Di mobil itu, Aya dan Rinan sibuk mengobrol, sesekali berbicara juga dengan Abi, namun tak memerdulikan Dini. Dini pun tak pernah menyahut dan memilih untuk bertatapan dengan bayangannya di jendela mobil sambil memeluk kantong plastiknya. Sesekali Abi menoleh ke Dini. Ingin rasanya menegur ketidaksemangatan Dini.
Belum tiba di depan gerbang pesantren, mereka berlima melihat dari jendela mobil, sekitaran rumah Pak Fian sedang sangat ramai. Entah apa yang sedang dilakukan para ikhwan di sana. Ridho tak pernah membayangkan akan banyak orang yang melihatnya semobil dengan ketiga akhwat itu. Ridho pasti akan merasa tak enak dan malu. Abi pun begitu. Mereka berdua harus siap mental menerima ujaran dalam bentuk apapun dari ikhwan-ikhwan itu. Para guru sendiri tak mempermasalahkan hal itu karena Pak Fian sudah memberitahu mereka bahwa Ridho memang ditugaskannya untuk menjadi penjaga.
Tak dapat dielakkan, para ikhwan yang berada di sekitar rumah Pak Fian melihat Ridho habis jalan dengan tiga orang akhwat. Mereka terus melihat-lihati Ridho yang tenyata juga bersama Abi hingga berseringai melihat hal itu. Ridho dan Abi paham arti tatapan dan gerakan bibir-bibir itu. Ada yang saling berbisik dengan temannya maupun berkata-kata dalam hati.
“Berani-beraninya dia bawa akhwat jalan bareng.”
“Ngerusak citra banget tuh si Ridho sama Abi.”
“Nyari muka atau apa sih, tuh orang?”
“Dasar, nggak tau malu.”
“Dosa, lu!”
Aya, Dini, dan Rinan pula risih. Sementara itu, ternyata bukan hanya di depan rumah yang ramai, di dalam rumah penuh oleh para guru dengan wajah yang berat. Mereka pun turun dari mobil, berlari ke rumah, melihati satu per satu orang yang berdiri dan duduk di sana, melempar kantong plastiknya ke lantai, lalu bergegas ke kamar Pak Fian. Yang mereka dapati di kamar itu adalah tiga orang rekan Pak Fian dengan wajah yang sama dengan orang-orang di luar tadi.
Langit-langit kamar berlubang besar, retakan plafon berserakan di kasur, setitik bercak darah terlihat melekat pada bantal, sebuah peci tergeletak di lantai di sisi lemari. Mereka bertiga lalu keluar dari kamar, berjalan lambat masuk ke dapur. Penasaran mengapa ada yang aneh di dapur yang tepat bersampingan dengan kamar Pak Fian. Dapur berantakan, ada bekas sambaran api berupa warna-warna hitam di lantai dan di dinding. Plafon yang berada diantara dapur dan kamar Pak Fian juga rusak. Itulah yang menyebabkan plafon di kamar jatuh. Di lantai bukan hanya ada retakan plafon. Ada beberapa perabotan seperti piring, panci, dan ada besi-besi hijau yang merupakan sisa meleduknya tabung gas.
Tak terbendung lagi. Menangis. Aya menangis. Dini dan Rinan pun. Lalu di mana Pak Fian? Oh, tentu dia dipindahkan ke kamar Aya atau kamar Dini. Bersamaan mereka masuk ke kamar Aya. Tiada. Berarti di kamar Dini. Setelah pintu kamar itu dibuka, Aya, Dini, dan Rinan tanpa janjian menarik napas panjang. Melihat kenyataan bahwa Pak Fian tak ada di seluruh bagians rumah, mereka bertanya lewat mata kepada orang-orang yang berada di ruang tamu. Beliau ada di rumah sakit. Mereka pun segera meminta untuk diantar ke sana.
Salah seorang rekan guru Pak Fian, Pak Ardi mengajukan diri untuk mengantar menggunakan mobil Pak Fian. Seorang guru lagi ingin ikut. Ridho sudah turun dari mobil. Kunci pun diminta darinya.
Menyebalkan! Mobil tampaknya harus diisi bensin dulu. Dengan begitu pasrah, mereka menunggu sekitar tiga menit hingga si penjual bensin memberikan kembalian delapan puluh ribu rupiah.
***
“Abis main di bazar, dia,” seringai Karim. Sengaja ia perbesar volume suaranya. “Enak-enak terus kayaknya dia ama anaknya Pak Fian. Nggak tau malu!”
Ridho dan Abi yang baru saja datang ke teras hanya terdiam mendengarkan cemooh dari berbagai arah, terutama dari Karim.
“Sekarang kalian mau apa?! Rasanya, tuh, gue yang ilang muka ngeliat perilaku kalian. Apalagi sama lo!” Karim menunjuk Ridho.
“Eh, Ridho selama ini cuma menjalankan amanah Pak Fian! Ridho diminta untuk menjaga mereka!” Abi membela Ridho dengan menggertak.
“Oooh, gitu? Terus elo? Elo ngapain ikut sama Ridho? Lo disuruh juga, he?! Atau lo sendiri yang pengen ikut biar lo bisa...”
