FII AMANILLAH

Husnulispedia
Chapter #2

2) Bazar

Hari tak bosannya berganti. Di Rabu pagi itu, tampak Ridho sedang bermain bola sendirian. Bola sepak kali ini. Di balik jendela, seperti biasa, Aya melihati Ridho dari luar. Entah dorongan apa yang membuatnya suka melakukan itu, Ridho pun menyadari lagi-lagi Aya mengintainya.

“Aya, kamu ngapain?” tegur Pak Fian.

“Nggak ngapa-ngapain. Papa mau ke mana?”

“Ke teras aja.”

Tiba di teras, Pak Fian melihat Ridho.

“Eh, Ridho? Udah dateng? Sini dulu,” seru Pak Fian hingga Aya pun mendengarnya di dalam rumah.

Ridho menghentikan permainan bolanya dan menyambangi Pak Fian. “Assalamu`alaikum, Pak,” Ridho membungkuk, dahinya berjumpa punggung tangan gurunya.

“Wa`alaikum salam. Seperti biasa, kamu selalu datang cepat dan terlihat selalu siap. Itu yang buat saya senang minta bantuan sama kamu. Kaki kamu sudah sembuh, kan?”

“Iya, Pak. Obatnya super manjur. Jadi, ada apa, Pak?”

“Melihat kamu di mesjid tadi subuh udah keliatan sehat kakinya, jadi saya mau minta tolong sama kamu. Bisa, kan?”

“Bisa sekali, Pak.”

“Alhamdulillah. Nah begi...” handphone Pak Fian berdering dan ia mengangkatnya. Setelah menutup telepon, Pak Fian berkata, “Ehm, Ridho. Bapak mau ke ruang guru dulu, penting. Bentar aja, kok.”

“Iya, Pak.”

Ridho duduk di kursi teras yang membelakangi jendela berkaca hitam transparan. Dari dalam terdengar suara perempuan yang begitu jelas berbicara padanya.

“Yaelah, pagi-pagi udah muncul lagi di lapangan,” celoteh Aya yang memang berdiri di balik jendela, tepat di belakang.

“Tapi kau suka liati saya di lapangan, kan?” balas Ridho tanpa menoleh sedikit pun.

“Apaan, sih?! Lagian kamu itu, baru juga kemarin keseleo, sekarang udah main bola lagi!”

“Makasih lagi atas perhatiannya.”

“Ih, kamu itu anak pesantren kayak gimana, sih? GRnya tingkat tinggi!”

“Saya nggak GR, ya. Justru saya yang mau tanya, kamu itu hijaber macam apa? Dari Senin kemarin, kenapa suka liati saya? Tau nda? Gara-gara kau, saya keseleo karena kemarin itu saya seperti dihantui. Diliat-liati orang dari balik jendela hitam itu serem, loh.”

“Siapa yang liat-liatin kamu? Kamunya tuh yang ke-GR-an. Maklum kali, yah? Jarang-jarang liat akhwat.”

“Heh.. justru hidup saya itu penuh dengan akhwat.”

“Oooh, gitu. Gebetan ada berapa? Pacar berapa? Mantan udah berapa?”

“Sekali lagi saya tanya, kamu itu hijaber macam apa? Bicaranya, kok, begitu dari semalam?” dan sekali lagi pula, Ridho tak pernah menkan suaranya bahkan jika kemenyebalannya keluar.

“Oh, maksud kamu pikiran aku tolol? Aku bodoh karena peringkat 30 dari 29 orang?”

“Saya luruskan, ya. Akhwat yang ada dalam hidup saya itu bukan yang seperti kamu bilang tadi. Yang saya maksud adalah ibu dan saudari-saudari saya, sembilan akhwat yang in syaa Allah nantinya menjadi penghuni surga,” Ridho terdengar penuh kesungguhan namun tenang teduh.

Aya tertegun. Entahlah. Tiada angin tiada badai, hatinya serasa tertampar. Beberapa detik itu, hanya sunyi yang berada diantara mereka berdua.

“Capek, ah, ngomong sama orang yang katanya punya sembilan akhwat calon penghuni surga,” Aya memecah sunyi dengan seringai. “Mending main catur di handphone,” Aya meninggalkan dinding dan jendela yang ia sandari tadi.

“Tunggu. Kau yang pintar main catur, kan?” Ridho beranjak dari kursinya dan menghadap ke jendela dibelakangnya.

Langkah Aya terhenti, “Maksud kamu?”

“Pak Fian pernah bilang dia punya putri yang pintar main catur. Katanya pernah menang catur antar provinsi. Kau bukan?” kali ini Ridho terdengar sangat serius.

