Aya dan Rinan menenteng sajadah dan rok mukena di bawah lampu jalan. Mukenanya sendiri telah terpasang.
“Rasanya beda, yah, kalau udah sepekan kita nggak masjid,” kata Rinan.
“Biasa aja, ah.”
“Kamu kalo diajak ngomong, mah, gitu!” Rinan kesal.
“Aya, ke rumah, ya, kalau habis ke masjid?” sapa seorang ibu yang pulang dari masjid bersama.
“Iya,” Aya tersenyum santun.
“Kok cuma kamu, sih, yang disapa ibu itu? Aku, kan juga ada di sini.”
“Karena aku doang kali tetangganya yang berharga.”
“Ih!”
“Kasian, deh, kamu.”
“Ehm, kamu kali yang kasian. Kan, kamu yang abis kena musibah.”
Aya memanyunkan bibirnya mendengar keluguan Rinan yang tak sadar telah menyakiti perasaannya.
Hendak ke masjid dan lewat di depan rumah Bu Tira, Aya sengaja membawa kotak makanan yang dibawa Ridho untuk dikembalikan dan Rinan ingin menunggu Aya di depan pagar saja.
Belum diketuk, pintu terbuka.
“Mau ke masjid, ya?” tanya Aya.
“Iya.”
“Nih, mau ngebalikin kotak makanannya Tante Tira.”
“Oh, makasih,” Ridho menerima kotak plastik itu dan pun masuk kembali.
“Nggak sopan banget, sih? Ada orang yang dateng, eh, ninggalin gitu aja. Ngasih salam, kek... bilang, `saya masuk dulu`, kek.” kata Aya dengan suara kecil.
“Tunggu bentar,” Ridho menolehi Aya.
Seperempat menit kemudian, Ridho kembali dengan membawa sebuah kotak makanan plastik kecil, menyodorkannya ke Aya. Sebelum Aya mengangkat tangannya untuk mengambil kotak plastik berwarna hijau itu, Bu Tira keluar dengan mengenakan mukena hitam.
“Aya? Tumben main ke rumah?” sapa Bu Hani dengan ramahnya.
“Hehe, iya, Tante. Ngebalikin toples,” seperti biasa, jika berhadapan dengan orang yang lebih tua, Aya selalu reflek bersikap malu-malu.
Bu Tira lalu tersenyum melihat Ridho menyodorkan sesuatu ke Aya, “Tante duluan ke masjid, ya?”
Setelah Bu Tira pergi, Ridho menyeringai, “Sok ramah.”
“Kayaknya kamu udah seneng, ya, nyebut aku tukang `sok`?! Aku nggak mau nerima itu! Lagian kamu mau ngehabis-habisin kuenya Tante Tira?” Aya menyilangkan tangannya dengan kotak plastik di tangan kanan.
“Ini bukan kue.”
“Terus apa?” Aya menyita kotak tersebut dan hendak membuka penutupnya namun tak bisa lalu ia guncang kotak itu untuk menebak isinya yang begitu ringan. “Apa, sih, nih? Nggak bisa kebuka juga! Ini apa? Nggak ada isinya palingan.”
“Itu sudah dilem.”
“Lah, buat apa dilem. Nggak bisa dibuka, dong!”
“Saya dapat lemnya di atas lemari dapur Tante Tira. Beliau bilang, lem itu dibeli suaminya. Katanya kalau lem itu kering, melengketnya kuat sekali, lalu setelah kurang dari 24 jam, lemnya melemah dan apa yang sudah kita lem itu bisa terbuka dengan gampang. Kotak plastik itu mungkin besok baru bisa terbuka.”
“Beli lem di mana, tuh?”
“Di Selandia Baru, katanya.”
“Huh! Berarti di Selandia Lama nggak ada, dong, yah?” canda Aya sambil terus bersusah payah mencoba untuk membuka kotak itu.
“Di Indonesia Tua, mungkin ada. Mungkin.”
“Whatever, deh.” Aya menyerah. “Ini buat apa, sih? Dan kenapa dilem?”
“Itu buat kau... dan saya beri lem biar kau bukanya besok.”
“Aneh! Kenapa harus dilem?”
“Karena kalau saya sekadar mengingatkan untuk membukanya besok, kau pasti nge...” Ridho lupa suatu kata, “Ngeyel.”
Kali ini Ridho kembali yakin bahwa ia kembali dibully oleh akhwat di depannya itu perkataannya yang `tersangkut`.
“Sepenting itu, ya, isinya?” kata Aya.
Tidak tepat dugaan Ridho.
“Apa jangan-jangan di dalam sini ada hewan yang ditutup rapat sampe kehilangan oksigen dan pas aku buka besok, aku kesemprot parfum bangkai?”
“Ukhti Aya?” Abi datang dari dalam rumah, bersedia ke masjid pula.
Aya tersenyum pada Abi dan kembali ke Rinan.
“Lama banget, sih? Berantem lagi, ya, sama Ridho?”
“Nggak!” kata Aya pada Rinan seraya menyembunyikan kotak itu di balik sajadah dan mukena yang melilit tangannya. “Ayo.”
Dari teras, percakapan Rinan dengan Aya terdengar.
