“Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.”
Ridho dan Daeng Kama tiba di depan sebuah rumah panggung, disambut lebih dari 10 orang di teras serta tak kalah banyak orang-orang di jalanan. Ridho menciumi satu per satu tangan orang yang lebih tua darinya di rumah kayu yang jika ada orang yang berjalan akan terdengar decitan papan-papan yang menjadi lantai itu. Jelas berisik nuansanya karena ditambah dengan suara-suara memujidan membicarakan Ridho. Anak lelaki yang hadir di tengah penderitaan, lahir dengan penolakan, tumbuh tanpa impian, hijrah dalam kesepian, kini menjelma seorang yang diharapkan dan dielu-elukan.
Setelah lulus sebagai yang santri yang baik, di benaknya, amanah yang ditangguhkan padanya dulu telah padam. Selesai. Tak ada lagi yang perlu ia lakukan selain apa yang ia mau sendiri, membangun jalan dan istana untuk sembilan bidadarinya di surga. Itu saja. Benar-benar hanya itu. Enyahkan saja urusan dunia. Tinggalkan sampah-sampah yang biasa dipungut jika ditemukan. Tinggalkan cengkrama dengan siapa pun kecuali dengan ahli agama. Lupakan pakaian matching, enak dilihat, dan ber-harga. Cukup baju yang sangat sederhana dan makan tanpa kenyang. Pergi ke mana saja harus dengan tujuan agama. Komputer, handphone, kendaraan pribadi, alas kaki branded, tak diperlukan. Di dalam tas yang juga begitu sederhana cukup diisi oleh AI-Qur'an dan buku-buku agama, bukan map-map besar dengan dokumen tentang data statistik, laba, saham, kepegawaian, atau apalah namanya yang asing didengar, susah dilafal, dan tak diminta pula di akhirat. Tangan dan kaki cukup menggenggam niat dan doa. Kantong tak berisi tak apalah. Jika habis tausiyah dapat rezekinya, alhamdulilah. Rumah yang ditempati cukup ada lantai dan atapnya. Menolong yang memang membutuhkan hal baik, terutama fokus menolong ibu dan saudari-saudari yang sudah berada alam sana yang cukup bermain dengan waktu saja agar bisa memberikan tiket masuk jannah. Ridho tak sekadar sok tahu. Sembilan bidadarinya itu tak banyak modal untuk disegerakan ke Darul Ma'wa apalagi ke Firdaus. Mustahil mencegah amal mungkar, namun tak mustahil jika ingin beribadah lebih banyak. Tak boleh sampai terlupa satu detik untuk mengenal, berkawan baik, bersahabat dengan AI-Qur'an. Berusaha memposisikan diri seperti Rasulullah memposisikandiri, senantiasa meneladani beliau.
Catatan besar itu tak terjadi sepenuhnya. Ada beberapa baris catatan yang tidak terjalankan, terhapus sejak disadarinya akan suatu hal. Terhapus sejak didengar dan dipahaminya secarik ucapan. Oleh... dua orang akhwat.
***
Haura dengan handphonenya. Membaca chat-chat lamanya dengan seorang laki-Iaki. Senyam-senyum sesekali. Scroll... scroll... scroll... Begitu jauh scroll-annya hingga chat teratas sekaligus terakhir di mana Haura yang memulai chat itu.
“Assalamualaikum. Ini aku, Haura, yang kemarin ngasih nomor whatsapp aku.” tertanda lima tahun yang lalu dan diakhiri emoticon tertawa.
“Wa`alaikum salam. Iya, saya tau,” balas orang yang berusia empat puluh tahun lebih tua dari Haura itu.
“Janji, kan, untuk selalu nepatin janji?”
“Iya, dong.”
“Yeyyy! Hidup Om Kama!”
***
Sudah berkuliah satu tahun di kota yang sama dengan kota pesantrennya, Ridho ditemui paman jauhnya, Kamaruddin. Pamannya itu mengatakan bahwa kabar sepeninggalan keluarga Ridho baru didengar oleh satu keluarga Daeng Kama dua tahun setelahnya. Kecelakaan itu saat Ridho di bangku kelas delapan dan ia merantau selulusnya dari SMP. Berarti Ridho sudah terlanjur merantau dan masuk pesantren di luar pulau saat baru dicari.
