Senin baru. Buku-buku, pulpen, dan yang lainnya telah tertata di ransel. Tinggal digantung di bahu dan berangkatlah ke sekolah.
Sekitar sepekan sudah Dini dalam hijrah dan hari ini hari pertama ia berpenampilan baru ke sekolah. Di antara teman-teman sekolahnya, memang banyak berhijab. Jadi, Dini menyemangati dirinya untuk tetap berani karena bukan hanya ia yang berhijab. Namun, perubahan drastis pada dirinya pasti akan membuat teman-temannya langsung menyambar dengan lontaran ini itu. Hhhh... semangat Dini menyurut.
Di dalam mobil yang dikendalikan oleh pak sopir, Dini terus memijat-mijat jari-jarinya. Nervous. Selama libur saja, sudah banyak cuap-cuap menyakitkan dari tetangga-tetangga.
“Kalau pun mau berhijab, ya, nggak perlu sampe segitunyalah. Kan, berhijabnya juga masih baru. Pake proses dikit, bisa, dong.”
“Iya, nggak perlu pas hijrah langsung pake jilbab seribet itu. Lagian dia juga masih muda, eh, malah dikira udah tua kalo penampilannya kek gitu.”
“Apalagi, nih, ya, emaknya sama sekali nggak berhijab, kok. Kemarin dia pergi ke supermarket cuma pake rok selutut sama baju lengan pendek.”
“Nggak satu rasa si emak sama anaknya.”
“Tau, nih, yang salah siapa? Yang pasti nggak enak bangetlah diliatnya. Satunya pake hijab, satunya nggak. Lebih parahnya lagi, emaknya yang nggak berhijab.”
“Ember...”
Kalimat-kalimat sumbang itu sering kali terdengar ketika ia menyiram tanaman di halaman rumahnya (Dini sudah kembali dari rumah Aya), membeli sesuatu di warung, atau membuang sampah di tempat pembuangan sampah umum yang tak jauh dari rumah. Keluar rumah akhir-akhir ini menjadi hal yang tabuh untuknya. Pikiran Dini makin semrawut sebab alih-alih dirinya yang dihina, sang mamas pun terseret dalam gosip tetangga.
Hari ini, ia harus siap mendapat pendapat yang sama. Bedanya, ini dari anak-anak muda yang merupakan teman-teman sekolahnya. Selama libur, Dini tidak pernah berjumpa temannya. Sempat, sih. Sesekali kala ada teman yang lewat di depan rumah dengan mengendarai kendaraan pribadi. Saat pemakaman Pak Fian pun ada beberapa yang datang. Pastilah, karena hal itu, kabar hijrahnya sudah terdengar oleh sejawat-jawatnya. Lebih parahnya lagi Dini paham betul mereka adalah kumpulan remaja yang sangat sangat sangat komentatif yang heboh, gaul, dan gokil. Terbayanglah bagaimana tingkah mereka nantinya.
Mobil berhenti di depan rumah Aya. Masuklah Aya ke sana setelah mencium tangan mamanya. Dini bahkan rela turun untuk ikut mencium tangan tantenya itu. Ini pertama kalinya ia lakukan. Selama ini, sebelum berhijab, Dini hanya duduk di mobil sambil menunggu Aya datang dan sekadar memberikan senyuman pagi pada Bu Hani. Dengan penuh malu dan getir, Dini melakukan hal yang berbeda. Bu Hani tersenyum memahami perasaan Dini saat itu.
Mobil berhenti lagi di depan rumah seseorang. Rumah Rinan. Ya, diantara mereka bertiga, Dinilah yang memiliki sopir pribadi. Acara jemput menjemput pun rutin setiap pagi. Memang kebetulan Dini akan melewati rumah Aya dan Rinan jika hendak ke sekolah. Dengan praktisnya, kedua sepupunya itu mendapat tebengan gratis. Kalau pun Dini tak bisa pergi ke sekolah karena misalnya sakit atau Aya atau Rinan ada perlu sendiri, sopir Dini tetap akan datang untuk mengantar Aya mau pun Rinan karena mama Dini sendiri yang menginginkannya untuk membantu keluarga suaminya itu.
Di mobil Aya dan Rinan merangkul dan mengelus-elus Dini. Menyemangati Dini. Tiba di depan gerbang sekolah, mereka melangkahkan kaki bersama masuk ke sekolah. Di sepanjang langkahnya, tak henti-hentinya siswa-siswi berdecit. Ada yang memuji karena Dini tampak makin cantik, ada pula yang berkata... yaaa... biasa....
