Ical belum menyuap satu sendokpun makan malamnya, sementara ibu dan kakaknya sudah habis setengah porsi sayur bening dan ikan cue. Sambil memasang wajah melas Ical berucap, “Pinjem hapenya, Bang, mau mabar.” katanya.
“Ah, elu kalau udah ngegame lama. Mending nggak usah. Abang masih nunggu kabar suting.” katanya sambil menggoyangkan hape pada tangannya yang bersandar pada ujung meja makan. Ical langsung cemberut, ngaduk-ngaduk nasi dan sayur asem di piring. Emak diam-diam memerhatikan wajah Ical yang sendu. Tahu pasti raut kesedihan yang mendalam, sekaligus tak mengerti alasan sebuah game membuaat anak bungsunya mengalami perubahan warna muka. Pandangannya lalu bergeser ke anak sulungnya.
“Nggak makan lu, Ji?” tanya Emak.
Oji menggeleng tambil terus menggeser-geser layar hape. “Masih kenyang, Mak, tadi makan nasi kotak di lokasi suting.” jawabnya lalu berdiri.
“Terus mau kemane?” tanya Emak setengah mencegah.
“Ke pos dulu. Miting sama Rudi.”
“Gaya bener.” gerutu Emak sekilas melihat wadah nasi yang masih penuh. “Miting, akting, suting.”. Pandangannya lalu beralih lagi ke Ical. “Udeh, makan dulu.”
Ical malah membanting sendok pada piringnya yang masih penuh nasi dan kuah lalu beranjak cepat ke kamarnya, meninggalkan Emak yang menghela napas dan kebingunan. Suara sesenggukan mulai terdengar dari kamar Ical.
Keesokan harinya masih sendi bagi Ical. Kakaknya sudah berangkat ke lokasi suting bahkan sebelum dia bangun tidur. Tidak ada kesempatan bahkan untuk sekadar mengecek chat dari teman-teman sekolah, teman-teman game, apalagi bermain game itu sendiri.
Sementara Oji sudah memulai hari di lokasi set film bersama sutradara, para pemain dan para crew yang sedang standby untuk adegan selanjutnya di dalam kelas. Oji duduk di kursi kuliah jajaran depan, melihat ke arah Anita di jajaran belakang dengan senyuman.
Ketika sutradara berteriak “Action!”. Akting peran utama pun dimulai. Tiga detik etelah itu Oji langsung pindah tempat duduk ke samping Anita.
“Kamu ngapain pindah?” sahut Anita dengan bisikan tegas. “Nanti dimarahin sutradara loh!”
Oji tak kalah berbisik. “Nggak mungkin, lah.” katanya tenang. “Kan memang bisaa mahasiswa pindah tempat duduk buat deketin mahasiswi gebetannya. Aku memang nggak kuliah, tapi di sekolah kan begitu. Jadi bisa dipastikan sama.”
Oji melihat sekeliling lalu berkata lagi. “Akhirnya aku bisa merasakan jadi mahasiswa, walau cuma akting. Mudah-mudahan bisa kuliah beneran.”
“Kamu lulusan apa?”