FII AMANILLAH

Husnulispedia
Chapter #16

15) Kamera Penostalgia

Aya sebenarnya ingin berlama-lama di kamar Rinan karena tak ada juga yang bisa ia lakukan di luar kecuali berbicara sesekali dengan ibunda Rinan. Rinan yang mulai membicarakan hal yang sensitif itu membuat Aya terpaksa keluar. Duduk di sofa merah hati, bersandar hingga mendapat posisi duduk yang nyaman, Aya menyalakan data seluler handphonenya, menatap layar Instagram, tombol 'cari' ,mengetik huruf 'R' di awal, langsung muncul nama yang dicarinya dan meng-kliknya. Sebelumnya ia memang pernah mencari akun itu, jadi jika diketik lagi akan muncul langsung. Sejak berhasil mendapatkan akun itu, hanya satu kali pernah dibuka Aya. Itu pun tak lebih dari setengah menit karenan rasa tidak berani, padahal bukan akun hantu. Kini ia mencobanya lagi.

Scroll... Scroll... Scroll... Rencananya begitu. Aya yang tadinya sudah mengumpulkan segala macam keberanian dan rasa kepo mendalam serta mengenyahkan gengsi merasa tergelitik. la memang tak melihat di bagian atas tertulis bahwa postingan di akun itu hanya ada dua belas. Yah, paling tidak, postingan yang cukup sedikit itu memberikan ratusan bunga untuk Aya. Tujuh panorama alam, dua gambar pesantren, dua potret acara seminar, dan satu foto kumpulan ikhwan yang berbaris rapi dan sepertinya itu foto alumni. Tak ada foto pribadi yang bisa dilihat. Hanya dari foto tahunan siswa itulah Aya bisa mengenang wajah itu yang sebenarnya agak samar karena harus di-zoom. “Dasar, Pak Ustad,” gumam Aya membaca semua caption yang serba kata-kata dakwah pendek namun menggerakkan hati. Tersenyum kagum seperti dulu-dulu. Kemudian Aya membuka 'following' akun itu. Satu per satu di-stalking-nya, siapa tahu ada foto pemilik akun tadi di akun teman-temannya. Akun ke-dua puluh delapan membuat Aya mengurut kening.

“Alhamdulillah, beliau sudah mendarat di Makassar dengan selamat. Tunjukkan siapa anak yang selalu tersisihkan dulu. Jaga diri di sana, ya, Daeng.”

Begitulah caption yang mengiringi foto yang dipotret di sebuah bandara dan terlihat dua orang pria dengan rentan usia berbeda berdiri berdampingan memegang koper masing-masing. Senang bisa melihat lebih jelas wajah itu.

“Eh? Ada hubungan apa orang ini dengan dia? Dan kayaknya orang ini nggak berada di tempat yang sama. Bukan. Bukan itu pertanyaan aku yang sebenarnya. Di mana aku pernah ngeliat perempuan ini?” Aya menggigit telunjuk jari tangan kanannya

Nama akun itu Zakirantia dan foto profil yang tengah bernaung di retina Aya pasti adalah orang yang bernama cantik itu. Sesegera mungkin Aya memohon izin pulang pada mamanya Rinan. Dan Bu Hani yang sedang membantu membuat kue juga terpaksa harus pulang sendiri nantinya.

Ada sesuatu yang ingin Aya pastikan. Laptop... refresh ... start... computer... pictures... folder... Aya mencari sebuah foto yang tertumpuk oleh ribuan foto dan tumpukan waktu. Jelas, foto itu sudah bersarang di laptopnya selama delapan tahun. Foto itu ia ambil ketika sedang meng-cut foto-fotonya bersama Dini dan Rinan dari sebuah kamera. Iseng melihat foto-foto lain di kamera pinjaman itu, Aya menerka bahwa foto orang yang mendominasi di dalamnya merupakan pemilik kamera itu. Cantik dilihatnya, tidak salah jika di­copy satu.

Lihat laptop, lihat handphone. Sama. Gadis berhijab itu masih semanis dirinya bertahun-tahun yang lalu. Aya ingat sesuatu. “Kayaknya mereka masih berteman baik sampai sekarang. Seru banget. Tapi kenapa juga perempuan ini ngepost hal kayak ini? Banyak, lagi. Keluarga, kah? Atau... calon keluarga?” datar, sedih, murung, kesal, berpadu di wajah Aya. “Tapi cantiknya emang masya Allah banget, sih.Wajar kalau...” Aya langsung melipat tegas laptopnya.