Belum selesai ucapan Karim, sebuah tonjokan tiba di pipi kirinya dan membuatnya hampir terjungkai ke belakang. Abi sudah geram dengan sikap Karim padanya dan teman-temannya sedari dulu, terlebih pada Ridho. Sehabis menonjok Karim, Ridho menahan bahu Abi agar tak berlaku konyol lagi. Karim menegakkan tubuhnya yang bungkuk sehabis dipukul lalu melemparkan tinju pula Abi. Ridho langsung menarik Abi ke samping sehingga Ridholah yang terkena pukulan di bahu hingga terjatuh ke lantai. Ikhwan lain pun menahan Karim.
Suasana depan rumah menjadi riuh. Para guru yang tengah berduka langsung mendatangi teras dan menanyakan apa yang terjadi. Guru-guru itu pun melihat Ridho sedang tergeletak di lantai lalu salah satunya membantunya bangkit. Pak Dani, menjadi marah. Alih-alih hanya kepada yang bertengkar tadi, semua ikhwan tampaknya terciprat amarah. Orang-orang sedang berduka tetapi mereka malah ribut-ribut, sembur guru yang paling tegas itu.
Suasana senyap kembali. Karim duduk di lantai teras dengan teman-temannya. Sebagian yang lain ada yang berdiri dan bersandar di dinding. Ridho, Abi, Indra, dan Ahmed duduk jauh dari semua. Beralaskan sandal jepit, mereka duduk di lapangan yang beratapkan gugusan awan siang.
Abi melihati Ridho sesekali memegangi bahunya yang habis dipukul oleh Karim, “Bahu kau sakit sekali, ya?”
“Nda. Nda apa-apa,” begitu murung suaranya.
“Gara-gara aku, ini! Seandainya aku nggak mukul si Karimurrojim itu, kau juga tidak akan kena damprat.”
“Nda usah mengandai-andai. Semua sudah terlanjur,” ucap Ridho.
“Kalau begitu, berarti aku terlanjur salah,” Abi terus mencela diri.
“Memangnya apa yang terjadi?” tanya Ridho.
“Ada suara ledakan. Ternyata tabung gas di rumah Pak Fian meleduk. Semua lari ke sana. Kita nggak tau gimana kronologinya, jadi kita tanya-tanya Pak Luki yang katanya lagi nemenin Pak Fian waktu kalian pergi. Pak Luki sebenarnya lagi shock banget tapi dia akhirnya bisa cerita. Dia bilang, dia lagi masak air panas buat bikin teh untuk dia dan Pak Fian. Sambil nunggu airnya mateng, Pak Luki ke kamar Pak Fian. Nah, kecium, deh, tuh, aroma-aroma gas, belum sempet ke dapur buat ngecek, tau-tau meleduk! Plafon dapur ambruk dan plafon yang tepat di atas Pak Fian juga ikut jatoh kena kepalanya Fian. Pak Luki pun minggirin plafon itu dari kepala Pak Fian yang udah berdarah dan beberapa guru lain dateng. Ada yang bantu nyirem api di dapur dan ada yang bantu ngangkat Pak Fian ke mobil untuk dibawa ke rumah sakit,” jelas Indra, teramat pilu.
Ridho dan Abi beristighfar dengan suara kecil dan merasa bersalah karena telah pergi berjalan-jalan sementara ternyata ada musibah di pesantren mereka.
“Kalian tau kenapa Pak Fian dibawa ke rumah sakit?” kata Ahmed.
“Karena kepalanya?” kata Abi.
“Bukan. Kepalanya nggak begitu luka, kok. Kita bisa perbanin sendiri kalau kita mau,” kata Ahmed.
“Kakinya?” Abi menebak lagi.
“Bukan juga,” ujar Indra.
“Beliau kena serangan jantung,” imbuh Ahmed, ia hampir menangis.
“Astaghfirullaah!” Ridho dan Abi mengusap wajah lalu kepalanya, begitu terkejutnya mereka.
“Kita yang masih siswanya aja, perih banget dengernya. Apalagi akhwat-akhwat itu.” Indra mendongak melihat gumpalan putih nan megah terhembus angin. “Mereka ke sini buat liburan, tapi malah begini.”
“Maaf, ya, temen-temen. Kita nggak ada di sini waktu itu,” Ridho menepuk ringan lengan Ahmed yang duduk di sampingnya lalu berdesah karena sakit di bahunya. Sebenarnya, Ridho merasakan bahwa bahunya sangat sakit, bahkan tulang bahunya serasa retak setelah dipukul.
“Kau nggak apa-apa, kan, Ridho?” Abi kembali mencemasi Ridho.
“Nda,” Ridho tak ingin ada yang pedulikan sakitnya.
“Kalian nggak usah merasa bersalah, anggap itu amanah terakhir Pak Fian untuk menjaga putri-putrinya,” gumam Ahmed.
Mata Ridho dan Abi terbelalak. Begitu banyak hal yang mengejutkan. Dan apa yang dikatakan Indra tadi berarti....