Dua tahun berlalu. Pendidikan masih dikejar. Bedanya sekarang sudah tak pakai seragam lagi. Bebas mau pakai apa. Kalau tak mau ditegur dosen, berpakaian sopanlah. Masih dengan jilbabnya, tak pernah lupa rok gembrong yang tak akan menunjukkan lekuk-lekuk tubuhnya. Lengkap dengan sepatu flat dan kaki yang juga dibungkus. Karena juga merupakan aurat maka ditutupi oleh kaos kaki.
Di bahu, bukan lagi tas ransel unyu yang tergantung. Tote bag-lah yang kini menjadi pelindung buku, pulpen, handphone, dan dompet. Tak ketinggalan power bank, flash disk, dan kabel data. Semuanya penting, tak ada yang memerlukannya jika hanya tergeletak di rumah dan akan memusingkan jika dalam keadaan darurat, mereka tak ada. Kecuali jika semua teman kampus itu senang berbagi.
Aya dan Dini satu kampus tak sefakultas. Rinan sendiri, masih kelas 12, sedang di masa-masa tenggangnya. Pak Sopir masih setia mengantar jemput tiga akhwat itu, demi memberi hidup bagi ketiga putrinya. Ya, saat di rumah dan saat bekerja, suasananya tak jauh berbeda untuk Pak Sopir.
“Nah, temennya sepupu aku ini katanya udah nolongin perampok yang dibegal. Hahaha!” ujar Naura, teman sejurusan Aya yang tengah menceritakan ulang cerita dari sepupunya kepada empat orang temannya termasuk Aya di kantin. Orang-orang yang mendengarnya tertawa geli. Bayangkan saja. Katanya ada perampok yang baru saja merampok motor orang dan malah dibegal di tengah jalan. Lalu yang dibegal itu ditolong oleh orang baik-baik. “Dia nggak tau kalau yang ditolonginnya itu rampok. Karena kasihan, ya, pasti refleklah buat nolongin orang yang dibegal itu. Dan untungnya dia emang jago silat.”
“Owallaah... Haha!”
“Temennya sepupu aku ini katanya alumni pesantren yang terkenal itu, loh. Tau, kan? Pesantren Mikail!” sambung Naura.
“Oh, pesantren yang dua tahun lalu ngeborong medali di perlombaan olahraga waktu itu, ya?” tanya teman yang berkaca mata lensa positif.
“Iya.”
“Wah. Anak pesantren, ih! Keren!”
“Tunggu!” sela Aya yang juga tadi ikut tertawa. Aya memang orangnya gampang tertawa sekalipun pada humor yang tak begitu lucu. Kendati demikian, cerita barusan sangat lucu baginya. “Alumni Pesantren Mikail?”
“Iya,” jawab Naura.
Aya, satu-satunya hijaber yang nimbrung di sekumpulan teman dekatnya tertegun dan kembali menyantap bakso dengan pelan. Terlalu pedas. Ia tadi tak sengaja menuang banyak saus. Dan selain lidahnya yang tak henti terasa panas, hatinya pun tak henti gusar. Usai mengikuti mata kuliah terakhir, Aya pun mencoba melakukan sesuatu yang mungkin akan menenangkannya sedikit.
“Naura,” ujar Aya setelah memastikan tak ada siapa-siapa selain dirinya di ruangan itu. “Aku boleh ngomong sebentar?”
“Nggak usah, deh. Mau ujan, nih, kayaknya,” Naura memegangi selempang tasnya.
Aya merasa sedikit kecewa tetapi ia pasrah saja dengan mengangguk-ngangguk kecil.
“Ya, bolehlah! Masa gitu aja kamu pake nanya, sih,” rupanya Naura hanya bergurau. “Lagian apa hubungannya ujan sama ngomong?”
“Ih,” Aya merasa tertipu padahal wajahnya tadi sangat memelas. “Ya, ada, dong, hubungannya. Tapi aku nggak bisa jelasin. Nah, aku mau tau, sepupu kamu sekarang kuliah semester berapa?”
“Kok nanyain dia, sih? Pengen dikenalin, ya...?” goda Naura.
“Nggak!” Aya menampik keras. “Aku cuma mau tahu, orang yang kamu ceritain di kantin tadi itu temen aku atau bukan.”
“Mang Ito?”
“Ih... Bukan cerita kamu yang itu. Yang... orang pesantren itu.”
“Ehm,” Naura melirik ke kanan atas. “Aku nggak tau.”
“Kalau gitu, kamu bisa tanyain namanya ke sepupu kamu, nggak? Dan sepupu kamu kenal orang itu di mana?”
“Sepupu aku satu kampus bahkan satu jurusan sama si penolong rampok itu. Kita seangkatan, kok. Sama-sama semester satu. Nanti aku tanyain lagi, ya?”
“Iya. Ehm, makasih.”
“Ok!” Naura berjalan ke luar duluan.
“Eh, Naura!”
Naura berbalik dan memberi isyarat `ada apa lagi?` lewat mata.