Siang yang terik di bulan Mei membuat Nila semakin berapi-api membuat control plan yang deadline-nya masih lima hari lagi. Sebagian besar laporan juga sudah di selesaikan Nila. Entah semangat darimana hingga ia yang biasanya bekerja menyesuaikan deadline, kini membabat habis semua. Teman se-tim-nya sampai menyerah untuk mengalihkan perhatian Nila. Makanya, sedari dulu mereka selalu memasang status awas jika Nila dalam ‘pengaruh’ rajin. Karena semakin cepat pekerjaan selesai, maka semakin cepat juga pekerjaan baru masuk.
Nila mengerjakan apapun yang bisa dikerjakan, mau sesulit apapun pekerjaannya akan ia habiskan. Pikirannya ia paksa fokus untuk bekerja. Setelah menyelesaikan laporan, ia habiskan waktunya untuk turun ke shopfloor sampai jam pulang tiba. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Dan saat jam pulang pun, ia mencoba bertahan di kantor sampai ia yang menjadi terakhir pulang.
Tiba dirumah, Nila mengerjakan apapun, bersih-bersih, mencuci pakaian yang biasanya ia cuci dipagi hari, bahkan menyetrika pakaian yang selalu ia setrika dihari Sabtu. Dan kegiatan itu terhenti saat ada panggilan video yang masuk ke ponselnya. Melihat nama pemanggil saja membuat Nila mendengus kesal. Karena si pemanggil inilah yang menjadi pemicu tingkahnya seharian ini.
“Iya.”
Wajah yang tampak dilayar sudah senyum-senyum menyebalkan saat Nila menerima panggilan itu.
“”Gak pakai salam ?”
“Sudah, dalam hati. Aku sibuk ini. Belum cuci piring.”
Sedangkan yang diajak bicara seperti senang menikmati ekspresi kesal Nila yang terlihat ogah-ogahan. Lucu sekali, pikirnya.
“Seharian ini ngapain aja ?”
Nila sengaja mendengus dengan keras agar si penelepon sadar, jika ia sedang marah. Namun bukannya sadar, si penelepon malah tersenyum jahil. “Sibuklah.” Jawabnya judes.
“Hei, jangan kesal gitu dong. Aku lembur kemarin malam, tidur juga hampir jam empat.”
“Aku gak tanya apapun, Aska.”
Seketika si penelepon yaitu Aska, tertawa terbahak-bahak. Wajah Nila penyebabnya. Gadis itu jelas-jelas ingin tahu namun gengsinya terlalu tinggi seakan tidak butuh penjelasan padahal butuh. Serumit itu.
“Iya, aku hanya kasih info saja. Mana tahu besok-besok kamu butuh.”
Nila kembali mendengus. Entah sudah berapa banyak dia mendengus, menghela nafas sejak kenal dan mulai dekat dengan Aska.
“Aku lembur seminggu ini, jadi jarang balas pesan atau angkat telepon kamu.”
“Kerjaan kamu banyak ?” Nila akhirnya melunak mendengar penjelasan Aska.
Wajah Aska memang sedikit lesu, kantung matanya juga terlihat. Meneruskan aksi marahnya bukan pilihan tepat.
“Begitulah.”
Percakapan itu tidak berhenti sampai satu jam kemudian. Kedekatan mereka memang berawal dari hubungan antara Nila dengan keluarga Aska. Namun sejak pernikahan Sam, mereka sering terlibat satu sama lain. Entah Aska yang inisiatif mengantarnya pulang setelah berkunjung ke rumah Bagastia atau ‘sedikit’ campur tangan keluarga mereka. Hubungan mereka juga tidak berhenti begitu saja meskipun Aska kembali ke Amerika. Malah semakin sering berkomunikasi, entah bertukar kabar, entah Aska menanyakan resep masakan atau saling bercerita tentang keseharian. Kedekatan mereka berdua ini benar-benar dimulai setahun lalu.
Tahun lalu.
Yang Nila dan Aska tahu, mereka berdua saling nyaman satu sama lainnya. Dan kenyamanan itu membuat Aska meyakinkan tekat untuk mengatakan hal yang terus dipikirkannya sesaat sebelum ia kembali ke Amerika. Pagi itu di bandara, Nila mengantar Aska untuk kedua kalinya, setelah saling mengenal selama empat bulan. Aska memberikan sebuah kalung berbandul lingkaran sederhana. Yang membuatnya elegan adalah berlian kecil ditengahnya.
