FII AMANILLAH

Husnulispedia
Chapter #8

8) Bergaduh

Subuh menjelang pagi, Aya masih tertidur pulas di kamarnya bersama Rinan. Beberapa orang sudah datang lagi untuk turut berduka di rumah almarhum yang dikenal begitu baik orangnya. Bu Hani dan Dini tengah di dapur untuk membuat sedikit jamuan berupa teh hangat.

“Dini, Tante mau nanya sesuatu ke kamu,” kata Bu Hani.

“Apa, tante?” Dini sudah menebak pertanyaan itu.

“Jangan tersinggung, ya. Kayaknya ada yang beda sama pakaian kamu?”

“Iya, tante. Kebetulan aku mulai mutusin untuk berpakaian seperti ini.”

“Subhaanallaah,” sanjung lemah Bu Hani. “Kamu berhijrah?”

“In syaa Allah, Tante. Mungkin ini yang dinamakan berhijrah,” ujar Dini pada wanita paruh baya berjilbab segitiga itu.

“Eh, Dini? Mungkin ngerepotin, tapi... kamu bisa beli gula di warung?”

“Oh, ehm... bisalah, Tante.”

Dua puluh ribu rupiah di tangan Dini. Tiba di depan pintu gerbang, Dini berhenti. Hatinya mencelos. Ia sebenarnya masih ragu untuk menampakkan diri. Bukan karena sudah kebiasaan untuk bersembunyi sejak di pesantren, tetapi karena penampilan barunya.

Tak ada di antara Aya, Dini, dan Rinan yang mengganti pakaian kemarin. Mereka tiba di sore hari, kembali dari pemakaman menjelang sore, tiba di rumah mereka makan dan berberes sedikit. Tak ada waktu untuk membersihkan diri. Tak ada tenaga pula. Kemarin seakan air matalah pengganti mandi. Mereka hanya sebatas mencuci wajah dan tangan.

Sebangunnya Dini dari tidurnya tadi, ia baru mengganti pakaian. Yang sebelumnya celana jeans hitam, kaos dengan outer nila, serta jilbab yang terjulur sebatas lengannya, kini ia berteman dengan rok lebar melambai dan jilbab yang mengulur menutupi pergelangan tangannya. Sedari tadi, Dini sudah merasa sangat malu-malu dilihat oleh banyak orang yang sudah bertamu pagi ini. Ia tak menyangka, hari pertamanya hijrah ditonton oleh begitu banyak mata. Kalau kata Aya, Dini itu malu semalu-malunya.

Cadar? Di alun-alun itu, terbesit pula di hatinya untuk membeli itu. Namun ia sadar betul, semua itu benar-benar akan membuatnya mati kutu. Akhirnya, ia pun hanya membeli dua pasang rok dan jilbab. Untuk bajunya, ia cukup mengenakan baju biasanya saja.

Meski belum bisa menggilas rasa malunya, Dini melangkah dengan sandal jepit seadanya menuju warung. Ia sesekali menundukkan kepala dan sesekali menengadahkannya. Dua puluh meter itu serasa dua ratus kilometer. Begitu banyak orang yang lalu lalang memandangnya, terlebih para tetangga yang kenal betul Dini itu bagaimana. Toh, mereka sering melihat Dini berkunjung ke rumah Aya.

“Itu Dini, bukan? Sejak kapan dia suka berpenampilan kayak emak-emak?” kata tetangga yang sedang menyiram bunga. Dan pasti bukan hanya ia yang berkicau semacam itu.

 “Wih, siapa tuh? Masih muda, cantik, jilbaban, lagi,” gumam orang yang lewat dengan motornya.

 “Yang lalu lalang itu, sudahlah. Mereka kebanyakan juga nggak kenal aku. Tapi tetangga-tetangga, aduh, mereka kenal aku dan pasti mikir begitu-gitu, deh, ke aku sekarang,” hati Dini menggerugut.

“Wuh, kamu beda, ya, Din? Aya sendiri gimana?” kata pemilik warung yang tersenyum pada Dini sambil memberikan sebungkus gula pasir pada Dini.

