Bayangan benda yang terkena sinar matahari sudah mengarah ke timur. Itu tanda sang baskara petang telah tiba. Pak Fian masih sibuk sementara ketiga akhwat itu hanya terus berdiam diri di dalam rumah. Menyapu, memasak, dan mencuci piring. Hanya itu yang mereka lakukan dengan berbagi tugas secara imbang. Terkadang ada salah satu diantara mereka merasa paling letih. Padahal rencananya, semua harus memiliki rasa lelah yang sama kadarnya, berdasarkan hukum aturan Rinan nomor lima pasal negatif empat. Tak tertinggal mengelap-ngelap perabotan besar seperti meja, lemari, dan dinding. Ya, setidaknya untuk kali ini ada yang melakukan itu karena Pak Fian kadang tak sempat untuk itu.
Sorenya, Dini dan Aya menyaksikan film yang lama mereka rindukan dan akhirnya rilis di tv. Sebenarnya bisa saja didownload namun terdahului dengan drama luar negeri yang tak kalah menyentak simpati. Sedangkan Rinan sedang tidur siang menjelang sore.
“Bosen, nih,” Dini mengubah posisi duduknya, “Aku kadang suka mikir, deh, kalau kita nggak usah dateng ke sini dan lebih baik nongkrong terus di rumah kita sendiri. Di sini, tuh, kita ngerasa terkekang.”
“Ya mau gimana lagi? Dua pekan sebelum hari libur, tempat ini udah masuk list destinasi kita, kan? Dan dari awal kita emang mau ngerasain liburan yang extra ordinary. Iya, kan?” ujar Aya.
“Tapi, rasanya nggak nyaman juga,” Dini bergumam lagi.
“Kamu nggak nyaman? Sama! Aku juga nggak nyaman apalagi sama jilbabnya, nih, baju lengan panjang, rok panjang. Bener-bener terkekang banget sama peraturan di pesantren ini. Toh, kita juga nggak dilihat sama ikhwan-ikhwannya. Tapi tanpa direncanakan, ternyata ada satu ikhwan yang dengan suksesnya ngeliat dan menyadari keberadaan kita,” Aya mengibas-ngibaskan kedua tangannya di depan wajahnya. Gerah body, gerah heart.
“Aku, sih, bukan karena jilbab dan pakaian serba panjang yang sama sekali buat life style kita, tapi karena kita nggak leluasa jalan ke sana-kemari. Coba aku liburannya di rumah aku aja, seenggaknya aku masih bisa jalan-jalan ke warung deket rumah, sesekali ngadem di minimarket, terus main ke rumah Elsa (teman sekaligus tetangga Dini).”
“....” Aya terdiam mendengar celoteh Dini.
“Coba aja aku nggak tertarik sama rencana dan ajakan kamu.”
Aya tersinggung, “What? Kamu nyesel, gitu, udah ngedengerin ajakan aku untuk ke sini?”
“Iya, aku ngerasa nggak enak di sini. Aku tau, seenggaknya aku bisa keliling-keliling pesantren yang indah ini dan jalan di alun-alun yang keren, tapi itu nggak seberapa untuk liburan yang udah berlangsung empat hari ini... Garing!”
Aya tak menyahut lagi.
“Padahal kalau aku nggak di sini, mungkin aku bakal ikut rekreasi sama sekelas aku ke pantai kalau nggak ke water boom atau studio bermain,.”
“Jangan salahin aku kalau kamu nyesel dateng ke sini. Dulu aku cuman sekadar ngajak, kok.”
“Kamu membela diri, ya? Aku inget banget, jelas-jelas, kamu maksa aku dan Rinan buat ikut dengan jaminan kita bakal have fun... full selama kita di sini.”
“Kamu kali yang nggak pernah belajar buat nolak. Aku bareng Rinan aja juga nggak apa-apa.”
