Bu Hani langsung membuka pintu ketika mendengar klakson dari depan rumah. Ternyata itu Dini dan Aya yang tiada ekspresi, lebih tepatnya dia masih berekspresi, tetapi itu adalah ekspresi diam dengan lingkar panda di bawah mata. Bu Hani yang dasarnya tukang khawatiran langsung menanyakan semua hal yang bisa ia ketahui. Dini menjelaskan semua setelah Aya ditinggalkan berbaring di kamarnya.
“Segitunya banget, sih, mereka ke Aya! Kenapa juga Aya nggak pernah cerita padahal dia udah ngalamin ini sejak kelas satu?!”
“Gini, Tante. Kalau biasanya ada orang yang cuek buat ngasih perhatian, Aya sendiri cuek buat minta perhatian. Dan aku cukup seneng sama Aya selama ini. Meski kadang dia balas perbuatan orang-orang itu, dia lebih sering untuk berusaha cuek sama orang-orang itu. Aya orang yang paling suka minta ini itu. Apalagi sama Allah. Aku pernah denger dia berdoa. Terdengar kasar, tapi aku paham makna sebenarnya.”
“Ya Allah... Semoga mereka berhenti menzalimi aku, orang lain, dan diri mereka sendiri!”
Dari ujaran Dini barusan, terkuak bagaimana karakter Aya. Siapa yang bisa tebak sisi positif gadis satu ini. Ia pemarah, perajuk, pemaksa, pelit, kasar, keras kepala, angkuh, selalu tak peduli, tak senang membantu, dan tak suka mengakui kesalahannya (penulis bahkan baru menyadarinya). Dini akhirnya secara tak langsung mencetuskan. Jika ditanya, karakter Rinan adalah lugu, Dini bijak, dan Aya... Ia sebenarnya kuat, sabar, dan tegar menghadapi penzalimnya. Ya, itu Aya. Meski sulit untuk diakui.
“Oh, gitu, ya? Hmm... Papanya juga kayak gitu, sih,” Bu Hani memperdengarkan beratnya rindu. “Tapi Din... Kok, kamu sampe ngira mayat itu adalah Aya?”
“Tante, selama belajar, aku ngerasa nggak tenang dan hati aku bilang kalau Aya nggak bakalan betah belajar setelah kejadian itu. Pikiran aku langsung tertuju sama gudang sekolah. Ya, jelas aku kaget pas tau di gudang itu ada mayat karena aku sedari sebelumnya ngerasa kalau Aya lagi menyendiri di tempat yang sepi yaitu di gudang. Alhamdulilaah banget, dia baik-baik aja.”
“Makasih, ya, Dini atas kepedulian kamu,” Bu Hani membelai jilbab Dini. Ada sedikit debu dan jaring laba-laba di sana, dibersihkannya sekalian.
Dini kembali ke kamar berpintu putih itu dan duduk di samping Aya. Aya sendiri tengah bersandar di dinding kasur, “Kok kamu nggak tidur?”
Aya berkedip lemah. “Tidur nggak bakal bikin aku lupa sama masalahku lebih-lebih nyelesaiin masalah.”
“Tapi melamun juga nggak nyelesaiin masalah,” timpal Dini.
“Papa aku seharusnya ulang tahun hari ini tapi aku nggak bisa ngasih dia hadiah lagi. Itu masalahnya. Jadi aku harus apa?”
“Ulang tahun... Hadiah ulang tahun... Itu, kok, dipermasalahin?”
Aya memalingkan wajah, sebal. Dini malah membuatnya makin tak bahagia. Ingin membalas seperti biasa, namun kondisi sedang tak seperti biasanya.
“Lagian nggak usah ngerasa sengsara kalau nggak bisa ngasih seseorang hadiah ulang tahun. Kamu bisa ngasih dia hadiah tiap hari, kok. Bahkan setiap hari bisa jadi hadiah istimewa buat orang itu, apalagi seorang ayah.”
“Kamu ngomong apa, sih?” gumam Aya dengan manyunnya.
Dini mengangkat kedua tangannya lalu merentangkannya ke bahu Aya, “Kamu mau ngasih papa kamu hadiah?”
“Jelas, aku mau. Dan aku tau, kok, hadiahnya yaaa dikirimin doa, dibacain Surah Yasin, inilah itulah. Aku tau itu, kok. Tapi aku mau ngasih dia hadiah yang lebih dari itu. Jam tangan yang aku beli capek-capek di toko yang jauh banget. Itu nggak bisa aku kasih ke dia,” Aya mulai menangis lagi. “Sekarang palingan udah berdebu karena aku sembunyiin di bawah kasur aku.”
“Aya...” ucap pelan Dini. “Kamu tau, nggak? Hadiah terindah untuk seorang ayah adalah hijab yang dipakai oleh putrinya.”
Mata Aya berpendar.
“Nggak ada kata nggak bisa! Kecuali kalau kamu emang nggak sayang sama Allah, agama kamu, diri kamu sendiri, dan pastinya papa kamu,” sambung lembut Dini.
Aya diam. Berpikir panjang agar mesin-mesin diotaknya berputar tanpa macet-macet, tanpa ada yang mengganjal. Aya bingung dalam pelukan Dini.
“Nah, udah,” Dini merapikan hijab segi empat di depan cermin. Tersenyum manis untuk pertama kalinya di hari itu.
Aya menggerak-gerakkan bibirnya ke kanan dan ke sebelahnya lagi.
“Kenapa?” ucap Dini dengan perasaan sedikit sedih.
Aya tak menjawab. Hanya terus memeriksa bagian kanan kepalanya lalu bagian kepala kirinya di depan cermin. Dini tertegun di belakang Aya. Tampak di wajahnya, Aya tak suka untuk berhijab. Tak suka melihat kepalanya dibalut kain. “Aku nggak suka!” gertak Aya.