FII AMANILLAH

Husnulispedia
Chapter #5

5) Papa Juga Jahat; Tersingkap

Makan malam lagi.

           “Anak-anak, kayaknya kita belum pulang malam ini. Papa masih ada urusan penting besok sama guru-guru lain.”

           Aya, Dini, dan Rinan hanya menanggapi dengan mengangguk kecil.

“Kalian nggak seneng?” kata Pak Fian lagi.

Aya dan Dini tidak enak mengatakan bahwa mereka memang tidak senang.

“Seneng, kok, Om! Lebih lama di sini, lebih bagus, kok, Om,” Rinan menyelamatkan. “Lagian, kalo aku di sini, seenggaknya aku nggak diomel-omelin terus sama mama aku, apalagi kalau masalah cuci piring.”

Semua yang mendengar Rinan, tertawa kecil.

“Aku, tuh, sebenarnya nggak apa-apa kalo disuruh cuci piring. Tapi, kan, di rumah, aku cuci piring sendirian karena mama gampang banget pegel abis masak. Kalo di sini, aku emang tetep disuruh nyuci piring, tapi ditemenin sama Dini atau Aya. Seringnya, sih, sama Dini. Aya males!”

“Aku, kan, juga capek abis masak!” Aya membela diri meskipun sebenarnya ia bosan untuk berbicara karena begitu banyak beban di kepalanya.

           “Hehe... Aya, ceritain, dong, gimana kamu bisa disu`udzonin sama bapak-bapak tadi. Lagian seharusnya kamu, tuh, ngizinin aku ikut sama kamu, jadinya, kan, kamu ada yang nemenin dan nggak akan dikira berduaan sama Ridho,” Rinan tak henti ngedumel.

Aya bingung harus bercerita bagaimana agar ia tak berbohong, pula tak memberitahukan kejadian yang sebenarnya. “Ehm, gini. Ehm, kayaknya penjelasan tadi sore udah cukup jelas. Aku pengen keluar waktu ikhwan-ikhwan lagi pada shalat Ashar. Nah, pas aku mau masuk lagi, ternyata udah selesai shalat Asharnya. So, banyak ikhwan yang bisa ngeliat aku kalau aku masuk. Aku sembunyi deh dibalik pagar tembok. Terus ada Ridho yang mau nolong aku. Dia ngebawa aku ke kebun kakao dan nemenin aku biar aku bisa masuk lewat belakang rumah. Eh, malah ada bapak-bapak yang su`udzon,” Aya lega ucapannya sama sekali tak ada kata bohong.

“Aya... Aya... siapa suruh kamu ngelarang aku nemenin kamu?” ledek Rinan. “Aku, kan, juga pengen nyari udara seger. Tapi kamunya ngelarang.”

“Soalnya, kalau aku keluar bareng kamu, yang ada, aku bakal direpotin sama kamu yang super cerewet. Kamunya juga, sih, yang terlalu nurut sama orang. Coba aja kamu Dini, meskipun aku ngelarang, kamu pasti tetep ikut aku, “ Aya `mulai` lagi.

Dini yang sedang mengisi empat buah gelas dengan air dari dispenser merasa tidak senang namanya disebut-sebut begitu oleh Aya.

“Ehm, sebenarnya kalian nggak perlu begitu khawatir kalau ketahuan oleh banyak ikhwan. Kalau mereka tau keberadaan kalian itu nggak masalah sama sekali. Toh, kalian nggak akan begitu diperhatikan dan diikuti sama mereka. Bahkan kerabat kepala pesantren ini pernah dateng ke sini berombongan dan ada beberapa akhwatnya, termasuk akhwat yang masih muda. Keberadaan mereka sangat terbuka untuk dilihat sama para ikhwan, tapi ya... akhwatnya nggak boleh terlalu bercengkrama dengan ikhwannya. Mereka juga keliling-keliling pesantren tanpa dilarang dan tanpa sembunyi-sembunyi. Cuma, untuk lebih mematuhi peraturan, Papa minta, kalian lebih baik tidak boleh diketahui keberadaannya oleh mereka. Maaf kalau Papa mungkin merepotkan kalian.”

