Usai Ridho mengikuti kajian di Ahad pagi itu, Aya, Dini, dan Rinan bersiap-siap dan menunggu Ridho mengambil mobil Pak Fian di parkiran. Sebelum itu, mereka ke kamar Pak Fian dahulu.
“Kita berangkat dulu, ya, Pah!”
Aya, Dini, dan Rinan menyalimi dan mencium tangan Pak Fian.
“Iya. Ingat, ya, kalian jangan banyak tingkah. Belajar untuk lindungi diri sendiri meskipun kalian terus bersama Ridho yang juga jago silat. Set..set..set..!” Pak Fian menggerakkan tangan layaknya pesilat dan membuat Aya, Dini, dan Rinan tertawa. “Dia akan melindungi kalian. Bukan hanya itu, hijab kalian juga akan selalu menjaga... Tetap dengan hijabnya, ya.”
Aya, Dini, dan Rinan yang bukan merupakan hijabers, terhenyak. Entahlah, seperti ada tamparan di hati mereka.
“Assalamu`alaikum, Pah.”
“Assalamu`alaikum, Om.”
“Wa`alaikum salam warohmatullaahi wabarokaatuh. Fii amanillah, ya,” Pak Fian mengingat sebuah kalimat harian bahasa Arab sebagai pengganti kalimat `hati-hati, ya` dalam bahasa Indonesia.
Tiga akhwat masuk dengan santainya ke mobil. Tak lagi perlu mengendap-endap dan memang tidak begitu banyak ikhwan yang kemungkinan dapat melihat mereka karena tempat nongkrong-nongkrongnya juga jauh dari rumah Pak Fian.
“Loh, kok....?” Rinan terkejut melihat ada ikhwan selain Ridho di mobil mereka.
“Assalamu`alaikum, ukhti...” Abi menyatukan kedua telapak tangannya.
“Wa`alaikum salam...”
“Kalian jangan kaget, ya. Serem-serem begini, dia orangnya baik, kok.” kata Ridho sambil memegang setir.
“Mukanya nggak serem, kok. Cuman kaget aja, tiba-tiba ada orang lain,” kata Dini.
“Iya. Abi ini maksa buat ikut, mau jalan-jalan meskipun tanpa bawa uang. Tapi sayangnya di berharap untuk ditraktir kalian. Kalian harus tau, Abi ini orang gilanya tanah Batak. Itu sebabnya dia sekolah di luar Sumatra,” Ridho memperkenalkan Abi dengan cara yang menjengkelkan Abi. “Diusir.”
“Heh! Berarti kau orang buangannya Makassar, kan? Jadinya kau pergi dari kampung kau!” Abi membalas Ridho.
“Nda! Saya ke sini karena mau merantau. Nenek moyang saya, kan, juga perantau. Kapal Pinisi yang terkenal di dunia itu adalah buktinya,” pinta Ridho.
“Heh!” desah Abi. Tak bisa menyangkali Ridho.
“Wih, keren, tuh, Dho. Ehm, Abi orang Batak, ya?” Dini tersenyum, “Horas!”
“Horas!” Aya dan Rinan ikut.
“Horas! Horas!” Abi senang karena merasa diterima. “Eh, Ridho! Dengar ukhti-ukhti ini. Mereka senang sekali sama aku. Tau pula sapaan daerahku.”
“Ternyata Ridho orang Makassar. Kalau Makassar aku taunya cuma sebutan `Kota Daeng`. Iya, nggak, sih?” tanya Aya.
Ridho mengangguk saja. Dini dan Rinan juga.
***
Di bazar, mereka tampak begitu senang. Ramai, namun rasanya menggelikan seperti keramaian ikhwan di rumah Pak Fian. Begitulah yang dirasakan Aya, Dini, dan Rinan. Mereka menyusuri alun-alun sementara Ridho dan Abi berjalan di belakang seolah-olah mereka adalah bodyguard, tepatnya bodyguard cuma-cuma.
Jika laki-laki dan perempuan berjalan bersama, tentu dipikiran sebagian orang adalah mereka berpacaran. Begitulah yang dipikirkan oleh beberapa pengunjung alun-alun lain kala melihat mereka berlima. Ridho sendiri yakin pasti ada orang yang berkata-kata atau mengomentarinya bersama tiga orang akhwat meskipun ia tak mendengarnya langsung. Tetapi naluri mendengarnya.
“Ya Allah... cakep-cakep banget, dah, tuh lima orang... perawatannya air wudhu atau apa, ya?” decak kagum seorang wanita berhijab.
“Liat, deh! Perempuannya berjilbab, laki-lakinya pake baju koko dan peci, tapi mereka jalan-jalan bareng,” cibir seorang wanita lainnya.
“Ih, nggak malu sama jilbab, tuh, cewek,” cemooh wanita remaja dengan rambut coklat terurai.
“Ceweknya 3, cowoknya 2. Wah, pasti ceweknya ada yang jomblo,” dengus seorang laki-laki.
“Sok-sok jaga jarak, tuh, cowok yang dibelakang, padahal aslinya pasti....” kata laki-laki yang lain.
“Dasar, anak-anak jaman sekarang, iih, ya ampuuun...” yang berkata seperti ini pastilah ibu-ibu arisan yang rempong.
Ridho dan Abi sebenarnya sadar bahwa ikhwan dan akhwat itu lebih baik untuk tidak bersama-sama (ikhtilat) dalam waktu yang begitu lama, untuk menghindari fitnah maupun yang lain-lain. Namun, apa mau dikata, anak pesantren pun terkadang mengabaikan aturan agama. Tetapi Ridho dan Abi tetap menjalankan keharusan yaitu, yaa, menjaga jarak. Mereka hanya harus memandu dan menemani akhwat-akhwat itu hingga bosan dan sudah ingin pulang. Waktu yang diizinkan Pak Fian pun tak lebih dari dua jam.
Sementara Aya, Dini, dan Rinan tidak pernah mempermasalahkan jika mereka berkumpul dengan lawan jenis mereka. Hal itu biasa di sekolah dan lingkungan mereka.
Seperti biasa, mereka membeli berbagai jajanan dan bermain wahana, namun itu hanya Aya, Dini, dan Rinan. Tak lama, Aya merasa ingin buang air kecil. Setelah diberitahu letak toilet umum, Aya segera pergi ke sana.
“Kalian tetep di sini, ya. Nanti aku bisa ilang, loh,” ujar Aya.
Usai dari toilet umum yang ia kagumi kebersihannya, seseorang tiba-tiba menghadang. Tempat Dini dan yang lainnya menunggu masih jauh, jadi tak ada yang melihat Aya saat itu.
Mereka berdua berpisah ke arah yang berlawanan. Aya kembali ke teman-temannya yang pasti menunggu lama dan Karim sepertinya akan pulang pesantren karena ia berjalan menuju ke sebuah motor dan menyalakannya.
Dalam hati, Aya berusaha untuk menegarkan dirinya dan bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Selama di pasar itu, ia harus lupa akan semua masalahnya karena memang itulah tujuannya berlibur. Ia pun harus tetap ceria dan semangat di depan semuanya.
“Kamu, kok, lama banget, sih?” kata Rinan yang bosan menunggu dengan sebungkus kue ditangannya.