FIGURAN

Agung Satriawan
Chapter #9

Non Agency

Rudi membantu memasang asbes dan menambal genteng atap rumah Oji. Sebagian besar honor suting terakhir Oji belikan asbes dan anti bocor. Matahari jelang sore tak terlalu membuat mereka merasa takut hangus terbakar. Sambil mengoles anti bocor, Rudi tak bisa berhenti tertawa.

           “Jadi, sejauh ini dialog elu cuma ‘ciyat!’ sama ‘waaa!’?”

           Oji merautkan kesal karena bulian temannya. “Jangan bilang-bilang Wisnu, lu! Abis ntar gue dicengin!”

“Nggak, lah. Lagi pula, masih bagus dapet dialog. Nggak cuma lewat-lewat doang kaya adegan di kampus.”

“Yah, kalau bayarannya sama mah mending lewat-lewat doang, lah, dari pada digebukin!” keluh Oji mengenang.

“Terus, lu mau coba saran temen pocong lu kemaren? tanya Rudi.”

“Dia bilang bakal ngasih kabar kalau ada job. Sinteron atau film gitu.”

           “Ya apa aja lah sekarang, mah.”

“Iya, lah. Jangankan sinetron. Film animasi kalau butuh figuran gue sikat!” ucap Oji, tapi kemudian rautnya berubah. “Cuma gue masih ada kontrak satu adegan lagi nih sama Om Soni.”

Rudi menemplokan lagi anti bocor ke pinggiran tembok genteng. “Nggak masalah, kan?” tanyanya.

Oji merautkan prosesnberpikir lalu menjawab “Semoga sih nggak.”

           Suara langkah kaki terdengar sedikit dari bawah depan rumah Oji.

“Wey, ngopi dulu kali! Kerja mulu!” teriak Wisnu sok asik.

“Jah, beban tetangga dateng.” ucap Oji. Setelah olesan terakhir anti bocor pada pinggiran genteng, Oji dan Rudi turun melalui tangga kayu.

“Tau aja lu kalau kerjaan udah beres!” keplak Rudi pada Wisnu yang sedang nyeruput kopi. Wisnu hanya tertawa sambil menahan goncangan agar kopinya tidak tumpah akibat senggolan Rudi. Saat itu Ical keluar rumah dengan membawa hape.

“Bang ada chat nih dari Riki!” katanya menyodorkan hape pada Oji yang langsung menyamber dengan cepat.

“Chat dari tadi baru dikasih tau!” keluh Oji dengan mata melotot ke arah Ical.

           “Nanggung, bang, lagi ngerank!” jawab Ical.

           “Bocah sengkek!” bentak Oji. “Nggak tau ini chat penting!” katanya melakukan gerakan mengambil sandal buat nyambit. Gerakan yang membuat Ical kabur ke dalam.

“Siapa emang?” tanya Rudi.

“Riki, figuran pocong yang itu.” jawab Oji. “Chat dua jam yang lalu ini!”

“Ya udah, telepon aja, sih!”

           Oji mengangguk lalu nyengir. “Takut abis kuota. Bisa kali pinjem hape lu?”

Wisnu tertawa mendengar penderitaan Oji. “Gimana sih aktor tapi fakir kuota!”

“Bawel lu, kang nebeng tetring!” balas Oji. Rudi menyodorkan hapenya pada Oji,

“Ya udah pake nih.”

Oji menerima dengan senyum malu-malu lalu mencubit dagu Rudi dengan gemas.

           “Halo, Ki, nih gue Oji! Sori tadi gue lagi gawe!

Kenapa, Ki?”

Hening,

“Kapan?”

Sepi.

“Wah!” seru Oji lalu melihat jam tangan Rudi. “Mau, sih!Keburu kagak, yah?”

Hening

Kebon Jeruk?

Sepi

“Oh. Kampus pinggir tol, ya? Oke dah, gue meluncur!” 

Rudi menerima kembali hapenya. “Suting?” tanyanya.

“Iya. Jam empat, tapi!”

“Nggak keburu kalau naik umum mah.” Rudi member gambaran realistis. “Ya udah pake motor gue sono!”

“Ntar lu gawe gimana? Pasti sampe malem ini!”

“Udah selow! Yang penting lu dapet Piala Citra aja dulu!”

“Mau gue anter nggak, Ji?” ujar Wisnu setelah menenggak kopinya untuk ke sekian kali.

“Nah, tuh, lu mending dianter dia dah, dia kanapal jalan tikus Jakarta!”

“Ya, udah, tapi jangan anggap utang lu lunas, ya!

“Ya elah, selow, sih. Utang dibawa mati.” sahut Wisnu.

           “Harusnya gue yang ngomong gitu.” sewot Oji.

           Wisnu nyengir. “Uang kopi aja ntar.”

           “Ya udah ambil dulu sono motornya!” desak Oji. “Gue siap-siap dulu.”

           Sepuluh menit kemudian Wisnu sudah membonceng Oji melalui gang senggol dan gang-gang terusan, kemudian jalan raya. Sebagai mantan tukang ojeg pangkalan dan mantan ojek online yang diblacklist gara-gara nuyul Wisnu mampu membawa Oji ke lokasi suting tepat waktu. Keduanya sampai di kampus yang berdiri di pinggir tol Kebon Jeruk, Jakarta.

Oji memanggil Riki yang sedang duduk di dekat set.           

“Ki!”

           “Cut!” teriak sutradara .“Siapa tuh yang teriak!” katanya setelah menoleh.

“Audio bocor nih, Bang Fajar!” teriak crew audio.

           “Kampret! Udah gue bilang silent!” timpal Fajar Bustomi.

“Eh, maaf, bang, maaf! Maaf semua!” bungkuk Oji sambil menjauh dari set, batal mendekati Riki yang sedang menutupi wajahnya karena malu. Ia merasa bahkan harus membatalkan niatnya main di film rekomendasi Riki.

“Elu crew bukan?” tanya sutradara, membuat Oji berhenti melangkah dan balik badan.

“Bukan, bang, mau jadi figuran,” jawab Oji. “tadinya.”

           “Untung belum mulai! Udah sono masuk!”

“Kemana, bang?”

“Noh ke payung pinggir danau!” teriak sutradara sambil menunjuk dengan tangan yang memegang toa. “Temenin cewek yang sendirian! Ayo cepet lari!”

“Siap, bang!”

Oji berlari ke meja tenda payung, sempat kesandung kabel, crew kamera dan lighting menatap tajam ke arah Oji. Oji menyapa Riki yang duduk bersama figuran wanita lainnya di meja tenda payung lain dengan anggukan kecil.

“Oke, kita mulai lagi ya! Kameraaa?”

Oji duduk di kursi di depan seorang gadis cantik berambut belah tengah sebahu. Tipe gadis yang jarang-jarang ia lihat. Ia hanya pernah lihat model begini di tivi atau instagram. Dandanannya sangat mahasiswi sekali, sesuai dengan set lokasi.

“Permisi.” ucap Oji pelan. Saat semua cameramen merespon sutradara dengan ucapan, “Roll!”.

           Gadis di depannya hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Sayup-sayup suara sutradara berteriak, “Action!”

“Udah lama?” tanya Oji membuka obrolan.

“Apanya?” tanya cewek di depannya.

“Hidup di Bumi.” kata Oji. “Nunggu di sini.”          

Lihat selengkapnya