“Nah! Dulu kamu bilang kalau cuma bareng Rinan itu nggak bakal seru, terus kamu ngebujuk dan ngebujuk aku lalu akhirnya aku harus berbagi tempat tidur sama Rinan sementara kalau aku nggak ikut kamu, aku pasti udah tidur nyaman leluasa di kamar aku!”
“Jadi semua ini karena masalah kenyamanan dan keleluasaan?”
“Iya! Aya, kamu pengen banget ke sini karena setiap libur, kamu selalu ngerasa boring, stay terus di rumah. Sementara aku, aku nggak ada hasrat ke sini sebelumnya karena aku selalu ngerasa nyaman biarpun cuma nongkrong di rumah. Selain itu, aku nggak pernah dilarang buat keluar dan jalan sama temen-temen. Kalau kamu, aku nggak pernah ngerti apa alasan orang tua kamu sampe ngelarang kamu keluar rumah tanpa mereka sementara mereka juga sibuk untuk bisa jalan sama kamu.”
“Ya udah! Jadi aku yang salah karena udah ngebikin kamu kehilangan momen-momen seru kamu?!”
“Yah! Sekarang aku terbenam dengan kegaringan liburan sama kamu!”
“Kalau gitu kamu pulang aja!”
“Mustahil Aayaaa! Kan, tergantung om Fian mau kapan pulangnya. Dan pastinya aku terpaksa masih semobil sama kamu nanti!”
“Kalian pergi aja! Tinggalin aku di sini buat ngehabisin liburan aku. Kamu silakan akhiri penderitaan kamu,” Aya berdiri dari sofa, berjalan ke kamarnya.
“Emang kamu sendiri seneng ada di sini?” Dini membuat langkah kaki Aya terhenti tepat di depan pintu kamarnya. “Semoga aja cukup aku yang ngerasain apa itu nyesel, ya.”
Aya membuka pintu kamarnya dan menutupnya kasar. Rinan pun bangun dari tidurnya setelah mendengar kebisingan. “Ada apa, Din? Berisik banget?” Rinan melangkah ke dekat Dini yang duduk di depan televisi.
“Ehm, ada...”
“Ada kartun favorit aku! Ya ampuuun!” Rinan gagal fokus dan duduk di sofa, menatap tajam layar kotak. “Sekarang udah jam berapa, sih?” Rinan melihat jam di layar handphone Dini yang tergeletak di sampingnya. “Hwa! Ya ampun! Udah main dari tadi!” gerutu Rinan.
“Maksud kamu?” gumam Dini yang nafasnya masih terengah-engah.
“Ini, jam di handphone kamu nunjukin jam 15.47, artinya kurang dari 15 menit lagi, kartunnya abis! Iiih!” gerutunya lagi. “Eh... eh... jangan iklan dulu, dong! Baru juga diliaaat.”
Dini menanggapinya dengan diam.
“Eh, nggak apa-apa deh. Abis ini pasti ada FTV-nya. Yeees! Jarang-jarang aku nonton FTV tepat mulai dari awal,” Rinan tak konsisten. Senang dan sedih secepat kedipan dapat berubah.
Tok.. tok.. tokkk!
“Rinan, Om Fian kali tuh. Bukain pintu, gih,” gumam Dini.
“Tapi kartunnya...”
“Kan, belum main juga. Baru aja iklan. Kamu bukain pintu dulu sana.”
“Panggil aku kalau udah maen, ya, kartunnya.”
“Yaelah, cuma 10 detik, loh, ngebukain pintunya, cepetan!”
Dengan mata yang terus tertuju pada layar tv, Rinan berjalan mundur ke luar. Setelah memutar kunci pintu, Rinan pun membukanya dengan santai.
Draakkk!!!
Melihat siapa yang berdiri di hadapannya, Rinan sontak menutup pintu dengan keras. Dini terkejut mendengar hentakan pintu dan berlari mendatangi Rinan.
“Rinan, ada apa?” Dini mendapati Rinan terbelalak menghadap pintu. “Rinan?”