“Astaghfirullaah, Haura! Kamu, kok, ngepost ini?”

Langkah-Iangkah kecil terdengar dari belakang. “Nggak apa-apa, dong.”

“Kamu kacau banget, ya? Kamu ngepost foto kayak gitu dan di IG aku, lagi! Nih, Kakak hapus foto ini dari akun Kakak.”

“Ih, kok gitu, sih, Kak? Kakak, tuh, yang kacau.”

“Apa? Kamu mau unggah foto itu lagi? Nggak! Bikin malu.”

“Tapi, kan, itu buat nunjukin kalau Kakak itu perhatian.”

“Perhatian apanya? Kamu pikir ini cara yang benar? Kamu kira ini perlu? Kamu rasa dia akan kagum?”

Remaja enam belas tahun namun sudah hampir setinggi kakaknya itu manyun dan memutar-mutar biji matanya mendengar celoteh halus itu lalu pergi.

“Jangan coba lagi, ya, Haura?” sang kakak itu memang kesal, namun tak ada guratan yang bisa menghapus nuansa ceria yang terbawa di pipi agak tembemnya sejak lahir.

“Pasti ibunya ngeden sambil senyum-senyum bukan teriak-teriak kesakitan,” begitu kata orang-orang.

“Kebiasaan, deh, si Haura minta dikirimin foto dari Om Kama,” kata wanita itu yang beberapa hari lalu genap berusia seperempat abad. “Alhamdulillah juga kalau gitu.”

***

Tak bisa berhenti pikiran Aya tentang perempuan itu meski hanya ada satu foto yang mengecohnya dan itu pun empat menit yang lalu sudah terhapus.Namun hilangnya foto itu bukan berarti beban Aya telah pergi jua.

“Astaghfirullah... Apa aku masih belum bisa move on? Heh! Aku adalah Aya. Move on itu kebiasaan aku dulu yang masih ABG. Masa umur dua puluh kalah sama anak labil?”Aya menegur dirinya sendiri.

Rana, sapaan Zakirantia masih berseluncur di Instagram. Hobi membaca berbagai postingan dakwah islami kreatif sudah ada sejak awal ia mengenal internet, yaitu tepat di hari ia selesai melaksanakan UN tingkat SMA. Begitu lambat dibanding kebanyakan anak-anak now termasuk adiknya, Haura. Wajar, orang tuanya tak pernah merekomendasikan benda persegi panjang itu agar ia fokus dengan pesantrennya. “Aku lebih duluan kenal cinta daripada internet,” canda Rana dalam hati.

Sekarang Rana tak sengaja membaca nama akun yang sembilan menit lalu memberikan love pada foto ala-ala candidnya di suatu area outbond, dudukdi ayunan warna-warni dengan gigi putih rapi yang tak membiarkan senyumnya sendirian sebatas bibir yang melengkung saja. Dari foto profil akun itu, Rana serasa pernah melihatnya. Hanya saja terlupa kapan geranganitu. Ah, pikirannya yang mengkilat segera menjawab.

Komputer ... Refresh ... Windows+E ... Data D... Folder 'photos'... Folder  'This Is Happy'. Rana tersenyum. “Berkat kamu, aku dulu jadi bisa liat foto dia tiap hari.”

***

Di alun-alun waktu itu, Ridho rela berlari ke suatu tempat demi bisa meminjamkan kamera untuk Aya, Dini, dan Rinan. Kamera itu milik Rana. Mereka saling mengenal sejak Ridho turun ke jurang yang untungnya tak begitu dalam untuk mengambil motor Rana yang terjatuh. Rana sendiri berhasil menyelamatkan diri sehingga tak ikut meluncur bersama motornya di tempat yang kebetulan sepi. Seorang ikhwan yang bersepeda lewat dan langsung menurunkan diri ke jurang sedalam satu meter itu kemudian mencari jalan yang bisa ditanjaki motor itu dengan baik.