“Iya,” Aya menjawab dengan lembut, tidak biasanya pada Ridho.

“Kau... Ehm...” Ridho tanpa berpikir panjang. “Ehm, nda jadi.”

“Ih, kalau ngomong diterusin aja kali. Kalau nggak mau diterusin ya mending nggak usah ngomong sekalian!” gertak Aya.

“Nda. Palingan nanti kau bilang tidak atau malah mengejek saya.”

“Apa, sih? Nggak, kok. Bilang aja kali!” Aya diam-diam penasaran pada ucapan Ridho yang tak selesai itu.

“Ok. Saya cuma mau tanya,” ucapan Ridho menggetarkan hati Aya, “Kau mau ajar saya main catur, tidak?”

“Hah?! Ngajar kamu?!”

“Iya. Saya mau belajar main catur.”

“Harus catur, gitu? Kalau mau belajar, mending pimpong sama Dini atau belajar memanah sama Rinan.”

“Tuh, kan. Saya bilang juga apa. Kalau tidak menolak, pasti mengejek, atau sebagainya.”

“Emang siapa yang mau ngajarin kamu main catur?! Ogah!”

“Saya tadi memang tidak jadi tanyakan itu, kok. Kau yang tadi memaksa.”

“Ya udah. Kenapa kamu nurut?”

“Saya bilang itu karena kau memaksa.”

“Udah! Yang pasti aku nggak mau ngajar kamu main catur. Males banget!”

“Ya sudah. Saya tidak memaksa.”

“Ok!”

“Iya!”

“Ridho, ada apa?” Pak Fian tiba-tiba datang dan secara tidak langsung telah menghentikan cekcok antara Aya dan Ridho.

“Tidak, Pak.”

“Maaf bikin kamu menunggu. Begini, hari ini, kan, kamu dan ikhwan lain tidak ada kegiatan wajib, sedang free. Jadi, saya mau minta tolong ke kamu untuk mengantar dan menemani anak dan keponakan saya jalan-jalan di alun-alun, karena saya lagi sangat sibuk.

Ridho kaget dalam hati. Ingin menolak namun ragu, tak enak hati.

“Saya yakin kamu agak bingung. Tapi untuk hal ini, cuma kamu satu-satunya siswa yang tau tentang keberadaan akhwat di pesantren ini yang merupakan anak dan keponakan saya. Saya kenal kamu dengan baik. Saya rasa kamu bisa memegang tanggung jawab ini. Kamu, kan, juga sudah pintar mengemudikan mobil. Kamu nanti pakai mobil saya. Bisa?” sambung Pak Fian.

Ridho masih tersungkur dalam diam.

“Ya, kalau kamu tidak bi...” Pak Fian tak ingin membebankan.

“In syaa Allah, Pak. Saya siap. Ehm, tapi kapan, ya, Pak?”

Pukul setengah satu siang, Aya, Dini, dan Rinan sudah berada di mobil yang diletakkan Pak Fian di depan rumahnya sebelum beliau ke mesjid untuk shalat Dzuhur. Aya di sisi kiri, Rinan di tengah, dan Dini di kanan.

“Aduh, udah nggak sabar pengen ke sana!”Rinan bersemangat.

“Sabar, kali, Rinan. Orang sabar kan...” sahut Dini.

“Makin cantik!” tukas Rinan.

“Berarti kamu nggak cantik soalnya kamu nggak sabaran,” ejek Dini.

“Apaan, sih? Iya, nih, iya! Aku sekarang bakalan sabar.. sabar.. dan tabah!” tandas Rinan.

“Huu!” Dini menyoraki Rinan. “Eh, Aya? Kamu, kok, bengong, sih? Kita mau jalan-jalan, kok, kamu nggak semangat gitu?”

“Din, Rin. Sebenernya ada satu hal yang tidak `menyangkakan` alias tidak disangka-sangka,” Aya sedikit lebay, mungkin pengaruh dari kepalanya yang pening.

“A...apa, Ya? Jadi khawatir, deh,” tanya Dini.

“Ridho...” Aya terdengar berat.

“Ridho? Papa kamu nggak ridho kalau kita jalan-jalan?” sahut Rinan.

“Ih, bukan itu. Ridho itu nama orang,” desah Aya.

“Oh, rekan kerja Papa kamu?” giliran Dini yang menerka-nerka.

“Bukan!” Aya mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Ridho adalah cowok yang kemaren keseleo itu. Dan yang bikin aku pusing nggak jelas adalah karena dia yang bakal nganterin plus nemenin kita jalan.”

“Ha?!!” pekik Dini dan Rinan.