“Dia baik-baik aja. Lagi tidur sekarang,” jawab Dini. Sebenarnya ia tahu yang dimaksud pemilik warung itu adalah `apakah Aya sendiri juga berpenampilan sepertinya?`. Pemilik warung itu pun hanya mengangguk mendengar jawaban Dini.

Saat kembali dari warung, Dini berjumpa Abi yang tengah melihat-lihat jalan raya dari teras rumah pamannya.

“Dini?” Abi menghampiri Dini di tepi jalan dengan sedikit pikiran yang sama dengan orang-orang yang melihat Dini. “Assalamu`alaikum,” ucap Abi sambil memegang pintu gerbang besi.

“Wa`alaikum salam, Bi. Kamu, kok, di sini? Aku kira kamu semalem udah pulang sama guru-guru pesantren.”

“Ini rumah paman aku. Kemarin, kami ketemu di pemakaman dan ngajak aku tinggal sebentar di sini.”

“Oh, iya aku ngerti. Emang keliatan, sih, paman kamu kalo ngomong emang agak logat-logat Batak.”

“Bukan paman aku sebenarnya yang orang Batak, tapi istrinya. Cuma mungkin, paman aku ketularan tante aku itu.”

“Oh, gitu?”

“Iya. Kau dari warung, ya?”

“Iya. Abi, aku pulang dulu, ya? Assalamu`alaikum.”

“Wa`alaikum salam.”

Baru empat kali melangkah kembali, Dini menoleh ke belakang karena mendengar suara Ridho memanggil Abi.

“Dini, ada apa?” tanya Abi. Ia mengira Dini hendak mengatakan sesuatu lagi padanya.

Ridho ke halaman mendatangi Abi dan tak sengaja melihat Dini.

“Eh, ehh... nggak apa-apa. Ehm, nanti ke rumah, ya?” Dini kembali meneruskan langkahnya dengan perasaan campur aduk. Sanubarinya berdesah, “Aku pikir kesempatan terakhir buat liat Ridho itu pas pemakaman. Ternyata masih... masih ada tambahan waktu. Tapi boleh, nggak, sih, sebenernya mikirin seseorang kayak gini?” kata Dini dalam hati. Senyam-senyum hingga lupa bahwa ia masih berada di zona malu dan ragu di jalan itu.

***

Hingga hampir tengah hari, rumah masih ramai oleh beberapa kerabat dan menanyakan Aya yang tak kunjung tampak. Ternyata Aya tak ingin keluar dari kamarnya. Ia hanya termenung setelah meminta Rinan yang telah terbangun untuk membiarkannya sendiri. Rambutnya kusut terurai. Malas ia bereskan.

Bu Hani membuka pintu kamar Aya yang tak terkunci, mengajak untuk makan seraya mengelus-elus putri semata wayangnya itu. Suasana begitu sunyi dan dingin. Lama dibujuk, Aya menuruti dengan wajah tiada ekpresi.

Bu Hani merangkul Aya keluar. Aya sebenarnya masih mampu bersikap tegar di hadapan orang-orang yang sedang bercengkrama di rumahnya, namun untuk tersenyum sedikit pun, ia enggan.

Mereka berjalan ke sofa. Bu Hani bermaksud meminta Aya duduk di antara sepupu-sepupu jauhnya agar Aya bisa kembali ceria. Ya, Aya memang sangat akrab dan dekat dengan orang-orang itu. Namun sayang, Aya tetap murung meski telah dihibur oleh sepupu-sepupunya itu. Dan jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas pagi terdengar detakannya.

Sepiring nasi beserta lauknya diambil Bu Hani dari atas meja lalu hendak menyuapkan sesendok makanan pada Aya. Belum tiba makanannya di depan mulut Aya, mata Aya tertuju pada dua orang yang sedang membaca Al-Qur`an di lantai dekat pintu, tempat yang memang disediakan untuk orang-orang nantinya mengirimkan bacaan ayat-ayat suci untuk almarhum.

“Mah,” untuk pertama kalinya Aya bersuara. “Ambilin aku jilbab,” ucapnya dengan teramat rapuh.