“Papa...!” Aya menyipitkan mata ke papanya. “Ternyata nggak apa-apa, ya, kalau ikhwannya tau di pesantren mereka ada akhwatnya?! Aku udah dapat masalah gara-gara aturan papa yang sia-sia ini berarti!” Aya menekan suaranya.

“Iya, Aya. Tapi....”

“Kalo gitu seharusnya sedari dulu kita nggak perlu capek-ca....”

“Tapi, kan, Papa bicara sama kepala pesantren ini lewat telepon dulu setelah dipaksa-paksa sama kamu, beliau bilang, usahakan kalian tidak bergaul dan bercengkrama dengan ikhwan di sini. Lagian ada keringanan bahwa kalian masih boleh bertemu guru dan pegawainya,” Pak Fian menyikapi kekasaran Aya dengan tenang.

“Tapi itu bukan berarti mereka nggak boleh tau kalau kita dateng ke sini, kan?!” Aya menjerit.

“Iya, benar. Tapi...”

“Tapi Papa itu over protective! Papa ngebuat peraturan sendiri kalau kita nggak boleh diketahui sama ikhwan di sini sementara kepala pesantren cuma pesen biar kita nggak bergaul dan bicara sama mereka. Untuk jalan-jalan di sekitar taman wisata yang nggak begitu jauh dari rumah kita aja, Papa selalu ngelarang aku. Terus di sini aku juga dituntut Papa untuk bersikap layaknya angin!”

“Papa cuma mau kamu aman.”

“Papa takut apa, sih, Paaah? Kalau aku keluar pun... aku selalu sama Dini dan Rinan. Terus, di rumah kita di sana, aku juga selalu didatengin temen-temen aku buat jalan-jalan bareng tapi juga dilarang. Temen-temen aku orangnya baik-baik, kok. Aku kurang aman apa, Paaah?” Aya berdiri dari kursinya, marah di hadapan hamparan makanan yang tergeletak di atas meja.

Pak Fian masih mencoba bersikap tetap tenang, “Aya, kamu dengar, ya, Nak. Kamu...”

“Ooooh! Aku tau! Aku tau! Papa ini suka su`udzon, kan? Apa-apa bawaannya su`udzon terus, kan?!”

“Su`udzon?” desah Dini dan Rinan.

“Papa su`udzon kalau aku keluar bareng temen-temen aku, aku bakal maen yang nggak-nggak?!” Aya teriak-teriak. “Papa su`udzon kalau kebiasaan keluyuran, aku bakal jadi anak yang nggak baik?!” Aya merapikan rambut terurainya dengan kasar, “Papa su`udzon karena aku cantik, aku bakal kenapa-napa diluar sana?! Papa juga su`udzon kalau para ikhwan tau keberadaan aku, Dini, dan Rinan, kita bakalan dikerumunin mereka yang jarang liat akhwat, gitu?!! Kayak... kayak zombie yang ngeliat manusia, gitu?! Gitu, kan, Pah?! Pikiran Papa kayak gitu, kan?! Su`udzon itu dosa, loh, Pah!” Aya terengah-engah, entah karena lelah berteriak atau dadanya sesak menahan air mata. Mungkin karena keduanya.

Geram, Dini yang masih berdiri di dekat dispenser menyumpali mulut Aya yang masih ingin mengoceh kepada papanya. Air mata Aya terkucur sementara ia masih ingin berbicara namun ditahan oleh Dini.

“Papa... over protective, ya...?” Pak Fian bergumam pelan. Raut penyesalan ia tampakkan.

Aya melepaskan diri dari Dini dan beringsut ke kamarnya.

“Om?” Dini menatap pamannya itu dengan penuh kecemasan dan rasa tak enak yang ia wakilkan dari Aya.

“Nggak apa-apa, Dini. Oh, iya? Kamu... Piring kamu mana? Kamu belum menyajikan makanan untuk kamu sendiri?” tanya Pak Fian.

“Belum, Om. Ini baru mau ambil,” begitu pelan Dini berkata.

“Kamu ambil makanan Om aja kalau gitu. Tenang aja, Om belum makan sedikit pun, kok,” Pak Fian menyodorkan piring makannya sambil tersenyum kaku ke Dini yang masih berdiri di sampingnya. “Kamunya emang paling sibuk kalo soal menyiapkan makanan sampai kamu lambat ngambil makanan sendiri.”

