Pondok Pesantren Miftahul Khair Al-`Ilmi atau sering disingkat Pesantren Mikail, pondok pesantren ikhwan adalah nama tempat papanya mengajar sejak empat bulan terakhir ini karena baru saja dipindahkan dari SMAN Prestasi yang suka dipanjangkan sebutannya menjadi prestalimasatu. Pesantrennya jauh di luar kota. Itulah yang menuntut ia tak bisa bertemu papanya dalam lima hari sepekan mungkin hingga seterusnya begitu.
Ia sendiri duduk di bangku SMAN Prestasi kelas 11. Ia,Afyani Milyana. Nama depannya disalin dari nama papa dan mamanya, Fian dan Hani. Andiani alias Dini dan Rinanti a.k.a Rinan adalah nama kedua sahabat sekaligus sepupu. Dini juga kelas 11 namun tak seruangan dengannya sementara Rinan masih kelas 10. Mereka selalu bersama dan saling mengunjungi satu sama lain.Mereka bertiga adalah orang yang aktif dan senang bercanda bersama teman-temannya.
***
Jumat malam, papanya pulang. Come back... Come back... Begitulah Aya yang sorak-sorak bergembira jika papanya pulang kota dari kota, bukan pulang kampung. Jelas-jelas jalan raya terpampang di depan rumah mereka.
Seperti biasa, Afyani atau yang cukup disapa Aya menunggu kedatangan papanya beserta buah tangan yang tidak boleh sekalipun terlupa, kue-kue coklat.
“Papa!” Aya duduk di samping papanya yang beristirahat di sofa. “Aku udah terima rapor tadi.”
“Iya, Papa tau. Kamu udah bilang gitu di telepon.”
“Artinyaaa?” Aya mencoba memancing papanya.
“Apa?” kata Pak Fian dengan wajah datarnya.
“Masa nggak tau, sih? Artinya pekan depan aku libur panjaaang!” Aya menjulurkan tangannya ke segala arah.
“Terus?”
“Papa? Belum ngerti, juga?” Aya menurunkan tangannya. “Gini, ya, Pah. Belajar dari pengalaman setiap libur panjang kemarin... kemarin... daaan kemarin, aku nggak mau jalan-jalan biasa lagi. Soalnya, kalau pun aku jalan-jalan, ya, itu cuma sehari sementara libur aku, kan 14 hari. Ngaku, deh! Papa ngizinin aku jalan-jalan cuma sekali-kali aja, kan?” cuapnya sambil mengacungkan telunjuk ke papanya.
“Iya, iya. Bener.”
“So, aku nggak mau gitu lagi.”
“Jadi kamu mau apa, dong?”
“Aku udah sepakat sama Dini dan Rinan untuk liburan di kota tempat Papa kerja dan tinggal sama Papa di pesantren.”
“Hah?”Pak Fian terkejut. “Nggak bisa di tempat lain?”
“Papa mah gitu! Justru bagus, kan? Papa pernah bilang, biarpun libur panjang, Papa bakal tetep di sana kayak biasa. Jadi seenggaknya aku bisa sama Papa terus,” rayu Aya
“Tetap nggak bisa!”
“Papa...”
“Aya, larangan ini bukan Papa yang nentuin tapi aturan pesantrennya sendiri bahwa akhwat tidak boleh masuk ke pesantren itu kalautidak ada urusan penting. Kamu tau apa tujuan pesantren itu hanya ditujukan bagi laki-laki? Ya biar mereka nggak ketemu sama kamu dan kaum kamu. Kamu juga tau, kan, kalau wanita itu sumber fitnah. Selain itu, liburan bukan alasan yang tepat kalau ada orang yang mau datang ke situ.”
“Ehm.... Ok!” Aya menaikkan kedua kakinya ke sofa lalu duduk berlutut. “Aku akan berusaha untuk menjadi layaknya angin di sana, Pah. Ada tapi nggak terlihat.”