“Iya, makan ini dulu,” Bu Hani menyuapi Aya lalu mengambil sehelai jilbab pashmina di koper Aya di kamar. Ia kembali dan merebahkan kain coklat itu di kepala Aya.

“Pasangin pentul, Mah.”

Bu Hani seketika merinding romanya entah mengapa. Ia sendiri hanya menggantungkan kerudungnya di leher. Di lantai lalu ia lihat sebuah peniti, mengambilnya, dan menuruti keinginan putrinya.

Aya terus menunduk, hanya menatap lantai rumahnya. Ridho menghentikan bacaannya untuk melihat-lihat sejenak sekitarannya. Ia melihat Bu Hani sedang membenahi jilbab Aya. Ridho tersenyum samar.

Bersama keluarga besarnya, Aya mulai bisa tersenyum. Dini ikut riang melihat keharuan dan kehangatan itu. Dini lalu menoleh ke Ridho yang telah datang sejak empat belas menit yang lalu. Ingin melihatnya lagi. Dini menyadari bahwa Ridho sesekali tersenyum dengan matanya lurus ke arah Aya.

Pukul 11.30, orang-orang bergegas untuk pulang. Aya, Dini, Rinan, dan Bu Hani mengantar tamu-tamunya hingga ke dekat mobil. Setelah saling melempar lambaian tangan hingga orang-orang itu tak lagi nampak di jalanan, giliran Ridho dan Abi yang meminta izin untuk pulang.

“Bu, kami juga pulang, ya? Assalamu`alaikum.” Ridho menyalimi dan mencium tangan Bu Hani dan disusul oleh Abi.

Berdiri di samping mamanya, Aya senyam-senyum. Sungguh, ia tak mampu membendung pipinya. “Cie, yang pertama kali cium tangan camernya,” cuap Aya dalam hati. “OMG! Dasar, Aya!” katanya lagi tetap dalam hati. Bisa kacau jika ia melisankannya.

“Wa`alaikum salam,” Bu Hani pun menurunkan tangannya dan berbalik untuk masuk ke rumah. “Aya, kamu keliatannya lebih ceria? Alhamdulillaah.”

Aya hanya tersenyum dan membiarkan mamanya meneruskan langkah ke dalam rumah.

Masih berdiri di depan rumah, Dini dan Rinan heran mengapa Aya yang masih begitu bengkak matanya senyam-senyam tak menentu.

“Om Fian!” ucap polos Rinan yang greget melihat tingkah Aya.

Dengan tatapan sinis pada Rinan, Aya kembali cemberut. Dini pun ikut sedikit kesal karena Rinan. Karena mendapat tatapan elang dari kedua sepupunya, Rinan menutup wajahnya dengan dua telapak tangannya.

“Ehm, Ridho!” teriak Aya pada Ridho yang sudah hampir melewati gerbang rumah Aya.

Ridho berbalik. Terlihat, Aya melambaikan tangan yang berarti `kemari`. Ridho menuruti bersama Abi.

“Kamu mau belajar catur?” ucap Aya dengan nada yang masih lemas. “Ehm, bukan belajar, sih. Kamu, kan, emang udah pinter. Main catur, gitu, maksud aku. Karena kemarin itu, kan, baru aja dimulai, aku malah ke kamar aku.”

“Boleh,” Ridho mengangguk dan wajah datarnya.

Di teras, mereka berlima duduk bersama. Aya telah mengeluarkan catur kesayangannya dan menata pion-pion catur dengan Ridho.

“Rinan...” bisik Dini. “Kamu ambil jilbab, gih.”

Rinan yang duduk di tengah Aya dan Dini, menuruti.

“Dho, hati-hati, ya. Nggak malu kalo dikalahin sama cewek?” sindir Dini untuk mengisi suasana yang sepi.

“Kalah... menang.. kalau perempuan lawan laki-laki, pasti laki-lakinya yang diejek, serba salah,” Ridho memajukan pion kudanya dan memakan pion ratunya Aya. “Lagian saya cuma mau belajar, bukan cari menang atau kalah.”