Rinan tak menanggapi Dini. Tak lama, Rinan menutup mulutnya dengan telapak tangannya dan menatapi Dini.
“I... i... ikhwan?” desah lirih Rinan.
Dini mengerti, “Ikhwan itu ngeliat kamu?”
Rinan mereguk air liurnya, “Gimana, dong?”
“Kita liat aja apa yang akan terjadi lebih dari 30 menit ke depan,” Dini bersikap pasrah terhadap apa yang akan terjadi nantinya. Toh, apa mau dikata, bila sesosok ikhwan telah melihat dan menyadari keberadaan akhwat di pesantrennya.
Aya bersantai di kamarnya dengan headphone yang melingkari setengah kepalanya. Tak ada tahu ia sedang apa dan ia tak mau tahu apa yang terjadi di luar kamarnya. Matanya hanya fokus ke layar laptop, melihat-lihat galeri. Sudah dua kali ia meng-scroll isi dari folder picturenya, kini ia mengklik `close` sambil bergumam kesal atas habisnya pulsanya.
“Di sini kok nggak ada wifi, sih? Harusnya ada! Ini, kan, pesantren, nggak ada yang boleh main handphone selain guru dan pegawai-pegawainya. So, nggak ada salahnya mereka masang wifi. Nggak ada siswa yang bakal nyolong wifi-nya. Nggak kayak di sekolah (sekolah Aya), anak-anak bebas ngehambur-hamburin wifi... asal dapat passwordnya,” Aya terus berceloteh yang serba `nggak.. nggak.. nggak..`.
Ketika layar laptopnya sedang berputar-putar proses `shutting down`, ia menanggalkan mouse laptopnya lalu melangkah keluar kamar. Sebelum ia membuka pintu, gerutu Rinan begitu kentara masuk ke telinganya.
“Dia, tuh, tinggi, kira-kira lebih tinggi dari Ridho, deh, pokoknya. Nggak item nggak putih juga kulitnya. Terus mukanya itu... it`s ok, nggak jelek, tapi nggak ganteng-ganteng juga, sih. Kamu mau tau ekspresi mukanya tadi gimana? Ekspresinya tuh.....”
“Yaelah! Ngomongin cowok!” Aya berlalu begitu saja dari kamarnya menuju dapur.
“Datar banget mukanya!” pekik gemetar Rinan yang duduk di samping Dini. “Kayak orang yang sakit gitu. Pucat-pucat gimana gitu. Tapi dia keliatan sehat.”
“Ih, biasa aja kali ngomongnya,” Dini mengusap pipinya.
“Aku nggak bisa biasa-biasa aja. Kamu tau, nggak? Mukanya emang datar, tapi pembawaannya kayaknya sangar gitu. Kalo dia maen film, pasti perannya antagonis. Cocoknya, tuh, jadi ketua osis yang suka malak-malakin siswa pra-mos yang cupu,” Rinan tersengal-sengal saking syoknya.
Dini melongo, masih sempat bercanda “Dan kamu yang jadi penulisnya?”
“Ketemu cowok di mana, Rin?” Aya datang segelas air dingin di tangan.
“Ah, aku lupa kalau ada air minum di kulkas,” Rinan menyambar gelas yang dibawa Aya. Gerah banget rasanya ketemu orang itu.”
“Tadi nyindir, tau-taunya penasaran juga,” lirih Dini.
“Nggak, kok, nggak. Biasa aja. Bagi dua aja tuh cowok, nggak usah dibagi tiga. Aku nggak perlu,” balas Aya.
“Aya, tadi itu ada yang ngetok pintu. Aku kira Om Fian, ternyata ikhwan pesantren ini. Aku jelas kaget, dong. Langsung aku banting pintunya,” kata Rinan usai meneguk habis air dinginnya dan memberikan gelasnya pada Aya.
“Eh?” Aya meletakkan gelas itu di meja. “Terus, gimana, dong?”