Untuk menjaga kesopanan, Dini menerima piring Pak Fian, “Terus Om gimana?” tanya Dini dengan sisa-sisa ketegangannya barusan.

“Tolong kasih, Om, piring makannya Aya.”

Dini menuruti.

“Nah, kamu ambil aja piring makannya Om. Om makan sisanya Aya aja. Kalau misalnya Aya ternyata masih mau makan, dia bisa ngambil yang baru, kan. Tapi kalau dia udah nggak mau makan lagi, mubazir, dong, ini kalau nggak ada yang makan,” Pak Fian memulai untuk makan di mana sedari tadi ia tak jadi-jadinya makan. “Ayo kita makan.”

Dini pun duduk namun belum menyendokkan satu lauk pauk pun ke mulutnya. Ia masih memperhatikan Pak Fian yang sedang melahap makanan sisa Aya. Ia sadar bahwa setengah bagian dari sosok ayahnya memang masih berada di dalam diri Pak Fian yang merupakan adik dari ayah Dini, tulang punggungnya yang sudah tutup usia saat Dini masih kelas 5 SD itu.

Ia mengenang, saat ayahnya masih ada, ayahnya selalu memakan makanan sisanya juga jika tak mampu atau tak mau ia habiskan. Bahkan saat kecil dulu, ia juga pernah meninggalkan makanannya karena marah tak dibelikan mainan kesukaanny, lalu ayahnya memakan sisanya. Tak suka marah padanya pula, selayaknya Pak Fian yang begitu baik pada Aya. Biasanya, justru ayahlah tempat menenangkan hati, juga tempat menyelamatkan diri jika sang mama sedang marah. Dini tersenyum, disela matanya berbinar oleh air mata.

***

Basahlah bantal guling yang dipeluk Aya akibat pancuran air matanya. Suaranya teredam di dalam bantal.

“Peraturan yang ternyata cuman buatan papa itu kayak udah ngasih aku kiamat. Karena peraturannya itu, aku harus capek-capek lari dan sembunyi dari ikhwan-ikhwan. Bahkan aku tadi siang serasa ngalamin pembantaian. Digangguin cowok-cowok bandel sampe digertak-gertak, jalan kaki ke ATM ketemu orang-orang aneh, ngantri lama banget, ternyata lupa bawa kartu ATM, jalan kaki dua kali lipat karena angkot kelewatan, nggak bisa masuk ke pesantren, disangka yang nggak-nggak sama bapak-bapak, dan kemarin... berantem sama Dini. Kesel sekesel-keselnya!”

***

Beberapa ikhwan sudah bermain dalam mimpi, namun Ridho masih berkeliling dalam khayal. Memeluk lutut sambil bersandar pada bantal yang disandarkan lagi di tembok. Abi yang terbaring di samping Ridho melihat Ridho sendiri belum tidur.

“Heh? Kau kenapa belum tidur?” tanya Abi.

“Belum mengantuk.”

“Sepedanya Pak Herwin sudah kembali, belum?”

“Belum sudah.”

“Belum sudah? Bah, bahasa dari kampung kau itu aneh sekali.”

“Nda. Itu kata-katanya teman SMPku dulu, kalau pekerjaannya belum selesai, dia suka bilang begitu,” Ridho sedikit terkikik mengingat kelucuan teman lamannya di kampung.

“Hahaha,” Abi menganggap itu juga lucu. “Jadi, Pak Herwin bagaimana?”

“Saya bilang kalau sepedanya diambil Karim.”

“Ridho, menurut aku, biarpun Karim suka berulah ke kau, bukan berarti kau harus berprasangka terus kalau Karim yang curi barang-barang kau.”

Ridho pun sadar bahwa ia memang sudah terlalu berlebihan dalam berprasangka.

“Kan, nda mungkin bapak-bapak itu...” Ridho keceplosan.

“Bapak-bapak?”

“Ya.... saya rasa, nda mungkin bapak-bapak yang punya kebun di belakang pesantren yang ambil, kan?”

***

Fajar terlukis di langit yang keunguan, berbondong-bondong para warga pesantren menuju ke masjid. Tak ketinggalan, tiga akhwat sepupu sekawan itu menimpakan air yang kata Aya adalah belaiannya Allah pada tangan, wajah, kepala, dan kaki mereka.