Sekali lagi, kata-kata Ridho membuat Dini kesal.

“Saya mau belajar sama Aya karena dia katanya berkali-kali juara di pertandingan catur. Meskipun mungkin menangnya di cuma pertandingan catur anak TK dan dia memaksa untuk ikut di pertandingan yang memang bukan levelnya itu,” sambung Ridho.

“Ngeselin banget, sih?” Aya menjadi kesal.

“Saya mau tanya, ngeselin dan nyebelin....” Ridho tampak berpikir apa yang harus ia katakan selanjutnya. “Ehm, ngeselin dan nyebelin itu apa sama?”

“`Ngeselin` itu dari kata `kesel`. `Nyebelin` itu dari kata `sebel`. Dan sekarang kayaknya kamu kumat lagi pengen bikin orang sebel dan kesel,” kata Dini.

“Ah!” Aya tersenyum kecut sambil mengacungkan jari telunjuk kanannya dan menggerak-gerakkan tangannya ke depan dan ke belakang. “Aku tau!”

Ridho mengernyitkan kening.

“Kkkahahaha!” Aya terkikik. “Ridho, aku tau kamu itu orangnya selalu berpikir sebelum bicara. Tapi tadi kamu telat mikirnya dan lebih duluan bicaranya. Kamu tadi bilang `Ngeselin dan nyebelin itu apa sama?` dan di telinga aku, aku bisa tau keganjalan dari kalimat kamu. Kamu harusnya bilang `ngeselin dan nyebelin itu sama, nggak?` tapi kamu bingung harus pilih yang mana, `nggak`, `tidak`, atau `ndak`. Kamu bingung, kan? Hahaha!”

Dini melihat raut wajah Ridho sama seperti saat diejek sepeti itu di pesantren dulu. Abi juga tampak kurang senang dengan kata-kata Aya.

“Kamu itu... apa, ya? Ehm, kamu itu pinter milih-milih kata dalam berbicara. Tapi kalau dihadepin sama kata `nggak`, `tidak`, atau `ndak`, kamu pasti bingung. Hahaha! Aku jadi ngebayangin kalau aja ketiga kata itu adalah nama dari tiga orang cewek, kamu pasti juga bakal bingung mau pacarin yang mana. Iya, kan? Haha. Mending kamu shalat Tahajud, deh. Eh, bukan! Shalat Dhuha, eh, istiqo... is... is... Istikharah! Iya! Shalat Istikharah!” kelakar Aya makin menjadi-jadi.

“Aya! Kamu jangan lagi...” tegur Dini.

“Saya memang tidak bisa memilih kata-kata untuk berbicara, tapi setidaknya saya bisa sebut langsung nama shalat ketika seseorang hendak memilih sesuatu,” timpal Ridho seraya berdiri dari kursi kayu yang ia duduki.

“Temen-temen kamu di pesantren juga bisa nyebut itu langsung, kali. Bukan cuma kamu yang bisa nebak nama shalat ini dan shalat itu. Dari sini aku nyimpulin kalau orang-orang bisa jadi kayak kamu tapi kamu nggak bisa kayak orang-orang.”

Aya dan Ridho saling melempar tatapan saling tak suka. Aya berdiri dari kursi dan hendak berjalan meninggalkan permainan caturnya (lagi). “Well, aku sekarang juga tau kalau kamu lebih suka nyebut kata `tidak` daripada nyebut `nggak` dan....”

“Om Fian!!!” cekat Rinan yang baru datang dengan jilbab putihnya.

Aya terdiam, perasaannya yang sensitif membuat pikirannya kembali mengenang almarhum papanya. Aya pun melihati Rinan dengan tidak begitu enaknya. Aya kesal karena Rinan tampaknya suka mengganggu dan membuat hati Aya bersedih.

Aya meneruskan langkahnya ke Rinan yang berada di depan pintu karena Aya memang hendak masuk. Tetapi sebelum itu, Aya mampir ke hadapan Rinan dengan begitu dekat.

“Aku nggak akan pernah lupa nama itu se...detik pun! Meskipun kamu nggak ngasih tau aku!” ujar Aya pada Rinan tanpa berkedip sekali pun.