“Tadi Papa aku bilang kalau dia lagi sibuk banget dan nggak bisa nganterin kita. Jadi Papa aku minta tolong sama Ridho untuk nemenin kita.”

“Ridho ngasih tau, ya, kalau... ? Papa kamu tau dari mana kalau... ? Ah!!” Dini mengetuk-ngetuk kepalanya. “Aku bingung pengen bilang apa, tapi... tapi gimana ceritanya...?

“Uh, bingung... bingung!” Rinan menekan-nekan kepalanya dengan kedua telunjuk tangannya. Maklumlah, mereka tentu bingung mengapa ada ikhwan yang diizinkan bertemu dengan mereka.

“Gini. Tadi aku juga panik dengernya. Setelah Ridho pergi, aku tanya Papa aku. Dia cerita, pas habis shalat Subuh, dia ngeliat Ridho udah baikan kakinya. Terus karena di masjid banyak ikhwan, jadi Papa aku nggak bisa ngomong banyak sama dia. Papaku cuma minta Ridho untuk dateng ke rumah pagi nantinya. Nah, baru, deh, tadi pagi Papa aku ngasih tau yang sebenarnya,” jelas Aya, wajahnya yang tak kalah masam dari Dini dan Rinan. “Kalian masih bingung?”

“Iya, Aya. Tapi aku nggak tau mau nanyain apa. Pokoknya bingung aja gitu,” tutur Dini.

“Tadi malem, waktu kalian udah molor, aku ngobrol sama Papa aku yang baru aja balik ke rumah. Dia cerita soal Ridho, loh. Katanya anaknya baik.. pinter... Tapi aku nggak peduli. Bagi aku, dia itu nyebelin. Dan ternyata, ada satu hal penting tentang Ridho yang mau Papaku ceritain tapi aku malah bilang kalau aku udah ngantuk karena aku pikir Papa aku masih mau muji-muji Ridho, ternyata tadi pagi baru dia bilang ke aku bahwa... hatchiim! Alhamdulillaah, “ucapan Aya terpotong oleh bersinnya sendiri.

“Yaelah, Aya. Pake bersin lagi,” cuap Rinan yang merasa terganggu dan ter`gantung` dengan cerita Aya.

“Ih, bersin, kan, berkah... rezeki...”

“Yarhamukillaah,” Dini dan Rinan serentak.

“Yahdikumullaah,” balas Aya.

“Ya udah! Sekarang lanjutin ceritanya!” Rinan tak sabaran. Nanti cantiknya gugur.

“Papa aku tadi pagi ngejelasin apa yang mau dia ceritain ke aku semalam. Katanya, kemarin Ridho dimarah-marahin sama beberapa ikhwan. Setelah semua ikhwan itu pergi, Papa aku nanya kenapa dia bisa dimarahin. Ridho ngejawab, katanya demi ngelindungin kita,” sambung Aya.

“Ngelindungin kita?” decak Dini dan Rinan.

“Saat kita kemarin jadi tikus-tikus raksasa, Ridho yang jalannya paling depan udah ngeliat kita lari untuk sembunyi. Tanpa pikir panjang, Ridho bilang ke temen-temennya, `Temen-temen! Baru saya ingat, Pak Fian panggil kita semua ke depan ruangannya kalau kita sudah selesai kajian Dhuha. Ayo kita cepat-cepat ke sana! Pak Fian pasti nunggu kita` terus mereka langsung berbalik arah sebelum mereka sampai ke lapangan memanah.”

“Jadi, sebenarnya, selain menutup rahasia keberadaan kita di sini, Ridho selalu ngelindungin kita?” tanya Dini.

“Kayaknya gitu,” Rinan mengangguk.

“Berarti dia udah baik banget, dong, sama kita?” kata Dini.

Aya mengangkat bola matanya sejenak, “Tau. ah. Bagi aku, dia tuh pokoknya nyeb...”

“Ikhwan!”Rinan seketika menundukkan kepalanya sambil mendorong kepala Aya dan Dini yang ada di kanan kirinya dengan tangannya ke bawah untuk menunduk dan tidak dilihat oleh ikhwan yang lewat.

“Aw! Sakit, loh, Rinan!” Aya mengelus kepalanya.

“Yang penting, kan, nggak diliat ikhwan. Udah, ikhwannya udah ilang,” Rinan bernapas lega.

Mereka bertiga kembali menegakkan punggung.

“Tapi, kan, kaca jendela mobilnya gelap dan ketutup rapat. Pasti mereka nggak liat, kok. Kepalaku sakit, loh, ini,” Dini juga mengusap kepalanya.

Lihat selengkapnya