Mengapa Aya tak pergi ke kelas itu seperti yang diminta Karim? Aya tak mau. Selain itu, tentu di sana sangat gelap. Ya, telah berhasil ditemukan pemecahan masalah yang Aya buat sendiri setelah berpikir panjang hingga ia baru bisa tertidur dua jam kemudian sejak ia menangis karena papanya.

“Ngapain aku ngasih mereka uang aku? Biar mereka nggak ngaduin aku ke kepala pesantren? Terus, kepala pesantrennya bakal marah kalau dia tau aku ketemu sama siswa-siswanya? Papa bilang, kan, itu nggak apa-apa. Jadi, aku aman, dong? Kalau mereka ngadu, nggak akan masalah kepala pesantrennya.”

***

Aya, Dini, dan Rinan berjalan-jalan di bawah matahari pagi dengan bersenandung, melihat banyak keindahan. Seseorang dari jauh tampak mengendarai sepeda motor di jalan raya. Tiba-tiba ia belok ke tepi jalan yang tidak seharusnya dilewati kendaraan, mengemudikan motornya lurus di depan Aya. Orang itu semakin dekat dan dekat. Ternyata itu Karim. Si wajah garang. Kelajuan makin dipercepat hingga Aya terpental karena ditabraknya.

Aya membuka mata sementara badannya miring ke kanan. Cahaya putih muncul. Kepala, lehernya, bahu, pinggang, dan kakinya merintih, mengamuk karena dibentur-benturkan. Tak akan nyaman bila memilih bertahan hidup. Ini mungkin yang dinamakan akhir(at).

“Bangun! Aya! Bangun!” Rinan berteriak sehabis membuka tirai jendela kamar Aya. “Udah pagi!”

“Biasa aja kali,” Aya membangkit tubuh yang terbungkus mukena jingga.

“Yeee, kamu juga suka teriak gitu ke aku,” Rinan menghempaskan badan ke kasur sehingga Aya merasa terganggu sebab Rinan berbaring di sampingnya.

“Mata kamu masih bengkak, iiih!” ledek Rinan.

“Aah, udah... udah... udah... sana,” Aya mendorong lengan Rinan.

Rinan membangunkan tubuhnya, serasa berat, mungkin lemaknya meningkat. “Huu... Bengkak!” Rinan mengejek lagi.

“Om Fian!!!” Dini terkejut melihat Pak Fian pingsan dan dibopong oleh empat orang ikhwan yang masuk ke rumah mereka. Dengan langsung memasang jilbabnya, Dini mengantar mereka ke kamar Pak Fian. Bersembunyi bukan waktunya sekarang.

Aya dan Rinan keluar bersama dari kamar, mendatangi Pak Fian yang sudah dibaringkan di kasur dan para ikhwan berdiri di sampingnya. Aya masih dengan mukenanya. Rinan memasang begitu saja pashminanya, rambut masih terberai-berai.

“Kok, ada bidadari di sini?” ucap Abi dengan pertanyaan konyol namun serius.

Aya, Dini, dan Rinan mengabaikan Abi.

“Minyak gosoknya, ada?” Ridho duduk di samping kaki Pak Fian yang lebam.

Dini mengambil minyak gosok di atas lemari Pak Fian dan memberikannya pada Ridho. Basmalah dalam hati, Ridho mengoleskannya pada kaki Pak Fian yang juga pernah melakukan hal yang sama padanya.

Semua orang terdiam. Ridho sibuk mengurut kaki Pak Fian; Aya, Dini, dan Rinan duduk melutut di samping kasur, mencemasi Pak Fian; tiga teman Ridho berdiri tercengang melihat tiga akhwat di depan mereka.

“Kenapa bisa begini?” tanya Aya. Sebagai anak, ia sangat sedih. Terlebih baru semalam ia telah bersikap buruk.

“Ehm...” kata Ridho terpotong oleh temannya.

“Tadi kami ngecat dinding luar ruang guru,” tukas Abi. “Pak Fian mau mengecat bagian atas. Pas dia udah naik agak tinggi tangga bambu, pijakannya patah.

Mata Aya, Dini, dan Rinan tampak berkaca-kaca. Aya membuka peci dari kepala papanya, mengelus-elusnya.

“Udah saya olesin kaki Bapak. In syaa Allah minyak gosoknya manjur,” Ridho mengakhiri pekerjaannya sambil tersenyum.