“Sayang, wanita yang berhijab saja pasti dilarang masuk bahkan sampai jalan-jalan di dalam pesantren kalau tidak ada keperluan penting. Apalagi kamu yang tidak berhijab.”
“Aku bakal berhijab, Pah!” ceplos Aya tanpa pikir panjang.
“Kamu mau berhijab?” Pak Fian mengembangkan senyum.
“Iya. Berhijab! Di...sana.”
“Nggak,” senyum Pak Fian hilang.
“Pleeeeeeeease...”
“Kamu belum nyerah ngebujuk papa, ya?”
“Papa nggak ngerti! Aku cuma pengen bisa sering sama papa aja. Kita udah jarang ketemu. Bahkan kadang Papa juga nggak pulang kalau weekend. Please, Pah. Seenggaknya 5 hari aja. Mulai hari Senin nanti dan kita pulang malam Sabtu.”
Pak Fian diam.
“Papa coba hubungi kepala pesantren Papa, deh. Bujuk dia. Tapi kalo dia tetep ngelarang dan juga lebih galak dari Papa, baru aku batalin rencana aku,” sambung Aya.
Betapa bandelnya Aya. Sudah diberitahu sekali tidak tetap tidak, namun ia tetap membujuk papanya. Saat makan di malam itu, saat sarapan keesokan paginya, setelah papanya merapikan diri sehabis mandi, saat makan siang, Aya tak berhenti membujuk papanya. Bagi papanya sendiri, itu bukan lagi bujukan tetapi pemaksaan.
Saat papanya hendak berwudhu, ia menghalangi papanya di ambang pintu kamar mandi. Baru saja papanya selesai shalat, ia tiba-tiba muncul di belakang papanya, menyalim tangannya, lalu ternyata memohon-mohon lagi. Papanya sedang menyiram tanaman, Aya muncul lagi, menyita selang air dari papanya, lalu menyiram bunga sambil senyum-senyum pada papanya. Bahkan Aya mengajak Dini dan Rinan untuk bersama-sama membujuk papanya. Pak Fian pun hanya menanggapi anaknya itu dengan gelengan kepala.
***
Betapa senangnya tiga sepupu sekawan ini di malam Senin setelah shalat Isya. Mereka akan berangkat ke pondok pesantren itu dengan memegang janji bahwa mereka akan menjaga diri dan berusaha untuk tidak dilihat oleh ikhwan manapun di sana. Cukup kepala, guru, dan para staf pesantren yang tahu. Selain itu, mereka siap untuk terus berhijab di sana.
Koleksi jilbab mereka sebenarnya tak seberapa, namun baju lengan panjang mereka ada banyak. Itu pun hanya kebetulan. Untuk bawaan, mereka mengandalkan beberapa jeans dan celana katun panjang seadanya. Semua pakaian itu harus selalu mereka pakai saat hendak keluar dari rumah yang nantinya mereka tempati, baik hendak melihat-lihat pesantren, maupun bepergian untuk jalan-jalan di sekitar kota itu.
“Kalian janji, kan, bakal tetep stay di dalam rumah tempat tinggal Papa sebelum papa izinin keluar?” Pak Fian menyebut dirinya `Papa` termasuk pada kedua keponakannya karena sudah menganggap Dini dan Rinan sebagai anaknya juga.
“Siap!” serentak Aya, Dini, dan Rinan yang duduk di jok tengah sementara Pak Fian yang menyetir.
“Rumahnya Om di dalam pesantrennya, ya?” tanya Dini.
“Iya. Pas masuk gerbang.”
“Uh, nggak sabar liat pemandangannya. Keren banget katanya. Terus ada tempat latihan memanahnya juga!” sahutRinan.
“Ada tempat pimpongnya juga,” tambah Dini.
“Yeee, pimpong, mah, biasa ditemuin apalagi di sekolah. Pokoknya yang paling bahagia di sini,tuh, aku. Jarang-jarang bisa dapet tempat latihan memanah dan insyaa Allah.. gratis!” semangat Rinan.