Setelah Aya pergi, Dini mendekati Rinan.

“Rinan?” untuk pertama kalinya Dini mendengar Rinan berteriak namun dengan aura yang begitu berbeda.

“Dini...” desah Rinan. “Pas aku udah hampir sampe di depan pintu aku ngedenger Aya ngejek Ridho kayak kemarin. Sekolot-kolotnya aku, aku juga tau mana hal yang harus dihentiin. Aku juga nggak suka sama omongan Aya itu, jadi aku nyoba ngelakuin sesuatu biar dia bisa skak mat bicaranya. Ngingetin dia soal sesuatu papanya adalah satu-satunya cara.”

Hijab menyelimuti seluruh tubuhnya, namun Dini merinding mendengar kata-kata Rinan. Tak terduga. Dini pun memeluk Rinan.

“Dini? Rinan? Ada apa?” Bu Hani datang tanpa tahu menahu karena tidak mendengar sama sekali yang terjadi di teras rumah.

Dini dan Rinan pun bingung harus memberikan alasan kenapa mereka berpelukan.

“Aya dan kalian nginget almarhum, ya? Barusan tante liat dia masuk ke kamarnya. Pasti dia mau nangis lagi,” kata Bu Hani. “Eh, temennya masih ada, ya? Duduk aja dulu, ya. Tante ambilkan teh lagi.”

“Nggak usah, Tante,” cegat Abi. “Tadikan udah. Sekarang kita beneran mau pergi. Assalamu`alaikum.”

“Wa`alaikum salam.”

***

Dini dan Rinan saat hendak ke kamar Dini berpapasan dengan Aya yang hendak ke dapur untuk minum. Sinis timbal balik. Dua banding satu.

Tibalah mereka di kamar berwallpaper biru dengan motif atau gambar love berwarna pink. Juga ada quote-quote yang tertulis di kayu yang sudah dibentuk indah dan digantung ditiap sudut kamar, serta tirai yang menambah nuansa kamar yang kalem dan feminim itu. Bukan Aya, Bu Hani, ataupun Pak Fian yang sengaja mempercantik kamar itu. Dini sendirilah yang menghiasnya sebagaimana ia menghias kamar di rumahnya sendiri. Karena sering menginap dan sudah menganggap rumah Aya sebagai rumahnya, Dini pun berniat agar kamar itu dipercantik sedemikian rupa sejak empat tahun yang lalu. Kamar Aya ikut didekor. Untuk Rinan, katanya ia tak perlu kamar pribadi. Cukup ia memilih ingin tidur dengan Aya atau Dini. Jika kedua sepupunya lebih suka tidur sendiri, Rinan sebaliknya. Bukan sekadar takut sendirian, melainkan karena ia memang suka kebersamaan.

“Kamu bener-bener niat buat berhijab kayak gini?” tanya Rinan.

“Rin, seperti yang aku bilang kemarin, bukan shalat aja yang wajib dilaksanain, berhijab seperti ini juga. Bagi aku... bagi aku, nih, shalat yang bolong-bolong sama dengan berhijab tapi pakai celana, jilbab yang nggak panjang, dan lengan yang nggak menutup sampe melebihi pergelangan tangan,” jelas Dini.

“Emang gimana ceritanya kamu pulang-pulang dari pesantren tiba-tiba mau berubah kayak gini?”

“Alhamdulillaah, pas dapet hidayahNya Allah di alun-alun, aku langsung mau beli hijab syar`i ini. Masalahnya, aku baru punya dua jilbab dan rok kayak gini. Kalo ini dicuci nanti, aku rencananya mau minjem hijabnya tante Hani. Soalnya aku belum mau pulang. Masih mau bantu-bantuin Tante.”

“Oh. Tapi menurut aku, kayaknya tante Hani juga cuma punya satu-dua jilbab panjang, deh.”

“Ya udah, itu aja. Lagian nggak mungkin juga aku butuh puluhan jilbab. Ntar juga jilbab aku kalo dicuci pasti cepet kering. Kan, pake mesin cuci.”

