Mobil hitam berhenti di depan sebuah rumah yang berhalaman asri. Tiga puluh detik, sunyi. Sepertinya orang yang berada di sana masih berdiam diri. Pintu depan kanan dan kiri terbuka bersamaan. Tampaklah tangan yang terbungkus lengan panjang hitam hingga dipergelangannya. Ada dua orang rupanya di mobil itu, keluar dengan pakaian rapi. Orang yang keluar dari pintu sebelah kiri lebih tua. Lima puluhan sekiranya. Berjalan ke depan mobil, menapakkan kaki hingga ke dekat orang yang tadinya menyetir mobil.
Angin mengiringi lambaian-lambaian dedaunan rimbun, berbunga indah, dan tertata rapi di halaman yang serupa taman kota penuh kesejukkan yang tengah dipijak jengkal demi jengkalnya oleh dua orang lelaki itu.
Tibalah di beranda rumah dua tingkat semacam istana itu. Ubin keramik hijau bercorak-corak yang pastinya dibeli di luar negeri menjadi penyambut pertama. Selanjutnya, entah siapa yang akan menjawab salam kedua orang itu.
“Assalamu`alaikum,” ucap si pemuda usai menekan bel.
Tentu tak akan langsung terbuka pintu ciamik itu. Butuh beberapa waktu untuk menunggu penghuni rumah melewati ruang demi ruang di dalam rumahnya hingga sampai di gagang pintu berwarna silvernya. Terlebih jika yang akan membuka pintu itu berjalan dari lantai atas. Dua kali akan lebih lama.
Pintu terbuka. “Wa`alaikum salam,” ucap seorang gadis yang sebenarnya tadi enggan membuka pintu. Bukan karena takut bila tamunya itu orang yang menyimpang, tetapi ia memang istilahnya tak suka melihat dan dilihat. Bahkan itu sudah kebiasaannya sebelum hijrah. Maksudnya, ia ingin lebih menjaga jarak dan pandangan ke lawan jenisnya. Bukan sekadar berlandaskan cadar, tetapi agamanyalah yang memerintahkan. Ia ingin melaksanakan sunnah itu dengan lebih baik lagi.
“Harusnya aku nyuruh yang lain buat ngebuka pintu” atau “Tuh, kan! Apa aku bilang? Aku emang paling nggak suka ngebukain pintu kalau ada tamu” adalah daftar kalimat yang bisa ia pilih untuk mewakilkan perasaannya sekarang. Namun berkata seperti itu sudah semacam menolak qadar, mengeluh, dan sebagainya, yang harusnya diusahakan untuk dihindari. Olehnya itu, sepersekian detik usai menyadari siapa tamunya, gadis itu langsung menundukkan kepala. “Inilah yang aku takutkan, Ya Allah,” celetuk batinnya.
“Tunggu sebentar, ya?” ucap wanita itu lalu masuk ke rumahnya.
Si pemuda mengenal suara itu. Ia tersenyum. Berdecak kagum meski tak ada sepatah huruf pun yang tersingkap di hatinya. Bisa dibilang, ia tak tahu cara mendefinisikan pujian pada wanita bergamis dan bercadar itu. Lagi pula, ada hal yang lebih penting untuk disampaikan.
Tak lama, datanglah dua orang wanita paruh baya yang hijabnya tak kurang dari hijab wanita pecadar yang kini tak tampak lagi. Usai prosesi memberi dan menjawab salam, ibu-ibu itu mempersilakan tamunya masuk.
Duduklah dua orang itu di sofa yang telah dipastikan empuknya akan membuat nyaman bagi orang yang duduk di sana. Begitu pun bagi wanita yang salah satu diantaranya, Bu Resi, merupakan pemilik istana di tengah polusi (kota) itu.
“Terima kasih telah menerima kami di rumah ini,” ucap tamu yang lebih tua.
“Dini, sini, deh,” Rinan mengajak Dini berdiri di balik dinding dapur seperti dirinya untuk bersama-sama mendengar pembicaraan di ruang tamu.
“Rinan, nguping itu nggak baik,” tolak Dini sambil menyalakan kompor untuk memasak air di panci. Saat itu, hatinya pun sedang berbunga-bunga. Terlalu bahagia, namun masih bisa ditahan untuk diluapkannya.
“Saya Kamaruddin, paman jauh dari anak ini.”
Kedua wanita itu, ibunda Dini dan ibunda Aya, mengangguk tenang.
“Maksud kami ke sini adalah untuk melamar putri yang ada di rumah ini,” sambung pria yang biasa dipanggil Daeng Kama itu.