“Iya, kalian boleh main panah... pimpong sepuasnya. Tapi Papa akan kasih tahu kapan kalian boleh keluar dari rumah. Ada saatnya tempat-tempat itu ramai dengan ikhwan dan ada saat-saat sepinya. Kalian cuma boleh keluar saat jadwal tadarussan, kajian, shalat, belajar, dan semacamnyalah sehingga kalian nggak dilihat sama siapa pun kecuali staf-stafnya karena para pekerja di sana udah dikasih tau sama pengurus pesantrennya kalau kalian akan datang. Ingat, ya, kalian shalatnya di rumah aja dan harus patuh sama semua yang dibilangin ke kalian.”
“Iya, Pah. Kita bahkan bakal berusaha buat berkamuflase. Kalau kita di ruangan yang catnya putih, kita juga bakal pake hijab yang putih-putih,” canda Aya.
“Memangnya kalian bisa berkamuflase sehebat bunglon?”
“InsyaaAllah!” serentak mereka.
“Oh, iya? Libur panjang gini emang masih banyak ikhwannya?” tanya Rinan.
“Iya. Sekitar setengahnya pulang dan sebagian tetap tinggal, terutama mereka yang rumahnya memang jauh. Ada yang dari Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, pokoknya macem-macem asalnya. Papa rasanya seneng bisa ketemu sama mereka. Jadi tau banyak hal tentang berbagai daerah tanpa Papa datangi tempatnya langsung.”
“Wajar, ya? Soalnya pesantren ini emang terkenal bagusnya. Yang stay di sana ngapain biasanya?” tanya Dini.
“Kegiatan biasa. Mereka tetap kajian, tadarussan, pokoknya seperti biasa tapi jamnya dikurangi. Mereka juga berkebun dan ada juga yang keluar untuk jualan macem-macem. Pesantren memang memfasilitasi siswanya untuk mencari penghasilan bagi yang mau.”
“Kasian, dong mereka. Temen-temennya nyantai di kampung halaman sendiri sedangkan mereka tetep terikat peraturan. Walaupun libur, peraturan tetep jalan kan, Om?” tanya Rinan, si polos.
“Iya. Tapi sepadan, kok. Gini, mereka yang pulang bisa santai dan lepas dari peraturan, kumpul sama keluaga, bebas ngapain aja tapi harus keluarin biaya sendiri. Nah, mereka yang tetap tinggal memang tidak bisa ketemu keluarga, harus tetap ikut kajian, tapi kalau gitu, kan, ibadah mereka insyaa Allah jalan terus dan istiqomah. Jadi adil, kan? Sama kayak Aya, hari biasa nggak bisa ketemu papanya, nah, libur sekarang nggak bisa ketemu mamanya. Jadi sama rata,” jelas Pak Fian.
Mereka tertawa.
“Oh, iya! Satu lagi. Kalau kalian keluar dari rumah, kan, kalian harus pakai jilbab. Nah, kalau di dalam rumah sementara kalian nggak mau pakai jilbab, sekiranya kalungkan jilbab di leher kalian seperti syal biar lebih cepat kalian pasang jilbabnya. Buat jaga-jaga kalau ada rekan Papa yang datang dan kalian juga nggak perlu capek-capek lagi ke kamar buat ngambil jilbab.”
“Oooh, iya. Om bener,” Dini mengangguk.
“Hati-hati juga, ya. Jangan sampai kepincut ikhwannya. Banyak yang ganteng, loh. Sementara mereka nggak melihat kalian, kalian bisa aja, kan, ngeliat mereka?” gurau Pak Fian.
“Ih, Papa, apaan sih? Su`udzon, deh! Kita kan mau jalan-jalan soalnya pesantren dan tempat wisata di sana bagus. Papa, kan, udah janji, libur kali ini aku bakal ngerasain yang namanya liburan sepenuhnya. Nggak usah full juga, sih, jalan-jalannya, tapi pokoknya harus lebih dari libur panjang aku yang setiap semesternyaboring banget. Iya, kan Din, Rin?”