Di depan kelas Dini mereka bertiga berjumpa dengan dua teman sekelas Dini. Dini dengan penampilan barunya mencoba bersikap biasa dengan menyapa ramah.
“Ha...” sapaan `hai` Dini terpotong karena teman-temannya itu bergegas memberi salam dengan gaya agak lebaynya.
“Assalamu`alaikum, ukhti...”
“Wa`alaikum salam,” jawab Dini yang tetap mafhum bahwa itu sindiran. “Yuk, masuk!” Dini meraih bahu kedua kawannya itu.
“Ayo, ukhti...”
Aya dan Rinan membiarkan Dini masuk ke kelasnya. Berharap ia baik-baik saja hatinya. Jika ada yang berani macam-macam, Aya akan segera beraksi. Apalagi mengingat kalangan hijabers di sekolah itu minoritas. Tak jarang dicela.
“Dini?” Tifany, atau yang biasa dipanggil Ti`i menyapa. Ia sahabat yang paling care dengan Dini. Pokoknya, best friend-lah. “Aku udah nungguin kamu, tau, nggak? Tumben agak lambat datengnya?”
“Ya, maklumlah,” ceplos Bita, teman sekelas yang cukup disebut sebagai pemain antagonis. “Pasti nyetrikanya makin lama soalnya setrikaannya makin banyak,” Bita menyeringai.
“Udah, nggak usah peduliin dia,” Ti`i membela Dini yang diam saja. “Aku mau cerita banyak sama kamu juga mau tanya banyak hal ke kamu selama kita libur. Ayo!” Ti`i menarik tangan Dini yang terasa dingin untuk masuk ke kelas dan duduk di bangku paling depan yang tepat berhadapan dengan meja guru.
Bukan hanya Ti`i, Dini didatangi oleh banyak teman sekelasnya, bahkan juga siswi dari `seberang` kelas, sekelas dengan Aya. Ingin tahu yang telah terjadi. Dini dengan senang hati meladeni.
“Din, sejak kapan kamu jilbaban? Terakhir kali kita ketemu, kamu masih pake rok pendek kayak kita.”
Pertanyaan itu sama serupa pertanyaan `kenapa seseorang meninggal padahal keadaannya sehat-sehat saja?`. Semua dapat terjadi kapan saja.
“Kamu nekat banget, Din?”
Nekat demi taat, kenapa tidak?
“Kamu nggak takut dihina-hina sama orang-orang?”
Takut itu sama Allah. Dan kenapa kita harus takut sementara kita punya Allah yang Maha Pelindung.
“Apa yang ngebuat kamu jadi berubah drastis 179,99°?”
Hidayah. Hidayah itu dijemput oleh kita. Jangan tunggu dijemput oleh hidayah. Karena sekalinya hidayah itu yang datang sendiri, mungkin kita malah akan pura-pura tak melihatnya. Sementara kalau kita sendiri yang mendatanginya, itu berarti karena kita memang memiliki niat baik untuk menjadi lebih baik.
“Kamu makin cantik, deh, Din. Pasti makin banyak yang suka ama kamu.”
Makin cantik karena hijab, kenapa tidak? Namun perlu diingat, hijab itu bukan untuk memikat, justru untuk mengikat penggunanya agar tetap dalam naungan Allah.
“Aku juga pengen kayak kamu, sebenernya. Tapi aku belum berani...”
Tak berani taat, maksudnya? Jadi kita beraninya apa? Berani melanggar peraturan?
“Katanya, kamu, Aya, sama Rinan milih liburan di pesantren tempat Pak Fian pindah?”
“Iya.”
“Pesantren cowok? Gimana rasanya?”
“Ya, gitu, deh. Tapi jarang, kok, ketemu ikhwan-ikhwannya.”
“Ada yang ganteng, nggak? Ada yang kamu taksir?”
Dini terdiam. Hidungnya geli ingin tersenyum. Dan masih ada banyak pertanyaan yang Dini layani layaknya costumer service. Tenang rasanya. Meski beberapa teman sekolahannya menatapnya ganjil, orang-orang yang berkumpul bersamanya saat itu justru memandang positif pada Dini. Senang sekali.