Pak Fian membalas senyum Ridho. Wajahnya masih berseri-seri saja padahal kedua kakinya itu tak tanggung-tanggung sakitnya.

“Teman-teman, ayo pergi. Assalamu`alaikum,” ajak Ridho.

“Assalamu`alaikum,” salam serentak Abi, Indra, dan Ahmed dengan senyum yang sok dimanis-maniskan.

***

“Ridho! Heran aku! Dari mana datangnya tiga bidadari itu? Apa jangan-jangan, Allah menurunkan mereka khusus untuk Pak Fian pas Pak Fian kecelakaan?” kata Abi yang diapit oleh Indra dan Ahmed sedangkan Ridho berjalan di belakang Indra.”Rasanya aku juga mau kecelakaan kalau ngeliat mereka tadi.”

“Abi, mereka itu bidadari yang selama ini kau kira hantu,” kata Ridho.

“Bah! Kacau aku? Masa cantik-cantik begitu aku bilang hantu?!” Abi menepuk lengan Ahmed.

“Heh, yang kacau kamu, kok, yang dipukul lenganku?” Ahmed tak terima.

“Oh, jadi itu sosok hantu yang sering lo ceritain, Abi?” tanya Indra. “Eh, dari mana lo tau tentang mereka, Dho... eh, Ridho?”

“Iya, diantara kita semua, tadi cuma kamu juga yang nggak kaget sama akhwat-akhwat itu,” tambah Ahmed.

Ridho tertegun, “Pak Fian yang kasih tau.”

“Kapan Pak Fian kasih tau kau?” Abi merasa ketinggalan. “Nggak adil!”

“Beberapa hari lalu,” jawab Ridho pelan.

“Hah?! Udah lama?” kata Indra.

“Ehm...” Ridho ragu.

“Ayolah, buddy (kawan). Cerita sama kita.”

Agar tak ada yang mendengar, kamar asrama mereka adalah setepat-tepatnya tempat.

“Pertama kali saya lihat mereka, waktu hari Senin, pas saya dan Abi dari WC di dekat lorong. Mereka main pimpong. Saya sendiri melihat mereka tapi Abi nda mau lihat, dia kiranya itu hantu. Keesokannya, kalian tau kenapa saya tiba-tiba bilang kalau Pak Fian panggil kita?”

“Yang waktu kita mau berkebun di dekat lapangan memanah?” Ahmed menebak.

“Iya. Itu karena saya mau kasih kesempatan pada ketiga akhwat itu untuk sembunyi,” jawab Ridho.

“Ridho... Ridho... Lo sampe rela boong demi mereka?” Indra menggeleng.

“Bahh! Aku bahkan rela mati kalau demi mereka,” seloroh Abi.

“Uuuuuh!!” Ahmed dan Indra memitak kepala Abi.

“Eh, tunggu teman-teman! Satu hal yang harus kalian tau. Sudah lima hari mereka di sini tanpa diketahui sama ikhwan-ikhwan bukan karena kebetulan, tapi Pak Fian yang larang mereka untuk memunculkan diri di depan kita. Jadi, karena kalian sudah lihat mereka, jangan sebarkan hal ini, nah,” kata Ridho.

“Sippp!”

“Tapi, mereka itu siapanya Pak Fian?” tanya Ahmed.

“Yang pertama kita lihat itu Dini dan yang jilbabnya dipasang begitu saja namanya Rinan. Mereka berdua keponakan Pak Fian.”

“Wih, yang namanya Rinan itu buat aku, ya! Imut! Rinan... Indra...” Indra bernada puitis saat menyebut namanya dan Rinan yang hampir seirama.

Ahmed dan Abi mendorong bahu Indra yang begitu ngarep. Ridho hanya tertawa melihat teman-temannya.

“Yang pakai mukena itu anaknya Pak Fian, Aya,” sambung Ridho.

“Bagianku, tuh! Aya,” sorak Ahmed.

“Heh, itu buat aku! Aya!” Abi menegur keras Ahmed.

“Hehh! Ya sudah. Kalau gitu, buat saya, Dini aja, deh. Dia keliatannya paling berwibawa,” Ahmed mengalah.