“Aku, sih, asik-asik aja liburnya,” kata Rinan.
“Isshh!” Aya cemberut.
***
Mereka tiba di depan rumah Pak Fian pukul 11 malam. Rumah itu berhadapan langsung dengan lapangan takraw. Letak rumahnya berada tepat setelah gerbang masuk pesantren sehingga jarak antara rumah itu dengan jalan raya pun sangat dekat, sementara jarak rumah itu dengan ruang kelas, asrama, dan kantor guru cukup jauh di dalam pesantren. Beruntung juga rumah yang disediakan untuk Pak Fian letaknya agak jauh dari kamar para ikhwan dan cukup besar untuk mereka berempat. Itu akan membuat Aya, Dini, dan Rinan merasa cukup aman dari penglihatan ikhwan.
Di jam seperti itu, biasanya para ikhwan sudah tidur. Terbukti dengan sedikitnya lampu yang menyala. Kedatangan mereka disambut oleh seorang satpam yang tengah berjaga-jaga.
“Assalamu`alaikum, Pak Fian? Sama anaknya, ya?”
“Wa`alaikum salam, iya. Sama keponakan juga.”
Mereka pun masuk ke rumah itu dan beristirahat.Ada tiga kamar tidur, satu untuk Pak Fian, satu untuk Aya, dan satunya lagi untuk Dini.
“Kamu tidurnya sama Dini aja, deh. Soalnya kamu itu rewel.. banyak gerak,” ujar Aya.
“Loh, kamu tau dari mana? Kamu, tuh, yang rewel!” tukas Rinan.
“Ih, kamu lupa, ya, terakhir kali kita tidur bareng itu pas kamu kelas 6 SD terus akukelas satu SMP. Pas paginya aku bangun, tau-tau aku ada di lantai, terus kepala aku benjol, lagi.” Aya bermaksud menolak.
“Tapi kamu, kan, tidurnya tetep pulas biarpun ditendang atau diseruduk. Tapi malah baguslah kalau kamu nggak mau tidur sama aku. Aku bisa leluasa karena Dini sendiri nggak rewel kayak kamu!” Kata Rinan.
“Rinan,” Dini manyun. “Siapa yang mau tidur sama kamu?”
“Dini mau, kan?” Rinan mencoba membinar-binarkan matanya ala kartun-kartun di televisi.
Dini pun mengangguk pasrah berat.
***
Waktu untuk shalat subuh tiba, mulai hari itu mereka akan mencoba untuk terus bersahabat dengan pakaian serba panjang dan jilbab yang tergantung di leher maupun di kepala mereka jika dipakai nantinya.
Pak Fian seperti biasa berangkat ke masjid untuk shalat berjamaah. Biasanya dan selalunya, semua ikhwan akan terus di masjid hingga pukul setengah delapan untuk melaksanakan shalat fardhu, tadarrus dan zikir, lalu diiringi kegiatan kajian yang disebut kajian Dhuha berupa ceramah yang dilakukan oleh pembimbing dan siswa-siswadari kelas 10 hingga kelas 12.
Karena hal itu, Aya, Dini, dan Rinan diperbolehkan Pak Fian untuk keluar. Jam enam pagi masih dua belas menit pagi, mereka keluar dari rumah. Mereka ingin memulai hari mereka dengan bermain pimpong di sebuah ruangan khusus olahraga seperti pimpong, bulu tangkis, dsb. Dengan arahan dari salah seorang guru berusia sekitar empat puluh tahunan, mereka pun mencari ruang itu.
***
“Aku serius! Dulu, waktu aku masih SMP, aku dengan dua orang temanku pernah melihat hantu di layar handphoneku. Waktu itu, teman-teman aku itu foto aku pakai dua handphone. Iseng mereka. Setelah cekrek cekrek, di handphone pertama hasil potonya bagus, pemandangannya keren, eh, di handphone kedua, masa ada penampakan di belakang aku padahal fotonya itu bersamaan,” celoteh Abi dengan logat khas Bataknya.
