Hari ini adalah hari di mana sebulan yang lalu merupakan hari penuh duka, hari sepeninggalan Pak Fian. Hari ini, hari yang harus disertai semangat yang begitu besar kendati setiap hari memang harus selalu besar semangat. Perwakilan sekolah demi sekolah berhamburan di sebuah tempat yang akan dilaksanakan perlombaan olahraga seprovinsi.
Seragam maroon-biru tua menjadi tanda bahwa itu adalah perwakilan dari SMA 141. Enam diantaranya adalah siswi berhijab. Tiga diantaranya adalah Aya, Dini, dan Rinan. Mereka siap bertempur dengan kemampuan masing-masing. Aya, catur; Dini, tenis meja/pimpong; dan Rinan, panah. Begitupun kawanan mereka yang lain. Begitu bersemangat karena mendapat semburan semangat dari guru pendamping mereka yang masih berjiwa muda meski rambut sudah beruban tak ketulungan.
Hiruk pikuk makin keras. Di lapangan sepak bola, basket, bulu tangkis, lari, volly, bela diri, panah, pimpong, dan catur, semua sudah lengkap panitianya, jurinya, wasitnya, dan penontonnya-penontonnya. Suasananya sungguh ramai. Ini benar-benar perlombaan olahraga besar-besaran.
Tempat itu terdiri atas lapangan besar dan gedung yang tak kalah besarnya dan terdapat ruang tenis meja, catur, dan bela diri. Aya, Dini, dan Rinan duduk bersama di sebuah bangku panjang di lantai satu yang berhadapan langsung dengan ruang tenis meja, namun agak jauh jaraknya. Di sebelah kanan tampak ruang pertandingan catur, dan di kiri mereka ada ruang untuk lomba bela diri. Mereka bertiga tak berminat menonton pertandingan apapun selain pertandingan mereka sendiri. 8, nomor urut sekolah mereka untuk setiap pertandingan di babak pertama. Ini akan menjadi penantian yang panjang.
Sama-sama gugup, sama-sama menyemangati. Mereka harus bisa melakukan yang terbaik demi nama sekolah dan nama mereka juga. Aya, bersikukuh untuk menunjukkan bahwa orang yang selama ini sering dikucili hanya akan diam dari sorakan penghinaan, sedangkan untuk sorakan semangat, ia akan berteriak kencang meskipun hanya di dalam hati. Teriakan kencangnya itu memang tak akan membuat telinga yang mendengarnya harus disumbat, tetapi akan ada hati yang mendengung.
Lama mereka duduk di sana. Jauh dari kebisingan dan sesak. Benar-benar hanya mereka bertiga. Bekal yang dibawa Rinan sudah hampir dilahapnya padahal ia belum melakukan apapun. Snack-snack yang dibeli Aya di sekolah juga sudah tinggal bungkus-bungkusnya yang tak lama lagi terhempas ke bak sampah yang tegak berdiri di samping pojok ruangan. Air minum di botol Dini pun tinggal setengah. Habis diteguknya untuk tenggorokan yang kering karena melihat lawan-lawannya. Yang sedang bertanding lebih menyurutkan semangat Dini. Begitu hebat. Di matanya, bukan hanya olahraga tenis meja saja yang dilakukan oleh dua orang yang sedang bertanding itu, tetapi juga seni tenis meja. Tangan mereka tak sekadar menggenggam pemukul pimpong, tak sekadar memukul bola jingga itu, tetapi jua tampak gerak tangan yang lihai dan memukau mata. Gerakan kaki mereka tak kalah kerennya. Dini tak punya keahlian seperti itu. Ia hanya tahu memukul bola pimpong dengan cara biasa dan kaki yang bergerak biasa ke kanan dan kiri mengikuti arah pimpong yang datang. Dini menyayangkan karena kelebihannya hanya terletak di kemahirannya menaklukkan lawan agar tak bisa mencapai bola. Nervous. Dini, itu sudah lebih dari cukup.
Perlombaan memanah yang tadi terjadi kendala akan dimulai. Tentu Rinan sudah harus bersedia di lapangan karena penggiliran dalam lomba memanah tak butuh waktu lama. Mereka beriringan ke lapangan. Aya dan Dini menyemangati Rinan yang mulai mengambil posisi nyamannya dalam menggenggam alat panah dan busur. Gagah, layaknya seorang Srikandi. Di sana tak ada yang tahu keaslian pribadi Rinan. Aya dan Dini saja seolah lupa kekonyolan sepupu mereka itu saking terkesimanya.