“Well,” cuap Bita yang berdiri bersama teman segengnya di depan kelas, menarik satu sisi bibirnya melihat Dini dikerumuni teman-temannya. Bagi Bita, hanya dirinya sendiri yang boleh terkenal dan didatangi banyak orang. “Dia itu jilbaban palingan cuman buat ngikutin tren dan bahkan cuma buat nyari kepopuleran! Dia pikir dia bisa jadi keren dengan cara itu?”
Bita sengaja mengeraskan suaranya. Beberapa siswi yang menemani Dini mulai kembali ke bangku masing-masing, meninggalkan kelas itu, dan ada juga yang menghampiri Bita, termasuk Ti`i. Sebelum para pembela Dini menegur Bita, Aya datang bersama Rinan sudah lebih dulu.
“Dini nggak cari popularitas, ya?! Lo doang kali yang kayak gitu. Pengen terkenal? Lo udah terkenal, kok... Sebagai siswi kelas dua yang paling cerewet, sombong, dan sok-sokan. Selamat!” sinis Aya seraya menyilangkan kedua tangannya.
“Tau, nih, si Bita? Panas melulu kalo ngeliat sesuatu yang `wah` di orang lain. Terutama Dini. Kasian banget, ya, lo? Udah menderita karena mikirin kehebatan Dini dalam pelajaran, juga kalah sama akhlaknya,” imbuh Ti`i. Dialah yang paling tak suka dengan Bita. Mendengar suara sepatunya saja, Ti`i mengaku telinganya bisa robek.
Bita memutar bola matanya. Tak terima. “Lo sendiri akhlaknya gimana? Heh?! Lagian dia itu,” Bita mengacungkan telunjuk pada Dini yang tengah melangkah pelan ke luar kelas, “Akhlaknya cuma dibuat-buat!”
“Siapa yang ngebuat-buat akhlaknya sampe bertahun-tahun? Dini orangnya emang baik. Termasuk ke guru-guru. Nggak salah kalo nilai afektif dia tinggi. Nggak ada yang namanya dibuat-buat sama Dini,” ucap lagi Ti`i. “Emangnya lo, hobinya ngejek-ngejek guru kita.”
“Bener, tuh, Ti,” tandas Aya. “Dia nggak bisa liat gajah yang ada di depan mata dia sendiri.”
Kesal, Bita pergi. Sementara itu, Aya mendengar teman-teman sekelas Dini yang berbisik-bisik menyebut namanya dan Rinan. Aya bingung, lagi penasaran. Terlebih ia dan Rinan sesekali diliriki.
“Aya,” nada suara Ti`i melembut. “Kita ikut berduka, ya, karena kepergian Pak Fian. Dia orangnya baik banget. Salah satu guru favorit kita.”
“Makasih.”
“Aya, Rinan?” ucap salah satu teman sekelas Dini. “Kalian ke pesantren bareng Dini, kan?”
“Iya.” Jawab Aya.
“Tapi kok... kalian nggak pake hijab?” sambung yang lain.
“Masa cuma Dini yang dapet hidayah?”
“Iya, aneh. Dini sekarang berhijab dan kalian berdua nggak ada perubahan? Padahal kalian sama-sama ke pesantren.”
“Emang cuma Dini yang hebat! Juga paling pinter.”
“Seenggaknya nggak perlu berhijab di rumah kayak Dini, tapi kalian bisalah jaga image sebagai sepupu yang sama-sama dapat hidayah.”
“Iya, nggak perlu juga jilbabnya selebar jilbab Dini. Seenggaknya kalian jaga nama baik sepupu kalian ini. Kan, berat sebelah diliatnya.”
Mendengar hal itu, Aya dan Rinan masam. Baru saja membela orang yang sama, sekarang mereka malah direndahkan, disindir, dan dipermalukan. Aya dan Rinan berbalik dan meninggalkan mereka semua setelah sempat menatap tajam Dini. Dini saat itu merasa ragu untuk mengeluarkan pembelaan.
“Aku pikir, Dini yang bakal diserang cibiran dari temen-temen, eh, malah kita. Padahal aku udah nyiapin banyak ucapan jitu sebagai pembelaan ke Dini. Tapi bahkan baru aja kita disindir abis-abisan sama sekelasnya. Dini juga nggak ngelakuin apa-apa!” Aya meradang.
“Aku jadi inget kata-kata kita ke Dini di alun-alun,” tutur Rinan sayup-sayup.
“Aya, Rinan? Kalian hampir sepekan pake hijab tapi nggak ada hidayah, gitu?” kata Dini
“Kamu mau terus hijaban sepulangnya kita dari sini?” tanya Rinan.