Mereka di Sulawesi sana menyegerakan mencari Ridho agar bisa dibantu dan tingga bersama. Namun bertahun-tahun dicari informasi dan keberadaannya, nihil. Anak dari Daeng Kama pun berhasil mendapat informasi bahwa nama Ridho terdaftar di dua universitas di pulau Jawa dengan mengetik nama lengkap Ridho di kolom search internet.
“Kenapa nda dari dulu kita coba begitu?” gerutu keluarga Daeng Kama.
Ridho berhasil dijumpai di kampus kedua oleh pamannya. Mereka berpelukan. Terakhir berjumpa adalah saat Ridho kelas enam SD.
Di masa perkuliahan itu, Rana masih berteman baik dengan Ridho, bahkan masih sering bertemu karena berkuliah di tempat yang sama. Suatu waktu, Rana dan adiknya, Haura, bertemu Ridho dan Daeng Kama di depan sebuah kios. Ridho pun memperkenalkan pamannya. Lalu Rana mengajak mereka ke sebuah restoran. Di restoran itulah Haura menjadi dekat dengan Daeng Kama. Bukan... Bukan dekat yang begitu... Bukan!
Daeng Kama usianya memang sudah di atas kepala empat, namun pribadi humoris, ramah,dan santai membuat siapa pun dengan usia berapa pun akan mudah menjadi temannya. Suasana di antara mereka berempat sangat ceria karena Ridho, Haura, dan Daeng Kama sama-sama suka melempar lelucon. Rana hanya menjadi penonton karena ia tahu bahwa ucapannya selalu garing bahkan sulit dipahami. Mungkin karena naluri orang pintar. Toh, tiga tahun kemudiannya, Rana memang lulus kuliah dengan nilai yang tinggi. Tak ketinggalan Ridho.
Menjadi sarjana, Ridho maupun Rana langsung bekerja. Kebetulan, mereka memiliki pandangan yang sama untuk tak bersekolah panjang. Mereka bernasib baik karena segera memeroleh pekerjaan. Haura yang masih 12 tahun saat itu berbeda.la ingin mengambil S2 bahkan S3. Dan semua orang harus S7 (setuju) dengan citacitanya. Begitulah celoteh si Haura.
“Eh, anaknya Om Kama ada lima,loh,” celetuk Ridho pada Haura yang meminta nomor Whatsapp Daeng Kama.
“Ih, Kak Ridho mikirnya aku mau sama om-om, gitu?” Haura cemberut.
“Oh, berarti mau sama anaknya? Nggak ada yang muda juga!”
“Ih, aku juga nggak mau sama anaknya, kok!”
“Sama keponakannya?” Ridho memasang wajah yang sok manis.
Rana yang tadi fokus dengan makanannya langsung menoleh ke Ridho. Barusan Ridho seperti menyindir Rana.
Saat Ridho ke toilet dan Rana kembali fokus dengan makannya, Haura berbisik pada Daeng Kama yang duduk di sampingnya. “Om, aku boleh minta tolong, nggak? Aku minta Om untuk selalu balas pesan aku di WA. Om jangan heran,ya? Aku mungkin bakal sering nanyain kabar Kak Ridho dan bahkan minta foto-foto terbarunya. Ok?”
“Ok. Tapi ...”
“Apa? Imbalan? MasaOm yang comel ini minta imbalan?”
“Bukan. Om nda tau cara pakai... Apa namanya ini? Wooot...? Waaat...?”
“Whatsapp!” sergah Haura, keras berbisik. “Lah, kok, Om punya akunnya? Bahkan handphone Om lebih canggih dan lebih mahal dari punya aku, loh.”
“Bapaknya pelit, tuh?”
“Pasti karena dia masih kecil... Jadi dibeliin yang kayak gitu dulu. Ntar kalo gede, beeuh! Harga handphonenya sama dengan gaji abah aku selama empat tahun dua bulan tiga puluh hari.”
“Ini handphone... Anak saya yang belikan. Anak saya juga yang buatkan beginian. Nda pernah saya pakai ini handphone kalau nda ada yang bantu saya.” Daeng Kama berlogat.
Ridho kembali. “Nah, mau sama anaknya?”