Dini dan Aya tak bisa berlama-lama di luar gedung. Takut nantinya mereka terpanggil namun mereka tak datang, tereleminasi, mengecewakan sekolah, nama diri sendiri kembali jelek, hari-hari kembali murung, nongkrong sepanjang waktu dengan bantal dan selimut, dan irama-irama melow mengiringi setiap sekonnya. Tidak!! Itu tidak boleh terjadi! Kembalilah mereka ke aula. Duduk di bangku yang sama. Menunggu seperti yang sudah-sudah. Hanya sempat makan angin di lapangan memanah selama empat menit dan sempat teringat kejadian konyol di pesantren dulu saat bersembunyi di semak-semak di lapangan memanah.
Bosan, Aya meninggalkan Dini untuk pergi menyaksikan pertandingan catur yang tengah berlangsung. Di ruangan itu, meja tempat catur putra dan putri hanya berjarak sekitar lima meter. Dan sesudah ini, giliran Aya yang melawan salah satu SMA favorit di kota seberang.
Aya menyaksikan pertandingan itu sambil berdiri menyenderkan bahu ke sebuah tembok pembatas penonton karena ruangan itu memanglah tempat olahraga basket juga. Wajah Aya datar menunggu giliran. Bersandar di tembok membuatnya semakin terlihat santai sambil menyilangkan kaki. Salah satu tangannya menggapai sisi depan tembok, seakan-akan ia hendak mengeroposkan tembok itu karena lamanya menunggu. Padahal persiapannya dimulai sejak bangun pukul tiga subuh dan berangkat ke sekolah pukul enam pagi.
Tanpa Aya ketahui, di sisi samping tembok itu juga ada orang lain yang sedang bersender. Orang itu melihati tangan Aya tepat di depan matanya yang mencengkram sisi depan tembok selebar tujuh cm itu.
Seorang panitia catur menyebut nama sebuah sekolah setelah pertandingan sebelumnya usai. “SMAN 141! Putri!”
“Yes!” teriak Aya dengan semangat. Tembok yang dicengkramnya tadi beralih ia pukul dengan kepalan. Maksudnya, ia sangat siap.
Orang yang melihati tangan Aya itu, orang yang juga bersandar santai di tembok seperti Aya itu, termangu mendengar nama yang baru saja diteriakkan, termangu melihat tangan yang dihentakkan di depannya, termangu mendengar seruan semangat di samping telinganya dari balik tembok, termangu melihat sosok berhijab biru tua muncul dari samping tembok dan berjalan ke kursi panas catur putri. Orang itu terkesiap melihat Aya menyunggingkan senyum bahagia sambil mengatur pion-pion di papan hitam putih. Aya suka bermain catur dengan pion berwarna hitam.
Orang itu masih berdiri di samping tembok. Pelan ia menarik bahunya untuk berdiri tegap. Masih dengan mata yang tertuju pada Aya, pemilik tangan tadi. Pemilik tangan yang tak menyadari keberadaannya. Dan masih tak menyadari keberadaannya. Tak seperti orang itu yang dulu, sebulan lalu, seketika saja menyadari kehadiran Aya. Mungkin Aya sangat bersemangat untuk pertandingan kali ini sehingga tak sempat melirik sejenak ke arah tembok tempatnya berdiri tadi untuk sekadar mengetahui bahwa ia hari ini berjumpa dengan orang yang pernah membuatnya takut.
“Pesantren Miftahul Khair Al- `Ilmi! Putra!” teriak lagi panitia catur. Kali ini, giliran kelompok catur putra yang berganti pemain.
Suara panitia barusan tak begitu kencang, namun nama pesatren itu menggema di telinga Aya. Tadinya ia telah fokus pada catur di hadapannya, lalu ia hilang fokus karena kepalanya langsung larak-lirik ke setiap sisi. Beberapa pion terjatuh ke lantai karenanya. Lagi pula, belum pasti juga jika orang yang ia cari ada di sana. Bisa saja perwakilan dari pesantren itu bukan orang yang ia kira.
