Oji, Emak, dan Ical sedang makan malam sederhana mereka. Menunya nasi goreng dengan lauk lontong dan rangginang sebagai pendamping serta sayur bening tabur bawang. Dengan mulut masih mengunyah, Oji memberi kabar yang ia harap menggembirakan suasana.
“Mak, tadi waktu Oji kerja yang punya rumah nawarin Oji main film.”
“Main film gimana maksudlu?” tanyua emak. “Lempar-lempar DVD?”
Oji menelan lalu menggeleng. “Ya main film.”
“Film kartun, bang?” tanya Ical dengan sendok dekat mulut. Membuat Oji mengeplaknya.
“Jadi ape gue di film kartun?” kesal Oji.
“Maksudlu jadi artis, gitu, Ji?” tanya Emnak
Oji ngangguk-ngangguk, malu-malu. Merasa belum pantas mendapat juluikan demikian.. “Iya, kaya gitu, Mak. Artis tukang akting. Aktor.” jelasnya.
Emak memandangi anaknya sambil terus makan. Terlihat membayangkan sesuatu lalu bertanya, “Jadi apaan lu di pilmnya?”
“Paling jadi pohon.”
Oji ngeplak lagi kepala adiknya lalu menjawab pada emak. “Ya nggak tau, Mak. Kan baru kaya audisi gitu. Doain ya, Mak.Biar lolos.”
Emak mengangguk. “Iye, Emak doain. Asal janga maen pilm yang nggak bener! Jangan main adegan yang melanggar hukum agama! Jangan film yang adegan cium-ciuman,” katanya sambil tangannya mempraktekan.
“Iya, iya, mak! Udah nggak usah dicontohin.!” cegah Oji gampir berdiri dari kursi.
Emak berhenti menggerak-gerakan tangannya lalu kembali berkata, “Inget, ada ade lu yang bakal nonton!”
Oji minum air tehnya. Setelah menaruh gelas ia berkata, “Iya, Mak. Nanti Oji bakal pilih-pilih. Bakal pilih-pilih sama tawaran main film.”
“Bagus, dah. Jangan beliin anti-bocor kalau udah dapet honor.”
“Pastilah, Mak itu mah. Kalau perlu kita ganti semua asbes.”
“Bagus dah kalau lu punya pikiran ke situ.”
“Ical dibeliin hape, ga, Bang kalau abang udah jadi artis?” tanya Ical menggoda. “Biar kita nggak satu hape bertiga lagi. Ical kesel kalau lagi mabar ada chat grup alumni Emak SD!”
“Pastil, lah!” seru Oji. “Abang bakal beliin hape khusus game yang memorinya 1000 giga, belom dipotong pajak.”
Ical nyengir penuh semangat. “Aaasoy!”
Sejak memberi kabar pada emak yang mmebuatnya mendapat restu, Oji tak punya alasan untuk tidak latihan. Seperti sekarang, Oji berdiri di kamar mandi menhadap cermin kusam di balik pintynya. Ia menatap tajam pada wajahnya sendiri. Menggerak-gearkan mulut dan wajahnya untuk mencari bentuk terbaik yang ia bayangkan berada di layar tivi. Satu pose tubuhya membuat Oji ingat sesuatu. Ia teringat satu buku bekas warisan bapaknya. Sampulnya adalah gambar tangan sosok pria di depan kamera jadul. Oji buru-buru menyelesaikan mandinya, handukan, lalu menuju ke gudang buku meski belum memakai baju.
Yang Oji cari ada di situ. Tertumpuk buku lain di kolong meja kecil berdebu. Ia menemukan buku: ‘Belajar Akting untuk Pemula’
Oji bergegas berbusana. Ia merapikan rambutnya kemudian berdiri di depan cermin. Ia mencoba berkali-kali contoh dialog yang ada di buku. Ia terus mencoba berulang-ulang sampai hapal dan memilih dialog-dialog lainnya. Ini adalah rekor waktu terlalu di dalam kamarnya. Hanya dijeda oleh magrib dan isya. Tawaran makan malam bahkan Oji lewatkan.
Ketika sampai di halaman 40 Oji mulai percaya diri masuk ke contoh dialog film laga. Dengan lantang ia berucap, “Siapa nama kamu?” dengan suara diberat-beratkan berharap wibawa.