Pulang dari alun-alun, Aya meng-cut foto-fotonya. Iseng ia mengambil satu foto perempuan tak dikenalnya. Rana melihat-lihat isi kameranya setelah dikembalikan. Ada satu foto yang bukan ia yang mencekreknya. Foto tiga perempuan bersama seorang laki-laki yang tersenyum kaku pada kamera. Foto itu tak ia hapus, justru disimpan baik-baik di komputernya dan hampir tiap hari dilihatnya. Oh, foto itulah yang pernah dicari-cari Aya karena hanya di foto itu, Ridho berpose dengan apik, tidak buram. Ternyata terlewatkan oleh Aya. Ia gusar.

***

Sudah tiga hari sejak kejadian yang antara disengaja atau tidak itu terjadi. Berarti sehari kemudian seharusnya pertengkaran sudah tiada. Pukul tiga, Aya baru saja meninggalkan bangku kerjanya. Kebetulan jam kantor berakhir cepat. Pulang cepat, udara sejuk, selalu menjadi kombinasi yang pas untuk menghadirkan kebahagian.

Dari jarak sekian meter, Aya menekan tombol pembuka kunci mobilnya. Mobil merah itu, mobil peninggalan ayahnya itu, masih mengkilat dan cantik meski sudah belasan tahun dibeli. Sesekali Aya masih berani membayangkan harapannya sewaktu kecil.

“Kalau Papa udah punya mobil, aku nggak perlu naik angkot lagi, kan? Papa sendiri yang bakal selalu ngejemput aku dari sekolah pake mobil Papa, kan? Bahkan Papa juga akan tetep ngejemput aku dari kantor saat aku udah kerja nantinya. Iya, kan, Pah?”

Ah, teringat celoteh kala masih lugu-lugunya dengan mengenakan seragam merah putih di pangkuan sang papa. Di parkiran yang luas dan dipenuhi pepohonan rindang itu, Aya menyunggingkan senyum manis yang rindu.

Pulau ketenangan terbelah dan tenggelam saat Aya duduk di mobilnya. Seseorang tiba-tiba saja membuka pintu mobil penumpang di sampingnya dan berseloyor duduk lalu menutup kembali mobil itu. Aya tak segera berteriak ketakutan. Justru ia sedang mempersiapkan kata-kata geram pada orang tak beradab itu.

“Ada apa?!” pekik Aya. “Lebih baik kamu pergi!”

“Loh... Kenapa? Takut dikira ber... berkhalwat, ya? Tenang aja, kali,” ucap orang itu dengan santainya yang tentu saja membangkitkan kekesalan Aya. “Kita, kan, saudara. Jadi nggak ada masalah, dong?”

“Kamu mau apa? Aku pikir, tanpa aku hubungi, kamu tau apa yang aku lakuin.”

“Oh, jadi sengaja, ya, nggak ngehubungin aku atau seenggaknya nge-SMS aku kalau misi kamu berhasil karena alasan itu?”

“Heh,” Aya menyeringai, “Pake ngomong `aku-kamu`.”

“Kenapa? Semua orang bisa berubah.”

“Sikap kamu nggak pernah berubah!”

“Kamu juga nggak berubah. Masih seperti adik yang dulu. Baik dan cuek... tapi nurut.”

Aya sedari tadi sudah berusaha tenang, namun tak bisa tertahan lebih lama lagi. “Aku, kan, udah nurutin kemauan kamu jadi sekarang kamu bisa pergi, kan?!”

Orang itu bersandar di jok mobil, duduk santai sambil mengusap-usap rambut lurusnya. Dua karyawan lewat di samping mobil Aya yang merupakan rekan kerjanya. Mereka melirik curiga. Orang yang sedari tadi mengganggu Aya pun membuka kaca pintu mobil dan mengeluarkan kepalanya.

“Eh, Mas!” kata si pengganggu Aya. “Ada apa ngeliat-liat kayak gitu? Ngeliat kita berantem? Jangan mikir yang nggak-nggak, ya? Dia ini saudari saya.”

Dua karyawan itu pun mengangguk pelan dan melanjutkan langkah. Aya mengurut keningnya sambil memicingkan mata, “Saudara?”

“Iya, Ukhti.”

“Udah! Sekarang kamu pergi!”

“Dari tadi kamu maksa banget, ya? Udah! Jalanin aja mobil kamu sampe rumah karena aku mau ketemu mama.”