“In syaa Allah, itu artinya `jika Allah mengizinkan`. Dan pastinya Dia bakalan ngizinin aku,” jawab Dini.
“Okey, terserah kamu mau berhijab terus tapi aku saranin kamu nggak usah pake hijab selebar itu,” Aya mengangkat dan menghadapkan telapak tangannya ke Dini.
“Kenapa? Kita nggak usah peduli bad looking-nya manusia, tapi kita pikirin aja gimana caranya mendapat good life. Dan aku rasa ini adalah salah satunya,” Dini kembali memekik.
“Sebenernya aku bisa aja nggak kena hinaan dari mereka,” Rinan melempem.
“Hah?” Aya tersuntuk.
“Di alun-alun itu, aku setuju-setuju aja, kok, sama rencana berhijabnya Dini. Bahkan aku juga berencana buat berhijab kalau misalnya Dini juga jadi berhijab.”
“Tunggu... Tunggu... Kamu... kedengeran marah, deh?” Aya tergugu-gugu. “Kamu marah sama siapa? Jangan bilang kamu marah ke aku karena batalnya rencana kamu buat berhijab itu karena kata-kata aku yang kurang setuju keputusan Dini. Dini udah berkali-kali marah sama aku karena ngerasa beberapa kesalahan yang dia lakuin itu karena ngedenger pendapat-pendapat aku. Dia secara nggak langsung atau pun langsung, terbujuk sama apa yang keluar dari mulut aku dan akhirnya dia nyalahin aku. Sekarang, kamu juga ngerasa kalau penghinaan tadi diawali oleh aku? Kamu ngerasa aku yang udah bikin kamu kelelep di lembah masalah? Iya?!”
Belum sempat Rinan mengiyakan dan balas membentak, Aya kembali berbicara. “Fine!!!” Aya berbalik hingga terkibaslah rambut terurainya.
“Aku emang kesel sama kamu!” teriak Rinan di lorong yang memang sedang sepi. “Aku sebenernya capek ngeliat sikap-sikap kamu. Kamu selalu balas dengan omongan aku dengan masa bodo. Kamu nggak pernah keliatan peduli sama aku. Sementara aku selalu nurutin kamu dan nggak pernah komplain sama perbuatan kamu ke aku. Aku selalu sabar. Tapi... aku sedih, sepupu aku sendiri suka kasar bahkan nggak ngizinin aku tidur di kamarnya. Aku kalau tidur emang rewel, tapi segitunyakah cara kamu nolak sepupu kamu sendiri? Aku kayak nggak ada harganya. Aku cuma sepupu kecil yang polos, kolot, bolot, dan nyolot seperti yang kamu selalu bilang.”
Untuk pertama kalinya, Aya melihat Rinan tampak dengan wajah meruak yang membakar image lugu kekanak-kanakannya. Aya pun merasa bersalah karena baru menyadari keburukannya pada Rinan. Belum sempat Aya membenahi situasi, Rinan mengalihkan pandangan dan pergi.
***
Lempar sepatu ke pojok kamar. Lempar tas ke meja belajar (kebetulan di dalam tas tidak ada laptop yang biasa dibawanya). Hempaskan tubuh ke empuknya styrofoam yang bergumul-gumul bagai atom-atom di dalam spring bed. Berharap dengan terjatuhnya diri ke kasur kesayangan, maka semua sindir sinis teman-teman sekolahnya mulai dari teman sekelas Dini hingga bahkan teman-teman sekelasnya sendiri ikut terjungkal berhamburan.
“Hhhuuuhhh!!” Aya mendesah kencang dan panjang. “Sekarang apa?!” Aya menjulurkan kedua tangannya ke langit-langit kamar. “Rinan emosi ke aku, aku emosi ke Dini, dia udah pulang ke luar kota, dan harusnya papa nyium kening aku tadi malam dan aku cium tangannya tadi pagi. Puas! Huh!”
Penuh beban. Rinan, Dini, `si dia`, dan almarhum papanya. Semua itu beban. Seberatnya-beratnya pikulan.
***
“Assalamu`alaikum.”
“Wa`alaikum salam. Eh, Dini? Baru aja beberapa hati yang lalu kamu pulang, udah main lagi.”
“Biasa, Tante. Aku cepet kangennya sama rumah ini, hehe. Lewat sini juga, kan, kalo pulang dari sekolah, jadi aku mampir aja,” Dini masih dengan seragam putih abu-abu barunya yang syar`i.