“Nggak tau, tuh. Kata Dini, tunggu aja lebih dari 30 menit nanti. Mau gimana lagi, coba? Nggak mungkin, kan, kita ngedatengin ikhwan itu terus kita bilang `eh, yang kamu liat tadi itu cuma halusinasi, nggak nyata!` atau kita bilang `please, jangan ngasih tau temen-temen kamu kalau kamu ngeliat aku tadi` sementara kita bilang gitu saat dia lagi ngumpul-ngumpul sama temen-temennya. It`s impossible, right now?” ucap Rinan dengan tangan yang ia gerak-gerakkanseakan tangannya ikut berceloteh atau seperti berpresentasi di kelas.
“`Now`-nya diilangin, ya, lain kali,” anak guru Bahasa Inggris meralat kalimat Rinan.
“Salah, ya? Ah, kamunya yang pinter atau akunya yang bego, sih?”
Aya berlakon angkuh, “Pasti kedua-duanya, mungkin.”
“Gimana bisa kata `pasti` dan `mungkin` disatuin?” sangkal Dini.
“Bisa, kok,” kibasan rambut dengan tangan kanan mengiringi langkah Aya ke kamarnya lagi.
“Pantes aja temen-temen aku suka ketawa nggak jelas kalau aku ngomong bahasa Inggris kayak gitu,” gerutu Rinan.”Eh, FTV-nya mulai!”
Dini tertawa kecil, “Kebayang, deh, kalau FTV kali ini ceritanya sama kayak yang kamu bilang tadi.”
“Maksud kamu, kisah tentang ketua osis yang malakin siswa pra-mos?”
Dini tergelak lagi, “Kali aja.”
Waktunya makan malam. Seperti biasanya, usai shalat Maghrib, Aya, Dini, dan Rinan menyiapkan makanan dan menanti Pak Fian pulang. Aya di kamar mandi saat Rinan mengobrol dengan Dini yang sedang menggoreng telur.
“Hahaha, sumpah! FTV tadi emang nyeritain soal ketua OSIS yang suka malak! Jadi kepikiran terus, deh, soalnya itu beneran dalem unik.”
“Dalem unik?” Dini tak paham.
“Lawannya `luar biasa` itu pasti `dalam unik`. Iya, kan?!” Rinan sok bangga dengan istilah yang ia buat sendiri.
“Aku pikir kamu bakal jadi lebih baik kalau tinggal di sini, Rin. Ternyata makin aneh,” Dini mengerutkan hidung. “Kembali ke FTV tadi, itu emang lucu banget, haha. Cuman bedanya, yang dipalak itu guru-gurunya yang dia anggap lemah. Jahat banget, ya? Eh, akhirnya jatuh cinta sama gurunya yang cantik tapi takut sama si ketua OSIS itu. Yaaa, namanya juga cerita buatan. Kalau pun cerita kayak gitu beneran ada, kasian guru cantiknya, dong. Dia lebih tua dari cowoknya.”
“Kasian apanya? Kalau dia emang suka brondong, gimana?” canda Rinan.
“Astaga, Riiin!” Dini geleng kepala.
Karena tak fokus dengan wajan tempatnya menggoreng telur, wajan tersebut hampir terjatuh dari kompor. “Eh!! Ehh!!!” untunglah Dini berhasil menahan wajannya meski pada akhirnya, tangannyalah yang memerah sehabis memegang wajan panas.
“Nggak apa-apa, kan, Din?”cemas Rinan.
“Nggak kok,” Dini mengambil air ditimba, “Dicelupin ke air dingin, nggak masalah kali, ya?”
“Nggak tau juga.”
Dini pun mencoba mencelupkan tangan kanannya itu dengan harapan panas di tangannya berkurang, “Telurnya, Rinan.”
“Oh, iya,” Rinan beralih mengganti Dini membalik telur tersebut.