“Mama?! Mama aku itu orang baik! Jadi otomatis dia bukan mama kamu!”

Orang itu menyeringai. “Berarti, istilah `seseorang adalah cerminan jodohnya` itu salah, dong. Karena mama kamu yang baik itu udah menikah dengan laki-laki yang nggak baik.”

“Karim!” Aya makin geram.

“Kenapa? Apa yang salah? Aku atau istilah itu? Atau mama kamu yang salah karena...”

“Cukup! Sekarang jelasin apa lagi keperluan kamu, heh?!”

“Keperluan? Ehm...” Karim sok berpikir sambil memantapkan kesantaiannya dengan menyalakan melodi di mobil itu. Namun, dengan hampir menyentuh tangan Karim yang `kotor` itu, Aya langsung mematikannya.

“Apa lagi mau kamu?! Apa sekarang kamu minta aku nyakitin orang yang paling nggak aku suka?! Kalau gitu aku akan ngelakuin itu dengan senang hati karena orang itu ada di depan aku!”

“Wesss! Hati-hati, dong,” Karim terus saja dengan nadanya yang begitu menyebalkan. “Aku datang ke sini hanya untuk ngeliat adik aku aja, kok. Sekarang, kan, papa aku udah mati. Ibu aku... bahkan udah lebih lama matinya.”

Aya diam, sudah lelah menghadapi Karim.

“Aku pengen liat gimana keadaan adik aku setelah berhasil menyakiti perasaan orang terdekatnya. Dan ternyata... masih keliatan seger. Kayak nggak ada beban,” sambung Karim.

“Heh! Justru kamu udah bikin aku penuh beban! Orang terdekat aku itu sampai sekarang marah sama aku. Di hari pertama, dia bener-bener nangis karena perbuatan aku. Mama aku pun kecewa dengan perbuatan aku. Dan bahkan... Bahkan sepupu aku yang satunya pingsan di kamar mandi dan hampir parah keadaannya karena baru dibawa ke rumah sakit setelah hampir sejam pingsannya. Semua orang yang aku sayangi jadi ngerasa terpuruk karena aku, tau!” air mata mulai meleleh di pipi Aya. “Dan Ridho... Aku nggak tau gimana perasaannya sekarang,” Aya menarik lengan kanan kemeja Karim. “Kamu nggak ngelakuin apapun ke dia, kan?! Dia baik-baik aja, kan?! Aku nggak akan maafin kamu kalau...”

“Dia baik-baik aja. Aku, kan, udah nebak kalau kamu bakal nyakitin orang terdekat kamu. Jadi buat apa aku nyakitin orang tersayang kamu itu?”

Aya memalingkan wajah. “Dari mana kamu tau kalau dia mau datang?”

“Dua pekan lalu, ada reuni akbar di pesantren,” Karim menatap jilbab Aya. “Aku rasa nggak perlu ngejelasin panjang lebar karena adik aku yang pinter ini bisa ngerti kronologisnya, kan?”

Memang benar. Aya sudah bisa memikirkan bagaimana alur cerita Karim. Mungkin di saat reuni, Karim sempat mendengar bahwa Ridho mengatakan pada orang lain tentang hal itu.

“Aku bukan orang yang pinter,” Aya memelas.

Sepertinya Karim mengabaikan perkataan `ukhti`-nya itu dan justru mengeluarkan sesuatu dari celana katunnya.

“Kamu ngerokok?!” tegur Aya.

“Iya. Kenapa?”

“Aku pikir anak pesantren itu nggak bakal ngelakuin hal kayak gini!”

“Loh, kamu sendiri bukan anak pesantren tapi pake baju gembrong dan jilbab gede,” balas Karim sambil menyalakan korek gasnya namun Aya tiba-tiba menghempaskan korek itu ke luar jendela di samping Karim.

“Nggak boleh ngerokok di sini!”

“Kenapa? Takut mobil ini meledak karena rokok? Nggak apa-apa, kali. Papa kita aja meninggalkan karena serangan jantung ngedenger gas meleduk.”

Wajah Aya semakin masam sementara Karim adem-ayem saja meski keinginannya untuk merokok urung.

“Lagian Si Ridho juga ngerokok.”

Lihat selengkapnya