“Iya, ambil aja Dini. Humm, Aya... Harusnya namanya itu Ibu. Aku yang jadi Aya (maksudnya `ayah`),” Abi terpingkal-pingkal dalam khayalnya.

Ridho berkata dalam hati, “Awas kau Abi.”

***

Tinggal Aya yang menemani Pak Fian. Wajahnya tak henti murung. “Ngeliat Papa kayak gini, aku sedih banget, loh, Pah. Tapi aku kesel banget karena peraturan Papa itu udah menghasilkan bwaaaanyak banget hal yang nggak aku mau. Coba aja dari awal Papa nggak ngelarang aku buat dilihat sama ikhwan-ikhwan di sini, pasti aku nggak akan terjebak sama dapet ancaman orang yang namanya Karim itu, jalan kaki jauh banget, panas-panasan, sampe inilah itulah segala macem. Yang pasti, karena Papalah aku kena banyak banget masalah kemarin,” gerutu Aya pada papanya yang pingsan.

“Banyak masalah? Masalah apa?” Pak Fian tiba-tiba terbangun.

Aya khawatir jika papanya mendengar semua. Namun ia patut bertenang diri. Pak Fian hanya mendengar kalimat terakhir dari gerutuannya tadi.

“Nggak. Papa istirahat aja,” Aya berdiri, hendak meninggalkan papanya.

“Aya,” Pak Fian Aya memanggil, “Maaf kalau Papa udah buat kamu menderita. Maaf kalau papa over sama kamu.”

Aya mematung di ambang pintu.

“Iya... Papa selalu berpikiran buruk tentang apa saja yang bisa kamu alami. Papa selalu merasa was-was kalau kamu keluar rumah. Papa... Papa memang tukang su`udzon sesuai dengan yang kamu bilang semalem. Papa takut kamu kenapa-napa di luar sana. Papa takut kamu menjadi orang yang nggak baik atau bertemu orang yang nggak baik, apalagi kalau laki-laki. Bahkan Papa takut kamu sendiri menjadi wanita yang kurang baik. Papa nggak mau kamu ketemu dengan orang yang sama seperti Papa dulu. Papa juga nggak mau kamu menjadi wanita seperti yang pernah Papa temui dulu. Pada akhirnya semuanya rusak.”

Mata Aya terbelalak dengan pernyataan ganjil papanya.

“Apa maksud Papa?” Aya kembali duduk di samping papanya. Aya tak yakin papanya pernah berbuat hal yang tidak-tidak.

“Kamu tau, nggak? Papa dulu pernah shalat tauba nasuha. Tapi, Papa kayaknya hanya taubat dari perbuatan yang itu karena perbuatan dosa lain masih sering Papa lakukan.”

“Aku nggak percaya kalau papa....”

“Papa waktu muda bukan orang yang baik, Nak. Berandalan. Bukan orang yang religius. Bahkan shalat Papa nggak pernah bolong lagi, ya, baru sejak Papa jadi guru karena Papa udah malu banget sama Allah. Dikasih banyak rezeki dan pekerjaan yang bagus. Terlebih Papa dipindahkan ke tempat yang penuh inayah ini. Mungkin atasan Papa yang memindahkan Papa ke sini, tapi sebenarnya, Allah yang memindahkan Papa. Selain lebih rajin shalat terlebih shalat sunnah, Papa juga lebih sering dengar ceramah akhirnya,” Pak Fian tersenyum kecil.

Aya terhenyak.

“Papa nggak pernah ngasih tau kamu apa alasan spesifik yang membuat papa selalu ngelarang kamu sedari kecil untuk rajin keluar rumah karena papa rasa alasannya terlalu sensitif.”

Aya memeluk papanya yang terus berbaring. “Maafin aku, Pah. Aku tau kalau semenyebalkan apapun orang tua itu, anaknya tetep nggak boleh bicara kasar sama mereka. Aku udah berdosa besar, kan, Pah?”

“Semua orang nggak luput dari dosa, tapi nggak semua orang ingat dan mau untuk beristighfar, memohon ampun sama Allah,” Pak Fian menggapai kepala putrinya.

***

Masih pagi, pukul sembilan. Karim dan teman-temannya nongkrong di tangga asrama.

“Gue bingung, kenapa cewek itu nggak dateng-dateng, ya? Padahal, kan jalanan pasti udah sepi, semua orang udah pada di masjid. Kita juga udah nunggu dia sampe iqamah,” Karim kesal.