“Kalau masak itu hati-hati. Nggak usah sambil ketawa-ketawa,” sindir Aya yang baru keluar dari kamar mandi.
“Nggak bakal kayak gini, kok, kalau seandainya aku nggak pernah dipaksa ke sini,” Dini membalas tanpa menolehi Aya.
Rinan menggigit bibirnya setelah ia baru menyadari Aya dan Dini sedang marahan, namun ia tak berani menegur mereka berdua.
Tok.. tok.. tokkk!
“Aduh, ada yang ngetok pintu lagi?!”Rinan cemas.
“Assalamu`alaikum!”
“Itu suaranya Om Fian,” Dini keluar untuk membuka pintu.
Saat Pak Fian memulai untuk menikmati makanannya, Rinan berseloroh, “Om, gawat, Om.”
“Gawat apa, Rinan?” Pak Fian menahan sendoknya.
“Ada ikhwan lagi yang ngeliat kita. Lebih tepatnya... ngeliat aku.”
“Gimana bisa?”
“Tadi sore ada yang ngetuk pintu, aku kira itu Om, pas aku buka, ikhwan yang tak dikenal berdiri di depan aku.”
“Di luar... ada sesuatu yang Om denger, nggak, soal kita selepas tadi sore?” tanya Dini dengan nada lembut khasnya.
“Nggak ada, sih. Tapi masalahnya, kita nggak tau apa yang bakal ikhwan tadi lakuin sekarang. Kalau ikhwannya sama seperti Ridho, mungkin semua aman-aman aja. Tapi kalau ikhwannya lain?” kata Pak Fian dengan rasa sedikit cemas.
“Tapi, kan, semua ikhwan di sini orang baik-baik, kan, om?”
“Ya, kalo baiknya kayak Ridho, mah, orang itu mungkin bakal tutup mulut dan bisa langsung paham dengan keberadaan dan situasi kita,” kata Dini.
“Lagian kamu, kok, nggak ngelirik dulu ke jendela, liat siapa yang ngetok-ngetok? Baru kamu buka pintunya kalau itu papa aku,” imbuh Aya.
“Jangan salahin aku, dong. Kan, biasanya emang yang ngetok pintu itu cuma om Fian, jadi aku udah kebiasaan bukain pintu langsung,” gerutu Rinan. “Dini juga kiranya itu Om.”
“Eh, terus aku salah, gitu, cuman karena aku mengira-ngira?”kata Dini.
“Awas, nyesel lagi.. nyesel lagi,” sindir Aya untuk keentah berapa kalinya.
“Kamu nyindir aku bakalan nyesel apa?” tanya Dini.
“Yang buat telur dadar, siapa, sih? Keasinan. Kamu bukan, Rin?” Aya mengabaikan Dini yang justru menambah kekesalan sebab Dini yang membuatnya.
Pak Fian kembali meninggalkan rumah. Rinan mengunci pintu sesaat setelah itu. Dini baru saja mencuci piring, tangannya masih basah ketika ia memegang gagang pintu kamarnya. Rinan ikut masuk ke kamar dan beristirahat.
“Semoga besok kita bisa jalan-jalan lagi, ya. Besok, kan, juga hari terakhir kita di sini. Ehm, kalau bisa, kita keluar cari- tempat makan yang enak. Dibeli langsung juga buat oleh-oleh. Aku belum beli apa-apa, nih, buat mama papa aku,” Rinan penuh harap, campur rindu.
Dini yang duduk di atas kasur bersama Rinan hanya menanggapi dengan anggukan kecil.
***
Rasa ingin berkeliling lagi di sekitar pesantren muncul di benak Aya. Saat itu, pesantren pasti sedang sepi sebab semua ikhwan pergi ke masjid untuk shalat Jumat. Terdengar khatib baru memulai khutbahnya tatkala Aya membuka pintu rumah. Memang benar. Pesantren sangat sepi. Aya pun keluar meski tak tahu ingin ke mana. Niatnya hanya untuk sekadar mencari angin dan barangkali masih ada tempat yang sempat tak ia kunjungi.