“Hah!” pekik Rinan, “Dini! Orang itu mau ngelamar!” Rinan berteriak pada Dini dengan suara seadanya agar tak terdengar dari luar.
Mendengar seseorang datang melamar ke rumahnya sendiri, Dini terkejut. Tak pernah sebelumnya jantungnya berdentam seratus kilometer per jam. Kulitnya merinding meski tubuhnya terbalut sempurna oleh hijab. Untuk pertama kali, hatinya mendengar sesuatu yang baginya sangat dan sangat mustahil. Namun ini benar adanya. Dini akhirnya tergerak untuk ikut menyelitik di samping Rinan.
“Keponakan saya ini namanya Ridho. Dia ingin meminang seorang gadis yang berada di rumah ini.”
Masih seratus kilometer per jam pilar-pilar di jantung Dini.
“Anda ingin melamar putri saya?” tanya Bu Resi yang sebenarnya tidak mengenal sama sekali dua orang yang ada di hadapannya.
Mata Dini mulai berbinar-binar.
“Betul, Bu. Saya ingin melamarkan keponakan saya ini dengan seorang wanita yang katanya sedang berada di sini bernama...”
Sebelum melanjutkan jawabannya, Daeng Kama tampak membisik pemuda di sampingnya sejenak. Daeng Kama sedang memastikan bahwa nama yang akan ia sebut itu benar.
Ini nyata. Tak lagi ungkapan bahwa mimpi yang terbangun sedari enam tahun lalu hanya lautan di gurun pasir. Pertemuan itu bukan lagi antara matahari dan bulan, melainkan biru di langit cerah.
“Aya,” tuntasnya.
Titik air dari kedua kelopak mata Dini terjun menyentuh permukaan kain cadar yang hanya beberapa mili meter di bawah matanya. Air mata sembilu. Air mata itu semula bergumul-gumul bak kaca-kaca elastis yang melimpah ruah di pelupuk mata, bersiap-siap jatuh sebagai lambang suka cita. Putri di rumah itu? Siapa lagi kalau bukan dirinya? Aya? Sepupunya itu? Dia bukan putri dari rumah itu. Rumahnya jauh di seberang sana. Namun kebetulan memang ibunda Aya sedang berada di rumah itu. Jarang-jarang sebelumnya.
***
Duduk melipat kaki di kasur berseprai jingga, wajahnya ditumpukan ke guling berwarna lembut yang dipeluknya, membiarkan air mata terusap sendiri di dalam situ.
Aya yang hari ini baru pertama kali memakai jilbab berwarna merah terang, menangis sekuasanya. Ia tahu semua ini akan mengguratkan luka tak berdarah. Namun ia sendiri memang tak tahu lagi harus apa. Selain memikirkan masalah yang akan terjadi di hari itu, Aya juga berdiskusi dengan batinnya dalam genderang pahit. Ia bertanya pada dirinya sendiri lalu memprovokasi dirinya juga. Ia berusaha mencari cara agar meski hari ini harus melilit hati, esok semua kembali berseri seperti bunga-bunga di halaman rumah Dini. Bagaimana? Bagaimana cara Aya menyembuhkan perasaan sepupunya itu?
Ya, kini Aya tengah melipat wajah di kamarnya di rumah Dini, di tempat seseorang yang hendak melamarnya berada, di tempat seseorang lainnya sedang teriris-iris. Ridho datang melamarnya dan Dini dipastikannya sedang bermuram hati karena merasa tertipu, dipermainkan, disakiti terang-terangan.
“Din,” Rinan yang juga terkejut menoleh dan mengusap air mata Dini. “Kamu kenapa? Kok nangis?”
Dini tak menjawab. Tubuhnya membungkuk, gamisnya menyapu lantai. Ia hendak duduk meringkuk. Terlalu berat jika menangis sambil berdiri.
“Ehm, Dini. Aku nggak bisa nemenin kamu dulu. Aku mau ke WC bentar,” Rinan meninggalkan Dini yang kesulitan untuk berucap. Rinan benar-benar polos. Ia tak bisa menerka alasan tangis Dini merebak. Anehnya, di wajah yang masih tampak lugu itu, terlihat hidung yang memerah dan mata yang juga seperti ingin menangis. Oh, Rinan sedang flu.
Dini mematung di lantai dapur, Aya masih memeluk gulingnya hingga kuyup, dan Rinan... Ia berdiri tertatih sambil meletakkan tangannya di wastafel kamar mandi.
***
“Nak, Ridho. Terakhir kita ketemu adalah sekitar... delapan tahun yang lalu dan kamu serius ingin melamar anak saya?” tanya Bu Hani.