“Eh? Cuma karena bisa beliin handphone mahal, aku jadi mau? Aku bukan anak kecil yang murahan, ya!”
Ridho tertawa kecil. Haura cuek-cuek saja karena memang sudah biasa diusili Ridho. “Om, janji, ya?” Haura melanjutkan bisikannya.
“Iya. InsyaaAllah.”
“Pastiin juga handphone Om selalu terisi pulsa.”
“Kenapa harus ada pulsanya?”
Haura menepuk dahinya.
Sejak saat itulah, minimal sekali per dua pekan, Daeng Kama memberikan kabar tentang keponakannya. Bahkan terkadang Haura meminta fotonya sebagai dokumentasi. Alay plus lebay, Haura sadar itu. Namun ia sangat menyenangi Ridho dan berharap ia menjadi saudaranya. Lebih tepatnya, kakak ipar. Selesai membuang waktu dengan handphone, Haura membuka buku pelajarannya.la ingin meneladani Ridho dan melampauinya.
***
Matahari baru telah muncul, Rinan kembali ke rumah. Hampir sepekan ini, wajahnya terus sepucat langit hujan. Aya dan Dini biasanya segera membesuk, namun kejadian yang lalu seolah melarang mereka. Semua orang termasuk orang tua Rinan tak menahu apa yang membuat hati Rinan sukar dibahagiakan.
Aya tiba di kantor tempatnya bekerja sejak dua tahun lalu. Mobil yang rusak membuatnya harus mengendarai angkutan umum. Bus, pilihannya. Harinya penuh dengan yang namanya dokumen dan klien di mana ia tak pernah mengerti hingga menjadi geregetan dengan semua itu saat kecil dulu.
“Semua itu apa, sih? Apa yang kita lakukan sama semua barang lebar dan tipis itu? Klien-klien itu apa juga? Apa yang dilakuin di kursi hitam itu?? Apa yang dibicarain? Gimana bisa hal-hal itu bikin orang kurang tidur?”
Kini ia sudah bersahabatdengan semua itu.
Usai shalat Dzuhur di mushola kantor, Aya menyadari ada orang yang tak pernah ia lihat di kantor. Aya hendak melihat wajahnya namun orang itu masih shalat di depannya. Ia menunggu orang itu berdiri dan melepas mukena.
“Assalamu...” sapaan Aya terpotong karena orang itu langsung saja pergi untuk menggantung kembali mukena yang telah dipakainya. Merasa dicueki, Aya meneruskan langkah untuk keluar dari sana dan makan siang di kantin. Kebetulan kali ini ia hanyasendiri. Entah sibuk apa rekan-rekannya.
“Assalamu'alaikum,” sapa seorang perempuan pada Aya baru-baru saja mengecap pesanannya.
“Wa...” Aya terpaksa mengunyah dan menelan makanannya lebih cepat agar tak belepotan dalam berbicara. “Wa'alaikum salam.”
“Boleh duduk di sini?” kata perempuan yang di tangannya ada semangkok spageti dan segelas jus.
“Boleh.”
Makanan mereka berdua hampir habis tetapi tak pernah saling berbicara. Mereka hanya melempar senyum sesekali. Sangat kaku. Ini tentang orang yang telah lama pernah dilihat dan memberi sebuah kesan namun tak dikenali.
“Suka makan spageti, ya?”Aya membuka suara.
“Eh?” perempuan itu sedikit kikuk. “Saya dilarang makan mi, jadi saya makan beginian.”
“Bukannya sama aja, ya?” Aya mencoba untuk lebih ramah.
“Iya, sih. Nggak beda jauh. Tapi juga nggak sama, kan?”
Aya tersenyum mendengar nada menyenangkan dari orang yang ada di hadapannya. “Makasih, ya, kameranya.”
“Nggak perlu berterima kasih,” perempuan itu menyadari bahwa Aya ternyata juga mengetahui dirinya.
“Papa aku bilang, apapun itu, kita nggak boleh lupa berterima kasih sama kebaikannya orang lain.”
“Oh, begitu?”
“Percaya, nggak, kalau aku udah nyari kamu bertahun-tahun untuk bilang terima kasih?”
“Masa iya?”
“Aku nanya. Kok, kamu nanya balik?” Aya nyengir. “Percaya,nggak?”