Aya keluar sendiri. Dengan sisa kekesalannya, ia masih enggan berbicara dengan Dini. Entah kenapa, ia pun malas berinteraksi dengan Rinan. Ia terus melangkah. Santai. Ia merasa aman karena baik masjid maupun asrama ikhwan jauh dari tempatnya berjalan. Jadi, sudah pasti tak akan ada yang mendapatinya.
Ia berjalan menyusuri lorong-lorong kelas. Melirik isi satu per satu kelas yang begitu indah, cat-cat dioles apik menjadi gambar abstrak yang menarik mata pada setiap dinding kelas.
“Kreatif banget, ya? Selain nggak bakalan bosen tinggal di dalam kelasnya, gambar-gambar itu bisa jadi background foto yang keren,” Aya teringat Hari Senin lalu, mereka bertiga berfoto-foto ria di setiap ruang kelas pesantren itu.
Menyusuri setiap ruang demi ruang, ia sudah sampai di kelas paling pojok, paling belakang di pesantren itu. Ruang terakhir itu pun ia masuki. Seperti di ruangan yang sebelum-sebelumnya, sesekali ia menundukkan kepalanya untuk melihat isi laci-laci meja di situ. Kepo yang berlebihan. Sesekali ia menemukan ada buku tulis, botol air minum yang masih ada sedikit isinya, bahkan ada Al-Qur`an hingga puntung rokok. Tak ketinggalan pula sampah-sampahnya.
“Ternyata laci-laci meja di sini kotornya sama aja ya sama di sekolah pada umumya. Padahal di sini ada posternya, Innallaaha nazhiifun yuhibbunnazhoofah (Sesungguhnya Allah itu bersih, Ia menyukai kebersihan),” Aya tertawa kecil. “Mungkin karena kelas ini jarang ditempatin belajar. Sekalinya didatengin cuma buat nongkrong aja.”
Mata Aya beralih ke dinding di belakang pintu, didorongnya pintu itu untuk melihat lebih gambar sesuatu lebih jelas. Ternyata itu adalah gambar abstrak yang di tengahnya terdapat lettering berupa quote yang menurut Aya sangat menarik dan nyentuh banget, pikir Aya. Ia pun mengambil handphone dari saku rok katunnya untuk menangkap foto quote itu bersamanya. `Maka Allah adalah Pelindung Terbaik` adalah tulisan yang menemani senyumnya di dalam foto yang terpampang di layar handphonenya.
“Cantik, hihi,” Aya lalu mematikan handphonenya, menyimpan kembali ke saku.
“Hahaha!”
Dari luar terdengar suara beberapa laki-laki yang sepertinya sedang mengobrol sambil tertawa-tawa. Tak jelas mereka sedang membicarakan apa namun Aya yakin sumber kekehan itu tak jauh dari tempatnya berada.
Aya masih di tempatnya berdiri, mematung, bersembunyi di belakang pintu kelas. Berdoa, memohon perlindungan Allah agar ikhwan-ikhwan itu segera pergi. Minimal jangan masuk ke kelas itu sehingga memergoki seorang akhwat.
Bertanya-tanya dalam hati mengapa masih ada yang berkeluyuran, hatinya sendiri pun yang menjawab bahwa mungkin mereka adalah ikhwan-ikhwan yang suka membolos. Singkatnya, pemalas. Aya terus berharap agar khutbah segera berakhir sehingga ikhwan-ikhwan yang ia dengar itu segera lenyap. Hati gamangnya bertanya lagi, bagaimana bila mereka juga membolos untuk shalat Jumat? Lalu hatinya berbalas lagi bahwa mereka harus siap-siap dicukur habis kepalanya atau mungkin disuruh untuk membersihkan semua tempat di pesantren. Atau, jika bukan semua itu, hukuman mereka akan didapati di alam sana nanti.
