Setibanya di pesantren, mereka tak beruntung. Sedang ada banyak ikhwan yang berada di berkitaran. Bahaya jika turun dari mobil.
“Kamu udah mau turun sekarang, Dho? Di luar ada banyak temen kamu, tuh. Ntar kamu ditanya abis dari mana, kamu mau jawab apa?” ujar Dini.
“Ya, saya jawab dari alun-alun.”
“Kalo mereka nanya abis ngapain?” tambah Rinan.
“Saya bilang, saya habis nganterin kalian.”
“Ridho!!!”
“Iya, maaf.”
“Kita, terutama kamu, Dho`, harus ngehindarin kemungkinan pertanyaan mereka. Takutnya kata-kata bohong yang keluar. Jadi, kalau mereka nggak liat kamu turun dari mobil, merekajuga nggak akan nanya, dan kamu cukup diam aja,” Dini kembali kalem bicaranya.
“Kenapa saya harus takut kalau ditanya mereka?”
“Ridho!!!”
“Kayaknya bakal sia-sia aja. Toh, teman-teman saya kapan pun itu akan tanya saya dari mana.”
“Ridho, ngerti dikit dong,” Aya bergumam pelan, tampaknya ia sudah lelah. Entah lelah sehabis berjalan-jalan atau lelah menggertak Ridho.
“Kalian... Kalian sendiri bisa ngertiin saya?”
“Nggak bisa!”
“Dari tadi bahasanya tingkat tinggi, malah nanya gitu.”
“Nih orang, sel-sel otaknya pada ngapain, sih? Nggak jelas plus bikin emosi doang bicaranya.”
“Iya, iya. Saya ngerti. Terus saya harus bagaimana? Kan, sudah mau Maghrib.”
“Kita tunggu aja mereka pergi ke masjid duluan, nanti baru kamu nyusul. Pasti sempet, kok,” imbuh Dini.
Entah kebetulan atau bagaimana, hanya selang satu setengah menit, suara tilawah radio masjid sudah terdengar yang menandakan semua ikhwan harus meninggalkan semua kegiatan mereka, termasuk Ridho. Mereka berempat pun turun dari mobil. Sementara Aya dan Rinan langsung berlari ke dalam rumah, Dini memanggil Ridho yang sudah berjalan tiga meter darinya di bawah naungan cahaya jingga yang perlahan beralih menuju langit nila.
“Dho! Tunggu!”
“Ada apa? Kalau ada perlu, jangan lama-lama, ya.”
“Iya, aku tau sekarang kamu punya dua pantangan,” Dini membuat Ridho mengangkat alis. “Ehm, maksud aku, kamu harus cepet-cepet ke masjid dan juga nggak mau berduaan sama cewek,” Dini mengeluarkan sekantong kue dari kantong belanjaannya. “Ehm, aku cuma mau ngasih ini.”
“Itu kue yang kau beli tadi?”
“Iya, buat kamu. Nggak usah nolak!” Dini berjalan mendekati Ridho dan memberikannya sekantong kue. Ridho menerimanya. “Aku kasih kamu kue ini karena aku liat kayaknya kamu suka banget sama kue ini.”
“Tau dari mana kalau saya suka sekali kue ini? Saya, kan, cuma makan sedikit. Sisanya, ini, saya kantongin juga,” Ridho mengacungkan kantong plastik di tangan kirinya.
“Iya. Aku juga liat, kok. Lagian, kamu makannya dikit soalnya kamu jaim, kan?”
“Jaim?”
“Aku tebak lagi, ya. Kamu itu nggak ngerti sama sekali arti kata `jaim`. Iya, kan?” ejek Dini.
“Udahlah, lupain itu. Kamu sendiri kok kayak bisa baca pikiran atau keadaan orang? Kayak psikolog.”
“Ehm, in syaa Allah, kuliah nanti, aku emang mau ambil jurusan Psikologi,” Dini merasa tersanjung.
Ridho mengangguk kecil dengan wajah datar, “Ya udah, makasih. Saya pergi dulu.”
“Eh, Dho! Tunggu lagi!”
“Apa lagi? Kalau masih mau ketemu sama saya, besok aja, ya. Kangenin aja dulu.”
“What?! Aya bener, ya. Kamu itu orangnya tukang GR,” sambil tertawa, Dini memukul lengan kiri Ridho. Hal itu membuat mimik lucu Ridho menjadi ekspresi sedikit tegang.Dini menghentikan tawanya, “Oh, sorry... Ehm, masih ada, nih,” Dini kembali mengambil sesuatu di kantong belanjaannya yang berisi pakaian. Sebuah kaos abu-abu disodorkan pada Ridho.
“Apa lagi, ini?” Ridho menerima kaos itu.
“Yaaa... aku kepikiran aja tadi di bazar alun-alun, kok, baju kamu yang sekarang sama kayak baju yang kamu pake pas Senin kemarin?”
“Jadi kamu mikirnya kalau baju saya cuma itu-itu mulu?”
“Aku rasa, sih, masih ada beberapa di lemari kamu, tapi...”
“Eh, Rinan...” Ridho menukas ucapan Dini namun salah menyebut nama.
“Dini!”
“Oh, maaf. Suka susah bedain yang mana Dini dan Rinan. Kalau Aya, sih, gampang diinget soalnya Pak Fian sering nyebut namanya. Orangnya juga susah dilupa,” Ridho menggaruk pelipisnya yang tak gatal.
Entah mengapa, Dini terhenyak saat itu.
“Ehm, Dini... Kamu itu orangnya...”
Dini bersiap untuk disanjung lagi.