Panitia menegur Aya. Keras. Panitia itu benar-benar garang dan Aya malah membuatnya marah. Jika dalam format penilaian juri ada penilaian kesopanan, mungkin Aya akan langsung mendapat nilai nol. Aya pun segera memperbaiki posisinya. Karena mendapat teguran yang begitu nyaring dan menyeramkan, Aya tak lagi berani menoleh sedikit pun. Ia bahkan tak berani meliriki orang yang menjadi perwakilan catur dari pesantren yang pernah ia datangi itu. Pikirannya buyar. Permainan caturnya tak pernah seburuk ini.
Dini juga sudah memulai pertandingannya. Sejauh ini, semua baik-baik saja. Dini terus tersenyum dan itu menandakan bahwa permainannya berjalan mulus. Nilainya melesat dari lawannya.
Baru beberapa menit, pion-pion hitam dilahap oleh pion-pion putih. Baru kali ini Aya merasa tertekan dalam pertandingan caturnya. Teknik ini, taktik itu, lawannya berhasil melumpuhkannya. Beri Aya lebih banyak waktu sehingga ia bisa memperbaiki semua dan mencegah kekecewaan dari orang-orang yang mempercayainya.
Rinan bermain dengan baik. Setidaknya ia lebih baik dari tiga lawannya di babak pertama itu. Ya, Rinan berada di posisi keempat dari belakang. Sementara jumlah sekolah yang ikut perlombaan ini adalah sebanyak dua puluh tiga sekolah. Rinan telah mengerahkan seluruhnya. Angin juga tak bisa disalahkan.
Pertandingan Aya selesai. Ia sudah berusaha sebaik mungkin mengejar ketertinggalan tadi karena pikirannya sempat tertanggu. Tidak. Pikirannya bukan sekadar sempat terganggu tetapi justru terus terganggu. Akhirnya pertandingan itu dimenangkan oleh bukan dirinya. Kesal! Semua ini karena hal barusan dan akibatnya adalah rasa malu di hadapan sekolahnya. Sang juara catur seprovinsi tahun lalu, hari ini gagal di babak pertama. Lebih parahnya lagi, saking fokusnya Aya pada caturnya hingga selesai, ia tak bisa melihat orang itu. Padahal setidaknya Aya bisa melihatnya dari jarak beberapa meter. Huh!
SMAN 141 pulang dan hanya dua perwakilan yang berhasil lolos ke babak selanjutnya esok hari, yaitu perwakilan tenis meja putri dan catur putra. Sisanya, jatuh di permulaan. Lagi-lagi hanya Aya yang terkena sembur. Rinan pun diikutkan dalam hal ini. Katanya, nasib Aya dan Rinan memang tidak bisa semujur Dini. Dini adalah orang yang memang patut mendapat jempol sedangkan Aya dan Rinan hanya orang yang selalu mengekor di belakang Dini dan tak bisa diandalkan. Aya yang dianggap pengganggu dan Rinan yang dianggap kekanak-kanakan lagi-lagi disembur.
“Kalian harus bersyukur. Mereka ngehina kalian, berarti mereka ngambil dosa-dosa kalian. Setimpal, kan?” Dini ingin menggurat senyum di wajah bete Aya dan Rinan.
“Din,” Aya memberi ekspresi tak senang, “Kamu selalu aja ngomong kayak gitu. Kamu nggak ngerti perasaan aku juga perasaan Rinan.”
Tanpa basa-basi, Dini langsung beranjak dari kasur, membelakangi Aya dan Rinan.
“Kamu yang nggak ngerti! Aku emang ngomong itu-itu terus, tapi nggak cukupkah buat bikin kalian paham kalau Allah sayang sama hamba-hambaNya?” ucap Dini keras namun halus, “Apa aku harus jelasin lebih panjang lagi kalau Rasulullah pernah bilang bahwa orang-orang yang bersabar dan menahan marahnya itu akan dikerumuni oleh banyak malaikat di sampingnya dan ketika orang itu udah marah, maka malaikat-malaikat tadi pergi dan iblislah yang datang dengan jumlah yang sama banyak? Rasulullah pun ninggalin sahabatnya yang lagi marah karena Rasulullah nggak mau berada di antara iblis-iblis itu,” jelas Dini.