Dua menit berlalu sejak Aya sadar telah terperangkap. Tak lama, hal yang tak diinginkannya terjadi. Langkah demi langkah terdengar mendekat. Malang sekali rasanya, ikhwan-ikhwan itu masuk dan duduk di bangku sambil terus mengobrol namun sepertinya tak ada yang tahu ada yang bersembunyi dibalik pintu. Aya tak dapat memastikan nasibnya ke depan. Yang ia pastikan hanyalah ikhwan-ikhwan itu jumlahnya tak kurang dari tiga orang yang langsung mendapat stereotip brandal dari Aya.
Khatib kedengarannya belum bertemu dengan penutup khutbahnya. Aya sudah keringat dingin sambil berusaha menahan tubuhnya untuk tidak bergerak sedikit pun. Bahkan berusaha agar nafasnya tak terdengar pun sepertinya sulit.
Pikiran dan perasaan Aya berkecamuk. Bukan karena `cinta` yang kata orang-orang selalu menggejolakkan, namun karena seperti ada bom yang akan meledak didekatnya atau jka mungkin ia belum pernah disambar kereta api Jepang, sekarang ia telah tahu rasanya.
Sempat terpikir oleh Aya untuk keluar saja dan memunculkan diri di hadapan ikhwan-ikhwan itu. Toh, kepala pesantrennya juga sebenarnya tidak melarang ia untuk dilihat. Hanya dilarang bercengkrama.
Keluar dari belakang pintu, senyum cengengesan, menyapa, “Eh, hai? Nggak ke masjid? Ehm, permisi, ya? Assalamu`alaikum,” lalu kabur terbirit-birit.
Begitulah sekiranya bayangan Aya jika seandainya ia berani. Namun, melakukan tak seenteng membayangkan.
Ikhwan-ikhwan itu terdengar berdiri dan mulai beranjak pergi. Aya tak bisa memperkirakan berapa lama mereka membuat jantungnya seperti teriris-iris dan lehernya seperti ditekan, namun yang pasti, Aya sudah lega karena orang yang ia anggap `syaitan` itu telah pergi.
Syalala...........
Nada dering handphone Aya mengusik. Aya bingung, matanya membelalak. Jika ia tetap diam dan mematung, maka suara handphonenya yang akan memanggil ikhwan-ikhwan itu kembali. Namun Jika ia mengambil dan mematikan handphonenya, berarti ia akan membuat pintu yang tepat di depan hidungnya bergerak dan ikhwan-ikhwan itu akan melihat, mendatangi, selanjutnya curiga perihal pintu yang bergerak. Bagaimana pun, handphonenya terlanjur berbunyi. Tak menutup kemungkinan gelombang deringnya berhasil ditangkap telinga ikhwan-ikhwan itu.
Aya memutuskan untuk mengambil dan mematikan handphonenya. Ia berharap tak ada seorang pun yang melihat pergerakan pintu itu. Bahkan semoga tak ada yang mendatanginya. Pokoknya jangan sampai ia ketahuan oleh siapa pun kecuali oleh guru atau pengurus pesantren, begitulah ocehan Aya dalam hati.
Ia berhasil menonaktifkan handphonenya. Kembali membungkam. Menurut perkiraannya, sudah dua menit berlalu sejak ia menonaktifkan handphonenya, rasanya tidak ada orang lagi diluar. Kesimpulan, ikhwan-ikhwan tadi tak mendengar suara itu, tak melihat pergerakan pintu itu, dan telah enyah dari lorong situ. Aya aman. Napasnya kembali lapang.
Aya mencoba berdiri pelan setelah lama berjongkok ditemani kepenuhcemasan. Belum berdiri sempurna, tiba-tiba ada tangan yang muncul dan menarik pintu itu sehingga mata orang itu bertemu dengan mata Aya. Aya hanya terdiam tetapi relungnya gaduh, begitu pun laki-laki berparas tinggi berbaju koko hitam di depannya.