“Jadi, ke sekolah nantinya gimana? Pasti....” ucap Rinan dengan wajah cemasnya.

“Aku yang ngehadapin kok kamu yang takut, sih?” Dini tersenyum. “Iya, emang. Selama ini aku ke sekolah cuma pake rok selutut dan no hijab. Temen-temen pasti bakal kaget gimanaaa gitu ngelihat perubahan aku. Aku yakin, pake jilbab sebahu aja, mereka terkejut, apalagi kalau yang kayak gini. Berbeda 200% dari penampilan aku dua pekan yang lalu.”

“Kamu hebat,” tutur Rinan lembut.

“Aku nggak hebat, Rin.” Dini melihati jilbabnya. “Cuman, aku emang... sekarang emang udah sayang banget sama yang namanya hijab. Om Fian bener, hijab itu pelindung. Ehm, baru sehari aku pake hijab kayak gini, aku udah ngerasa nyaman. Aku nggak sabar liat kehebatan `sahabat` baru aku ini ke depannya.”

“Ya.”

Dini dan Rinan pun terhenyak dan membisu.

***

“Assalamu`alaikum,” Abi mengetuk pintu rumah Aya.

“Wa`alaikum salam. Eh, Abi?” Dini membuka pintu dan tersenyum pada Abi lalu melirik ke sekitar rumah. “Ehm, ada apa?”

“Kamu mungkin yang ada sesuatu sama Ridho?”

Dini terkejut karena ditohok pertanyaan semacam itu.

Abi menggaruk belakang telinganya. “Eh, maksud aku, peci aku kayaknya ketinggalan pas lagi tadarrus sama orang-orang.”

“Oh,” Dini lalu melihati seluruh bagian tempat orang-orang mengaji tadi. “Itu dia. Aku ambilin, ya.”

“Makasih,” Abi menerima pecinya.

“Iya. Ehm, kapan pulangnya?”

“In syaa Allah, besok.”

“Gitu? Eh, kenapa kamu nanyain hal yang tadi itu?” Dini merasa bahwa pertanyaan Abi tadi itu serius, bukan salah ngomong.

“Nggak. Tadi itu cuma....”

“Kalau iya, emangnya kenapa?”

“Nggak, tadi aku cuma sekadar be....”

“Kalo gitu, aku yang pengen nanya sama kamu. Boleh?”

“Iya.”

“Ridho....” Dini tertegun. “Ridho.... ehm,” ia ragu. “Maksud aku, aku mau minta maaf soal ucapan Aya tadi.”

“Oh, itu bukan pertanyaan,” gurau Abi.

“Hehe, sorry.”

“Ehm, Ridho sebenarnya orang yang keras kepala. Dia pemaaf tapi suka susah ngelupain kesalahan orang lain ke dia.”

“Oh, gitu, ya?”

“Ehm, Ridho itu nggak suka cerita banyak tentang kehidupan dia ke orang lain termasuk ke sahabat-sahabatnya. Palingan tentang hal-hal konyol atau tentang tetangga-tetangganya yang semuanya punya jiwa seni dan otot kuat.”

“Cerita tentang hal kayak gitu? Haha! Dho.. Dho...”

“Ehm, Din?” tegur Abi.

“Iya?”

“Sebenarnya...” Abi tertegun.

“Apa?” Dini makin tak enak dan menelan ludahnya.

“Sebenarnya,” Abi menggaruk pelipisnya yang tak gatal. “Ridho nggak suka dipanggil `Dho`.”

Dini membelalak.

“Dia bukannya merasa pintar sampai-sampai nggak mau dipanggil `Dho.. Dho..` tapi, yaaa, setiap orang pasti suka dan nggak suka sama suatu hal,” Abi paham perkataannya ini pasti akan membuat Dini tak enak hati.