“Punya Mama.” Ujarnya sambil memasangkan keleher Nila pagi itu. “Ini sebenarnya sepasang sama cincin. Cuma yang cincin ada sama Sam yang udah jadi milik Alana.”
“Lalu ini kok dikasih ke aku ?”
“Ayo mulai hidup bersama.” Pinta Aska serius.
Nila merasakan bulu sekitar lehernya meremang. Permintaan tiba-tiba ini membuat ia tidak bisa mengatakan apapun. Bibirnya kaku, hanya matanya yang menatap Aska, mencari lelucon yang kadang Aska sampaikan.
“Hidup bersamaku, menua bersamaku. Mau ?”
Nila hampir tertawa saat melihat wajah serius Aska yang mulai khawatir karena dirinya diam saja.
“Aku tidak menjaminkan apapun. Kebahagiaan ? Kita bisa mencarinya bersama. Tapi aku akan mencoba untuk membuatmu bahagia setiap harinya. Menjadi orang yang kau butuhkan dari terbuka mata hingga menutup mata. Harta ? Aku akan pastikan kamu tidak kekurangan apapun. Masa lalu ? Masa depan kita jauh lebih penting. Bagaimana ?”
Nila terharu mendengar penuturan Aska yang sangat detail. Inikah rasanya dilamar ? Nila hanya terpaku, belum jawabab apapun darinya.
“Bagaimana ?” tanya Aska lagi.
Nila memilih merapikan jaket yang Aska pakai. Tangannya juga merapikan rambut Aska yang sedikit berantakan. Dia belum berkata apapun. Hanya melakukan hal-hal yang semakin membuat Aska tidak tenang.
“Kamu tahu, aku belum yakin sama sekali.” Nila memperhatikan raut wajah Aska, ada takut saat ia mengatakan seperti itu. “Aku tidak bohong kalau aku nyaman bersamamu. Tapi Aska, waktu bersama kita baru empat bulan. Aku belum cukup mengenalmu, begitupun kamu. Bisa kita memikirkannya nanti dan menjalani seperti ini saja ?”
Raut kecewa memang terpancar jelas di wajah Aska, namun senyum tetap ia berikan pada Nila. Ia tahu Nila tentu tidak sembarangan menerima lamaran seseorang. Walau ada sedikit kecewa dan bertanya, apa kurang dirinya hingga ditolak Nila secara tidak langsung.
“Kamu kecewa ?” tanya Nila saat Aska diam saja.
Kini mereka sudah berada dipintu masuk. Sudah saatnya Aska pergi. Nila sebenarnya merasa kehilangan. Dua minggu harinya penuh dengan Aska, namun kini harus sendirian lagi.
“Saling mengenal lebih lama aku rasa bukan pilihan buruk. Selagi banyak yang harus kita selesaikan, kita juga harus berhati-hati.”
“Baiklah.” Aska memeluk Nila erat. Dulu saja, Nila menolak ketika Aska ingin memeluknya. Tapi kini, kepala Nila terasa nayaman di pundak Aska.
***
Nila yang hendak berangkat kerja terkejut saat melihat mobil yang tidak asing sudah ada didepan pagar kontrakannya. Tapi saat mendekat, mobil itu kosong. Melihat sekeliling, Nila menemukan pria yang memakai kemeja batik sedang menenteng dua kotak makan yang sepertinya bubur ayam yang biasa Nila beli. Terlihat dari stiker kemasannya.
“Pagi.” Sapanya ceria.
Nila masih belum bereaksi bahkan sampai Aska sudah berdiri dihadapannya. Aska menggoyangkan bungkusan berisi bubur di wajah Nila. Tetap tidak ada reaksi apapun.
“Hei.”
“Kamu pulang ?” tanya Nila setelah diam cukup lama.
“Kejutan.” Kata Aska lalu mengacak rambut Nila gemas.
Nila menggeleng tidak setuju. Ia memang terkejut, namun bukan itu yang membuatnya diam. “Keluargamu tahu kalau kamu pulang ?”
Aska mengangguk kecil. Masih bingung kemana arah pembicaraan Nila. “Kejutan Nila. Kejutan. “