“Kalo gitu, lo aduin aja dia sekarang ke Pak Kyai terus kasih tau juga ke anak-anak tentang dia sama temen-temennya itu,” imbuh teman segeng Karim.

“Heh, lo kira Pak Kyai bakal marah, gitu? Bakal mecat Pak Fian gitu? Nama Pak Fian bakal rusak? Ya nggaklah. Kalian sendiri tau, kan, kalo Pak Kyai nggak segitunya,” gumam Karim, tak kalah keras dari sebelumnya.

“Iya. Terus kenapa lo ngancem tuh cewek kayak gitu? Udah tau Pak Kyai nggak buat peraturan kayak gitu.”

“Pertama kali gue nyadar kalo Pak Fian bawa cewek ke pesantren ini, itu waktu kalian udah pada ke masjid buat shalat Ashar. Gue ngeliat Pak Fian ngebawa mobilnya dari tempat parkir ke depan rumahnya. Terus ada tiga cewek yang masuk ngendap-ngendap ke mobil. Abis itu, Pak Fian turun dan dari mobil dan pergi ke masjid tapi dia ngomong bentar ke ketiga cewek itu dari samping mobil. Gue pun yakin kalau mereka emang sengaja dateng ke sini kita tapi nggak mau ketahuan sama orang-orang pesantren,” urai Karim.

           “Oooh, ternyata lo udah tau semua itu udah lama?” tanya teman Karim lainnya.

Karim mengangguk.

“Eh!” seorang teman Karim datang. “Kalian tau, nggak, kalau Pak Fian abis jatuh dari tangga bambu?”

“Oh, Pak Fian yang kena? Keren banget, tuh!” Karim tersenyum. Satu sisi bibirnya lebih tinggi.

“Maksud lo?” teman yang baru datang itu bertanya.

           “Lo ketinggalan, sih? Tadi kita abis ke belakang ngeretak-retakin tangga bambu soalnya tadi kita denger anak-anak kelas 11 mau ngecat dinding,” Karim memaksudkan Ridho dan teman-temannya.

Tiba-tiba Ridho datang dari lantai dua dengan santainya dan berhenti di pijakan keempat tangga asrama karena melihat Karim dan teman segengnya duduk memadati. Karim mendongak melihat Ridho dan langsung berpikir bahwa Ridho telah menguping pembicaraannya.

“Mau ngapain lo?” Karim berdiri.

Ridho sebenarnya ingin menjawab bahwa ia hanya ingin lewat, “Mana sepedanya Pak Herwin?”

“Ih? Nda ada sama saya...” Karim berlogat Makassar, menirunya dari Ridho dengan maksud mengejek.

“Iya, saya tau sepedanya tidak sama kau, tapi pasti kau sembunyikan.”

“Emang gue nggak ngambil, kok!”

“Saya tau kau tidak ambil, tapi kalau sudah bosan kau sembunyikan, kembalikan ke yang punya, ya.”

Karim berjalan menaiki tangga, mendekati Ridho, “Gue tau banget sebenarnya lo nggak mau nanyain hal kayak gitu. Lo nggak suka nanyain apapun yang gue usilin ke elo. Lo barusan denger, kan, kalo kita ngomongin soal tangga bambu yang abis kita rusak biar yang make nanti jatoh?”

“Nda. Saya nggak denger apapun. Saya baru tau soal itu saat kau bilang langsung barusan,” begitu datarnya Ridho bertutur.

Karim merasa menyesal mengatakan hal itu, “Oh, gitu?”

“Iya. Sepedanya Pak Herwin, ingat, ya?” Ridho pun menuruni tangga karena sudah ada ruang untuknya lewat.

Karim turun dari tangga, mengikuti Ridho, mengepalkan lalu melemparkan tangannya itu ke bahu Ridho dari belakang. Ridho berbalik, menangkisnya sehingga tangan mereka berdua bersilangan.

“Insting lo masih bagus, juga, ya, meskipun udah lama nggak gue coba lagi?” Karim melepaskan pegangan Ridho.

“Kau sendiri, tumben, nda nerusin?” kata Ridho.

Karim tak menjawab, berbalik ke tempat duduknya di tangga.

Lihat selengkapnya