“Duh, gitu, ya? Aku jadi nggak enak,” Dini mengingat bahwa ia selalu memanggil Ridho dengan sebutan yang ternyata tidak disukainya. Padahal, maksud Dini senang memanggil Ridho dengan sebutan singkat itu adalah agar mereka bisa lebih akrab. Begitulah pendapat teman sejawatnya yang punya pandangan yang sama mengenai dunia psikologi. “Iya, sih. Misalnya aku dipanggil `kecoa`, aku juga nggak suka itu. Hehe. Makasih, ya, udah ngasih tau. Kalo gitu, sampein maaf aku ke dia, karena mungkin ini hari terakhir kita bisa ketemu.”

“Semoga bisa ketemu lagi di masa depan.”

Dini tertegun mendengarnya, “Oh, hehe. Bisa aja. Tapi, kalau misalnya kita ketemu lagi, kamu harus udah hapal 30 juz, ya?” Dini mencoba melunakkan suasana.

“Kok, aku harus hapal sebanyak itu baru boleh ketemu kamu?”

“Nggak apa-apa, sih. Toh, kamu anak pesantren. Pasti hapal Al-Qur`al, kan?”

“Iya. Tau, nggak? Ridho udah hampir hafal satu Al-Qur`an. Kami, temen-teman seangkatannya baru hafal setengah.”

“Yang bener? Hebat!” Dini makin terpesona. “Oh, iya. Aku mau tanya lagi, dong, kenapa Ridho kalo ngomong itu, hampir selalu baku kata-katanya? Misalnya, sementara orang-orang bilang `gue` atau `aku`, dia selalu bilang `saya`. Di samping orang-orang bilang `kamu`, dia bilang `kau`. Kita, kan, biasa ngomong baku ke orang yang lebih tua, terutama ke guru, tapi dia ngomong bakunya, tuh, ke semua orang.”

“Ridho itu orang Bugis. Dan katanya, orang-orang sedaerah dia, kalo ngomong pake bahasa Indonesia punya logat dan tambahan-tambahan kata tersendiri, misalnya `ji`, `mi`, `kodong`, dan semacamnya. Itu kalau sama sedaerahnya sendiri. Tapi kalau mereka ngomong sama orang yang kemungkinan nggak ngerti bahasa dan logat sedaerah dia, biasanya mereka baku bicaranya.”

“Oh, gitu, ya? Aku nanyain itu karena aku dengernya beda aja gitu.”

“Yaudah, saya pergi du...”

“Aku anter sampe depan pagar, ya?”

Mereka berdua pun berjalan menyusuri taman.

“Abi, aku yakin kamu tadi sebenarnya pengen ngomong serius soal `sesuatu tentang aku dan Ridho` yang kamu bilang tadi, kan? Cuman kamu jadi nggak berani,” ujar Dini.

Abi tersenyum, “Susah, ya, kalo ngomong sama calon psikolog.”

“Hah?”

“Ridho pernah bilang kalau kamu mau jadi psikolog.”

“Oooh,” Dini mengangguk kecil. “Ya udah, dijawab, dong pertanyaan aku.”

“Ehm.... gini. Aku lihat dari cara kamu melihat Ridho sejak di pesantren dan juga dari pandangan kamu melirik ke luar tadi, aku yakin kamu lagi nyari Ridho, siapa tau dia datang sama aku. Kamu pasti....”

“Ternyata ada yang berpeluang jadi psikolog juga?” tukas Dini. “Yah, gitu, deh, Bi. Ehm, karena kamu udah tau, aku pengen nanya sesuatu,” Dini sambil memperlambat langkahnya.

“Silakan.”

“Aduh, ngomongnya gimana, ya?” Dini sebenarnya sedikit geli untuk menanyakan hal ini. “Ridho... Ada perempuan yang dia suka, nggak?”

“Oh, itu? Masa aku kasih tau, sih?” goda Abi. “Ridho nggak pernah cerita hal kayak gitu.”

“Oh? Ehm, kamu nggak bohong, kan?” balas Dini.

“Aku ini anak pesantren yang hobi main sepak takraw.”

“Apa hubungannya?!”

“Hehe. Nggak ada, sih. Tapi beneran, aku nggak tau pasti soal hal itu. Tapi dari sepenglihatanku...” kata Abi.

“Orang di depan aku kayaknya ahli psikologi juga, nantinya,” sela Dini sambil tersenyum.

