Pagi hari hampir pergi. Emak membangunkan Oji yang tidur dengan tangan keluar area kasur sampai menyentuh lantai.
“Ji, bangun!” teriak Emak. “Kamar mau emak pel!”
Mimpi Oji buyar. Ia terpaksa sadar seketika. “Apa sih, Mak? Jam segini dibangunan. Besok kan Oji mau kerja bangunin!”
“Justru ini udah pagi!” sewot emak.
“Hah!” Oji terperanjat.
“Dari subuh dibangunin susah bener lu!” omel emak. “Dikata Bang Oma begadang jangan begadang, juga!”
Oji buru-buru bangun sambil menyempatkan berkata, “Kalau tiada artinya!” sambil berlari ke kamar mandi. Setelah salat-subuh-kesiangan ia menyempatkan berdoa, “Ya Allah, maaf telat lagi!”
Oji pakai sepatu bututnya, salim pada emaknya dan berlari menyusuri gang-gang sempit Kampung Senggol. Tujuh menit berlari tanpa henti bak pemain parkour, ia sampai di lokasi. Rudi dan Bang Mandor sedang menggotong baja ringan di depan rumah yang terlihat bergarasi luas.
“Nah tu dia!” tunjuk Rudi ke arah Oji dengan mulutnya.
“Buset, Ji, Ji! Udah nggak dibutuhin, telat lagi! Beban perusahaan banget, lu!” ledek Bang Mandor saat gotonganya melewati gerbang.
“Sori, sori, bang.” sahut Oji dengan napas tersenggal-senggal. Ia langsung ikut menggotong meski tak begitu menolong, demi terlihat sungguh-sungguh.
Seorang pria pemilik rumah berusia lima puluh tahun memperhatikan kedatangan Oji dari balik kacamatanya. Ia memperhitungkan penambahan personil yang mungkin merugikannya.
“Nambah pegawai, Mas?” tanya pria itu.
“Iya, Pak Soni. Telat dia.” jawab Bang Mandor dengan senyum malu-malu.
Pak Soni mengangguk-ngangguk lalu berkata, “Saya nggak ngasih tambahan makan, ya. Kan kemaren bilangnya berdua.”
“Iya, Pak Soni, nggak apa-apa.” angguk Bang Mandor.
“Iya, Om, uangnya aja.” sahut Oji salah paham.
“Hus!” bentak Bang Mandor, lalu mengibaskan tangannya tanda tak mendukung Oji. “Nggak, Pak Soni!” lalu menunjuk ke arah Oji dan Rudi bergantian. “Biar mereka sebungkus berdua aja ntar.”
Rudi mendengus. “Emh! Apes!” gumamnya.
“Tenang, elu 60 gue 40.” tanggap Oji dalam bisikan yang sama.