“Iya, Bu. Apapun keputusannya, saya akan menerima,” jawab Ridho yang makin gagah dengan sepatu kulitnya. “Dan, memang benar. Kita terakhir bertemu sudah sangat lama. Tapi kemarin, untuk pertama kalinya saya sudah berkomunikasi dengan Aya”
“Di mana kamu dan Aya bertemu?”
Ridho memaparkan bahwa ia tak bertemu langsung dengan Aya. Melalui media sosial, Ridho mengirim pesan. Tanpa basa-basi, ia mengetik ucapan salam lalu mengatakan hal ini langsung, tanpa panjang lebar, to the point. Beberapa jam kemudian barulah dibalas. Mungkin karena baru dibaca oleh Aya. Dituliskannya sebuah alamat rumah dan mengatakan bahwa jika Ridho memang penuh dengan kesungguhan hati, maka datanglah ke alamat itu esok harinya.
Untuk masalah di mana mereka mendapatkan akun satu sama lain sehingga dapat terhubung via whatsapp, kisahnya berawal sewaktu kuliah dulu. Ridho pernah keluar dengan satu orang temannya. Ridho dan temannya itu dari jauh melihat orang yang mereka kenal berjalan bersama. Teman Ridho melihat sepupunya, Ridho melihat Aya. Hanya begitu hingga Aya dan yang dikawaninya hilang dari pandang. Belakangan teman Ridho itu bertemu dengan sepupunya yang merupakan sahabat Aya.
“Oh... Jadi kamu beneran temenan sama orang yang dimaksud sahabat aku? Kenapa baru ngomong sekarang?!”
“Iya. Gue juga baru nyadar kalo Ridho itu jago takraw dan pinter ngaji. Bahkan hapal satu Al-Qur`an. Dan udah lama, sih, pengen gue kasih tau tapi gue suka lupa. Kita, kan, juga jarang komunikasi. Ketemu aja berapa bulan sekali.”
“Astaga! Berarti perkiraan sahabat aku bener, dong, kalau temen kamu itu temen dia juga.”
“Ya... Mau gimana lagi? Nggak ada waktu buat main takraw. Lagian mau mau main di mana juga? Gue juga sebenernya jarang bareng dia. Pas akhir-akhir kuliah, gue baru nyadar di hafiz. Yang lain juga pada nggak ngasih tau. Udah! Kasih tau aja temen lo sekarang.”
“Udah lulus kuliah, kamu pikir dia masih perlu info ini?”
“Barangkali iya.”
***
Setelah pesan berisi alamat dari Aya itu terkirim, tak ada lagi balasan dari Ridho maupun pesan yang kembali dikirim oleh Aya. Tak ada embel-embel, tak tak ada obrolan lain, tak ada modus-modusan, atau sekadar ucapan selamat malam. Satu pesan yang dikirim masing-masing diantara mereka cukup untuk mewakilkan semua perasaan.
Aya tersenyum usai membalas chat. Rupanya orang yang pernah diceritakan oleh Naura itu benar-benar Ridho yang ia kenal. Hanya saja sepupu Naura yang masih kurang mengenal dalam sosok Ridho sehingga mengaku-ngaku saja tak pernah bertemu orang sesempurna itu. Yang makin mempermanis lengkung bibir Aya adalah perihal cara Ridho mendapatkan nomor whatsapp-nya. Ridho dengan datarnya meminta pada temannya untuk dimintakan lagi pada sepupu temannya itu, Naura. Tak lama, mata Aya berpendar pilu.
***
Bu Hani memohon izin untuk ke kamar Aya. Ingin Aya yang menjawab. Pintu kamar dibuka, Aya pun menyadari bahwa ia lupa menguncinya agar Dini atau pun Rinan tak bisa masuk. Untunglah yang datang itu adalah ibu tercintanya. Namun, ini juga masalah.
Fyuuuuuu...
Air yang dimasak Dini telah matang. Seperti biasa, dari corongnya keluar uap disertai suara nyaring bersuling. Antara tak mendengar atau memang tak peduli, Dini tak beranjak untuk mematikan kompor. Bu Resi yang mengira bahwa di dapur memang tak ada orang pun memohon ke dapur.
“Kamu kenapa, sayang?” dalam situasi dan waktu yang sama, secara bersamaan Bu Hani dan Bu Resi merangkul putrinya masing-masing. Hanya tempat yang membedakan. “Kok kamu nangis?”
Aya dan Dini tak menjawab.
“Sayang, kamu tau, kan, hari ini seseorang datang melamar kamu?” kata Bu Hani.
“Dia udah dateng, Mah?” tanya getir Aya. Berarti sekarang semua sudah dimulai, lanjut batinnya.