“Ridho memang suka sama seseorang.”

Dini kehilangan senyumnya. “Siapa?”

“Yang pasti, dia akhwat. Sisanya, aku udah nggak tau.”

“Ayo, dong! Lebih spesifik lagi. Aku yakin kamu tau lebih dari itu.”

“Ya udah, ehm, salah satu akhwat di rumah ini.”

Hati Dini bergetar.

“Yang pasti bukan istrinya Pak Fian.”

“Ok, salah satu diantara aku bertiga, kan? Aku yakin, seenggak kamu pasti punya perkiraan.”

“Kamu mau tau, siapa akhwat itu menurut aku meskipun nggak akurat?”

“Iya. Nggak akurat maupun akurat, aku harus...” Dini melemahkan suaranya, “Aku harus nerima itu, Bi.” pandangan mata Dini lemah.

“Kayaknya kamu suka banget, ya, sama Ridho sampe kamu sepenasaran ini,” desah Abi. “Ehm, pokoknya salah satu diantara kalianlah.”

“Siapa?” Dini terdengar memaksa sebab rasa penasarannya membuncah.

Abi menarik nafas pelan, “Ok... Dia adalah...”

“I wish me,” batin Dini.

“Aya.”

Dini menghentikan langkahnya. Ia menelan ludah. “Oh, gitu?” Dini tersenyum. Abi tau senyum yang ia lihat itu berat. “Makasih informasinya. Udah, ah. Nggak usah ngomongin dia lagi. Ntar dia ceguk-cegukan, lagi, hehe.”

“Iya. Udah adzan, Ridho pasti ninggalin aku ke masjid. Assalamu`alaikum,” Abi memasang pecinya dan berlari kecil.

“Wa`alaikum salam.”

***

“Dari semalem, aku searching soal hijab,” Dini menyalakan handphonenya yang sedang di-charge di kamar. “Nggak ada salahnya kalau aku tanya-tanya tentang perihal jatuh cinta juga. Nanya ukhty google atau ukhty-ukhty di instagram, ya? DM ukhty di IG aja, deh. Oh, iya, mereka juga pasti punya banyak postingan tentang apa yang pengen aku cari sekarang. Stalking satu per satu dulu, deh.”

“Jatuh cinta itu tak salah, yang salah itu melakukan perbuatan yang salah karena dilandasi oleh cinta. Dan you `know-lah` apa yang salah itu, bukan?”

“Ya, aku tau itu, in syaa Allah.”

“Tetap jaga pandangan.”

“Meskipun naksir, tetep harus hati-hati dengan mata, ya? Padahal aku suka ngeliat-liatin dia, loh? Ok, mulai sekarang aku harus stop... eh... kurangi itu.”

“Menahan rasa dalam kesendirian atau menambah dosa dalam kebersamaan?”

“Aku in syaa Allah pilih yang pertama. Aku juga nggak mau pura-pura lupa kalau pacaran itu haram.”

“Daripada sibuk mengejar cintanya, lebih baik sibuk meraih cinta-Nya.”

“Wah! Aku ketampar!”

Dan masih banyak lagi yang Dini baca dan akan ia usahakan untuk diamalkannya. Bukan dengan berhenti mencintai si dia, tetapi melakukan cara yang benar agar cintanya padanya tak melampaui cintanya padaNya. Pokoknya, dalam hijrah, tentu Dini harus meningkatkan taatnya daripada banyak mengurusi urusan hasrat manusiawinya.

“Lagi ngapain, Din?” Aya masuk ke kamar Dini.

Dini menatap Aya dengan tatapan kosong, namun ia sadar bahwa ia tak boleh menuruti egonya untuk mencueki dan menyimpan kesal pada Aya. “Nggak. Main handphone aja.”

“Udah shalat?” kata Aya dengan nada yang tak lagi lemah.

“Udah,” jawab Dini yang duduk di meja belajarnya.

“Oh,” Aya duduk di kasur. “Ngapain aku nanyain itu? Hijab aja dia peduli, apalagi shalat,” betikan di benak Aya.

Lihat selengkapnya