lucu, Aska membiarkan Helena kembali ke kamar. Dan ia duduk sendiri merenungi perkataan Helena. Tidak pernah sedikitpun yang lampau menghantuinya hingga kini. Karena yang dulu adalah pelajaran. Tapi masalahnya, sampai saat ini, dia belum yakin jika orang yang kelak dipilihnya mampu berdiri disampingnya, bersama selamanya. Pernikahan abangnya ternyata berdampak kepada dirinya. Sialan.
>>>
“Nila !” seruan Bagas dari ruang keluarga menghentikan Nila yang sedang memakai ranselnya. Bersiap pulang.
“Kamu pulang diantar Aska saja.”
Nila menggeleng keras menolak tawaran Bagas. “Terima kasih Om. Saya bisa naik KRL. Masih siang juga Om.”
Bagas tegas menolak. Bagaimana ia bisa membiarkan anak gadis orang pulang naik KRL, berdesakan sepanjang jalan padahal ia yang meminta kesediaan gadis itu untuk membantu keluarganya.
“Barang bawaan kamu itu banyak, Nak. Pergilah dengan Aska. Dia juga Om tugas kan untuk mengantarkan barang Sam ke apartemennya.”
Aska tersenyum kecil melihat raut wajah kesal itu. Orang tuanya memang tipe orang yang tidak bisa dibantah. Ada rasa kasihan melihat perempuan itu. Kekesalannya jelas saat membuka dan menutup pintu mobil. Penuh kekuatan.