“Orangnya sok tau, ya? Pertama soal kue, terus arti kata `jaim`, dan terakhir, yang paling parah yaitu kaos,” sambung Ridho.
Dini memicingkan kelopak mata, memanyunkan sedikit bibirnya.
“Kue yang kayak begini, semua orang pasti suka. Jangan ditanya lagi, itu termasuk saya. Dan kata `jaga image`, di kampung saya yang warganya sejenis manusia pedesaan juga paham artinya. Terus, apa namanya? Ehm, kaos! Kaos yang saya pakai dalam jangka hari yang dekat, antara Senin dan Rabu, malah bikin kau kira baju saya sedikit?” ujar Ridho dengan nada yang tak keras, tak lembut pula.
Dini semakin memanyun, “Udah ngomongnya?” hidung Dini memerah, “Kenapa kamu nggak sekalian bilang, `gitu kok mau jadi psikolog?!`” gertak Dini dengan bicara yang cepat lalu masuk ke rumah, meninggalkan Ridho yang tetap dengan wajah tak bersalahnya.
Sambil memasang mukena hitam, Aya keheranan melihat Dini yang datang tergopoh-gopoh. “Kamu kenapa, Din? Manyun gitu,”
“Nggak.”
“Ambil air wudhu, sana. Siapa tau bisa bikin kamu ketawa, minimal senyum manis,” kata Aya lagi.
“Itu air atau film komedi?”
“Bukan, tapi itu belaiannya Allah,” Aya lembut.
Dini tersenyum, “Tumben ngomongnya nyentuh banget?”
“Udah sana, wudhu!”
“Kayaknya nggak perlu lagi. Nih, aku udah senyum, dibelai Allah lewat kamu,”canda Dini.
“Oh, mau dibelai lagi?”
“Nggaaak!!!” Dini kabur. “Paling ntar dicakar!”
***
Shalat Maghrib telah tertunai. Anak-anak di kamar nomor 13 bercengkrama, duduk melantai di kamar asrama.
“Ridho, tadi kau sebenarnya ke mana? Aku nggak pernah melihat kau setelah shalat Ashar,” Abi datang, duduk di sisi Ridho.
“Kalian pasti bisa tebak saya dari mana kalau kalian lihat ini,” Ridho mengacungkan sebuah kantong plastik.
“Apa itu?” ujar Ahmed. Ia sendiri merupakan keturunan Palu, Sulawesi Tengah – Arab.
“Kalian tutup mata saja,” Ridho berlogat daerahnya, “lalu telentangkan tangan kanan ke saya. Sudah itu, kalian makan yang saya kasih ke kalian.”
“Bah! Bagaimana kalau kau kasih kita batu, masa kita makan?” pekik Abi.
“Bukan! Tenang saja, tenang. Ini halal,” Ridho meyakinkan.
“Kalaupun halal tapi nggak pantas buat dimakan, gimana?” tanya Indra, anak gaul dari Jakarta saat yang kenarsisannya berkurang `dramatis` sejak masuk pesantren.
“Ini dijamin pantas untuk dimakan. Sekarang, kalian tutup mata.”
Ridho mengeluarkan tiga potong kue, meletakkannya di atas telapak tangan sejawatnya yang mengatup mata. Merasakan yang di tangan mereka itu kenyal dan agak lengket, mereka percaya bahwa itu benar makanan.
“Ehm, kue bungkus daun pisang!” seru Indra yang begitu khidmat memamah kue yang nikmat.
“Biasa dijual di alun-alun!” sahut Ahmed.
“Dijualnya di dekat toko emas, kan?” imbuh Indra.
“Harganya 2.500 sebiji!” Abi tak mau kalah. “Yang jual, ibu-ibu sama mbak-mbak cantik!”
Mereka membuka mata.
“Benar-benar benar!” Ridho tertawa kecil.
“Bah! Ini, kan, kue yang selalu kita beli kalau ke alun-alun,” Abi kembali menggigit kuenya yang masih tersisa di tangannya.
“Jadi lo dari alun-alun?” tanya Indra
“Iya.”
“Bah, nggak ngajak-ngajak?!” Abi tampak kesal.
“Biasa, ada tugas dari Pak Fian.”
“Berarti kamu pakai mobilnya Pak Fian lagi?” ucap Ahmed.
Ridho mangut-mangut.
“Diberi tugas apa lagi kau?” tanya Abi lagi.
“Disuruh isi bensin.”
“Ededeh! Kau ke alun-alun disuruh beli bensin atau habis-habiskan bensin?!” Ahmed tahu betul jarak pesantrennya dengan alun-alun cukup jauh.
“Memang betulan, kok. Saya tadi beli bensin di sana setelah beli tikar. Tikar di ruang istirahat guru-guru sudah hampir compang-camping,” kata Ridho yang memang tadi membeli dua lembar tikar saat ia di alun-alun yang sebenarnya hanya untuk alibi tetapi tetap tak ada unsur tak jujur di sini.
“Oh, disuruh Pak Fian. Pantes aja lo bisa beli kue ini banyak-banyak. Pasti upahnya, kan?” Indra menunjuk-nunjuk kawannya itu.
“Eh, tapi daun pisang kue ini di mana? Jangan bilang, kamu tadi...” Ahmed curiga.
“Ehm, tadi saya lepas kulit pisangnya terus saya potong-potong kuenya yang kemudian kalian makan.”
Abi, Indra, dan Ahmed merasa mual seketika mendengar bahwa makanan yang baru saja mereka makan tadinya dipegang begitu saja oleh Ridho.