***
Masjid masih sepi. Baru tiga orang bapak-bapak dan Bu Tira dan yang sedang shalat sunnah di pojok. Aya dan Rinan memang suka berangkat lebih awal.
“Dasar cowok. Kalo ke masjid pasti milih nongkrong dulu di luar daripada shalat tahyatul masjid,” gerutu Aya dengan suara kecil ketika baru masuk ke masjid dan tidak melihat batang hidung Ridho dan Abi yang harusnya juga sudah tiba.
“Aya, cukup di luar kamu banyak ngomong. Di sini, tahan-tahanlah,” tegur bijak dari Rinan.
`Tluk... tluk...` Suara benda yang terjatuh didapati telinga Rinan yang sedang ribet memasang mukenanya.
“Apaan tadi, tuh, Ya?” Rinan baru selesai mengurusi mukenanya.
“Nggak ada... apa... apa...” Aya meyadari ia sedang berbohong (kecil). Sebenarnya saat ia membentangkan sajadahnya, ia tak sengaja menjatuhkan kotak plastik itu dan kini ia tengah sembunyikan di lantai, di bawah rok mukenanya yang belum ia pasang.
“Oh.”
“Duh, taro di mana, ya?” bisik Aya pada dirinya sendiri.
Aya berbolak-balik ke luar dan ke dalam masjid dengan rok mukena yang digunakan menutup kotak plastik. Ia bingung di mana bisa menyimpan benda itu. Setelah bergolak batin dan pikiran, Aya mendapat ide untuk menyimpannya di belakang bak sampah kecil di balik pintu masjid. Dengan langkah pelan, tepat saat Rinan sujud dalam shalat rawatibnya, Aya menaruhnya.
“Kenapa nggak dari tadi mikirnya? Dan semoga ini nggak ngeganggu kekhusyukan shalat aku,” batin Aya.
Usai shalat fardhu, Aya dan Rinan hendak melaksanakan shalat sunnah. Ridho yang akan keluar dari masjid bertatapan sinis dengan Aya sekejap. Entah apa lagi yang mereka pikirkan.
Rinan dan yang lainnya masih shalat sunnah usai shalat fardhu. Aya dengan mukena yang tetap ia kenakan mengambil langkah hati-hati dan mencoba terlihat santai. Seraya memperhatikan orang-orang di sekitar, Aya menarik pintu masjid agar dapat mengambil kotak plastik yang kemudian nantinya disembunyikan di balik sajadah.
“Kok nggak ada? Perasaan tadi di sini. Di pintu sebelah kiri, kan? Di pintu sebelah kanan juga nggak ada tempat sampahnya. Aduh! Di mana, nih?” Aya khawatir berat. Siapalah yang mengambilnya? “Huh! Pasti Ridho. Katanya mau ngasih, sekarang malah ngambil lagi. Ih! Lagian, apa sih isinya? Kayaknya benda berharga banget?”
Di jalan pulang, Rinan memerhatikan kecemberutan Aya. “Kenapa, Ya?”
“Rinan, kalau malam Selasa, aku marah lagi, boleh, nggak?”
“Ya ampun, Aya? Malam tahun baru serangga pun nggak boleh marah-malah, lagi!”
“Abisnya...! Nyebelin banget orang itu.”
“Siapa?”
“Siapa lagi?”
“Kalau kamu mau marahin Ridho, kamu udah salah orang,” Rinan tertawa kecil. “Karena yang harusnya kamu marahin adalah aku.”
“Hah?!”
Rinan mengeluarkan sesuatu di balik mukena yang ia kenakan.
“Rinan?! Kapan kamu ambilnya?”
“Pas kamu shalat sunnah,” Rinan cengengesan. “Aku liat kamu pergi ke pintu pas aku shalat sunnah sebelum Maghrib, nah, giliran kamu shalat ba`da Maghrib, aku pergi, deh, kesitu. Aku penasaran...”
“Wait... wait...! Aku shalat sunnah tapi nggak ngeliat kamu jalan ke pintu masjid. Nah pas kamu yang shalat, kamu ngeliat aku? Ah, shalat kamu nggak khusyu`, nih!” ejek Aya.
“Ih, nggak! Cuman kebetulan... biasalah...” Rinan tak tenang setelah dikatai tak khusyu` dalam shalatnya, “Kadang kalau pun kita fokus ngeliat ke bawah... kita masih bisa liat samar-samar ke samping, gitu! Jadi, pokoknya aku...”
“Udah! Kamu shalatnya nggak khusyu`! Nggak bener, kamu!”
Hingga tiba di rumah, Aya terus mengejek Rinan.
“Udah, dong, ih! Capek dengernya!” Rinan menepuk bahu Aya. “Eh, ini dari siapa, sih? Setau aku, kamu nggak pernah ketemu sama siapa pun dari tadi selain aku dan orang di rumah tante Tira.”
Aya berhenti di halaman rumah dengan Rinan, “Kamu harusnya nanya kenapa aku nyembunyiin ini dari kamu. Dan jawabannya adalah... kamu itu embor... Pasti kamu bakal ngasih tau hal ini ke Dini. Nah, sekarang kamu udah tau, jadi awas, ya, kalau kamu ngebocorin ini ke dia!”