“Iya, terserah kau!” balas Ridho dengan logat Makassarnya. `Kau`-nya terdengar seperti `Kawu`.
“Aku kasih tau kau, ya? Kalau sampai nanti Pak Ustad bilang `hantu itu tidak ada!`... `hantu itu tidak ada!`, saya minta dia buka lagi buku kajiannya. Kalau bukunya juga bilang hantu itu tidak ada, saya yang beraksi. Hantu itu ada, Pak!”
“Iya, siapa yang pangewangiko (menentangmu)? Kalau saya sendiri, belum tau apa-apa karena baru juga judul kajiannya ‘Ada Apa Dengan Hantu (AADH)’ yang Pak Ustad sebut, kau malah minta ditemani ke wc. Kita dengar saja nanti pembahasannya,” ucap Ridho lagi.
“Eh, tunggu! Kayaknya semua ikhwan ada di masjid, kenapa kayak ada yang main pimpong di dalam?” heran Abi yang memang tengah lewat di depan ruang olahraga bersama Ridho. “Tidak mungkin guru-guru kita, kan? Mereka semua palingan encok kalau main pimpong. Coba kau liat dulu, saya takut itu hantu. Hantu ini, hantu!” Abi merunduk dan bersembunyi di belakang Ridho.
“Ayo pale` (kalau begitu) kita ke dekat pintu,” ajak Ridho dengan perasaan biasa-biasa saja.
“Jangan, nanti hantunya lihat kita. Ini, di jendela saja.”
Dengan wajah melasnya karena mendengar perkataan Abi, Ridho pun menjinjitkan kaki untuk mengintip di balik jendela yang berada dua jengkal di atas kepala mereka sementara Abi masih menunduk ketakutan. Ridho pun melihat tiga kepala yang berlapis kain warna-warni. Ia hanya mampu melihat kepalanya, sebentar pula karena tak mampu bertahan untuk menjinjit lebih lama.
“Bagaimana?” tanya Abi.
“Kita liat di pintu saja,” Ridho lekas ke dekat pintu dan melihat ke dalam namun tak ada siapa pun. Ridho tertegun sejenak, “Nda tau juga, Bi. Mungkin memang hantu.”
“Aduh! Hantu itu, hantu!” wajah Abi benar-benar menunjukkan takut yang akut. Mungkin trauma karena pernah berswafoto dengan hantu.
“Ayo, kembali mi` ke mesjid!” ajak Ridho.
Abi pun mengikuti Ridho dan berjalan dengan mengharamkan diri untuk menengok sedikitpun ke ruang olahraga. Di samping itu, Aya, Dini, dan Rinan keluar dari persembunyian mereka di belakang lemari besar tempat penyimpanan barang-barang olahraga.
“Untung kamu langsung nyadar kalo ada orang yang ngintip di jendela, Aya,”Dini lega meski jantung masih berdebar.
Tiba-tiba Rinan tertawa sendiri.
“Kamu kenapa, Rinan?”
“Lucu, deh, orang yang tadi itu. Kalian denger, kan, kayaknya orang itu ketakutan ngirain ada hantu yang main pimpong,” jawab Rinan.
“Semoga aja kita bener-bener nggak ketahuan, ya? Aku ngebayangin kalau ikhwan tadi itu cuma pura-pura nggak ngeliat, soalnya dia bener-bener ngeliat kita, loh, di balik jendela itu,” cemas Dini.
“Kayaknya dua orang tadi nggak tau, kok, kalau di sini ada kita. Malah mereka kiranya hantu, hehe,” Aya ikut tertawa.
Selang beberapa menit, mereka bertiga kembali ke rumah, memasak untuk makan siang. Pak Fian pun bersiap pulang setelah shalat Dzuhur.
“Saya balik dulu, ya, buat makan siang,” ucap Pak Fian kepada rekan gurunya di depan pintu masjid.