FIGURAN

Agung Satriawan
Chapter #1

Rembesan Air Hujan

Oji tidur di kasur tanpa dipan di kamarnya yang bocor. Tetesan air hujan dari plafon malah membuat tubuhnya merasa sejuk. Bunyi rintik di atas genteng yang konstan membuatnya merasa tenang di awang-awang. Namun, itu semua tak bisa menutupi suara teriakan ibunya dari dapur.

“Bangun, Ji! Dapur Bocor!”

Segitu Oji mendengar teriakan dari kamarnya. Sebenarnya, di dapur, emaknya teriak senyaring,

“BANGUN, JI! DAPUR BOCOR!”

Terasa, kan, bedanya?

Tidur, dinding, dan hujan, jadi peredam suara lain yang masuk telinga. Oji enggan kehilangan mimpinya. Tapi, ia juga tak mau jadi anak durhaka yang terbangun dalam keadaan jadi batu berbentuk orang rebahan. Ia paksa matanya untuk terbuka. Perlahan tapi pasti, mulutnya menyusul dengan sahutan pelan, “Sama, Mak, di kamar Oji juga bocor.”

Bagi orang lain, ucapan Oji hanya akan terdengar seperti bergumam, “Auaa iaoi oo.”. Sahutan yang tak mungkin terdengar oleh ibunya. Tiga detik status quo, membuat Oji tidur lagi. Tapi tak lama, teriakan itu terdengar lagi.

“Elu tuh ye! Tidur siang buat begadang aja lama bener!” seru Emak dari dapur. “Buruan bangun!”

Merasa tak ada respon yang diharapkan, Emak masuk kamar Oji lalu mendecak keluh melihat anaknya masih terbaring dengan mata terpejam. Tanpa ampun, Emak setengah duduk di dekat kepala anaknya yang terganjnal bantal lalu berkata lirih, “Man rabbuka?”

“Astagfirullah!” Oji terperanjat.

“Nah, baru deh bangun! Dapur bocor, noh!” teriak Emak, tak peduli telinga anaknya berjarak 5 sentiari mulutnya. “Lu mau masakan Emak jadi sayur semua?”

Oji masih mengelus-ngelus dada lalu mengeluh, “Emaaak! Ngagetin aja!”

Setelah mengucak kedua matanya Oji berjalan keluar dengan lemas menuju dapur. Oji melihat ke langit-langit, mendecak keluh lalu menggeser meja kompor yang menimbulkan derit pada lantai, kemudian mengambil baskom dan menempatkannya di titik jatuh air hujan. Emak yang memperhatikan dari balik punggunnya langsung protes.

“Yeee, cuma ditadahin! Kirain mau ditambel!”

Oji melangkah hendak keluar dari dapur sambil berkata, “Nggak ada anti-bocornya, Mak. Emak mau Oji nambel genteng pake anti aging?”

Emak mendengus lalu berkata, “Elu gimana sih? Kan kemaren elu kerja bangunan! Masa nggak ada sih sisa-sisa proyek?”

 “Yaelah, Mak. Kalaupun ada, dikumpulin sama Bang Mandor.” jawab Oji malas.

Emak menghela napas dan menggeleng. Ia menepis bahu anaknya, tanda ingin lewat mendekati kompor. “Gudang buku lu cek sono! Ntar pada basah tuh warisan bapaklu!”

Mendengar itu Oji berjalan ke arah gudang buku di sebelah dapur. Gudang itu dulunya kamar pesakitan ayahnya sebelum dibawa ke rumah sakit. Oji melihat dinding gudang buku yang rembes air hujan. Ia menggeser dua tumpukan buku agar tidak kena rembesan. Tumpuikan yang sudah terlihat semiring Menara Pisa ia pindahakan ke dekat pintu. Tumpukan-tumpukan yang selalu membuatnya teringat sosok sang ayah. Mewarisi bertumpuk-tumpuk buku yang sebagiannya sudah ia baca. Beberapa malah sudah ia baca dua kali.

Satu jam kemudian, masakan Emak sudah selesai. Waktu magrib ditandai oleh kedatangan Ical, adik Oji, yang masuk dengan langkahnya yang gesit. Badanya kurus, rambutnya rancung, dagunya lancip.

“Assalamulaikum!” salam Ican saat melewati ruang tengah. “Nggak jawab Nazi!”

Lihat selengkapnya