Keadaan Rinan membaik. Nafsu makan dan bicaranya pun kembali. Aya dan Dini berkunjung. Bawa buah tangan serba coklat. Memang kesukaan Rinan. Kebetulan mamanya Rinan ingin ke suatu tempat. la menitip Rinan pada mereka.
Tiga akhwat itu duduk di sofa panjang bersama. Rinan diapit Aya dan Dini. Mengemil kue. Hanya televisi yang bersuara. Rinan yang berkuasa atas remotnya. Dan yang tak sengaja mereka saksikan adalah reality show yang membawa tema kesuksesan. Ringan meletakkan toples kue yang dipegangnya di meja di depan mereka lalu mematikan TV. Aya dan Dini diam.Lewat mata, tersorot rasa tak menyangka rupanya itu penyebab murungnya Rinan. Aya dan Dini gagal memelukRinan yang tiba-tiba saja berdiri.
“Bahkan aku harus terus diawasi. Aku ini udah lemah, bodoh, disangka gila juga. Seenggaknya aku nggak usah dipeluk. Nambah-nambah daftar kekurangan aku aja. `Manja`!” Rinan pergi. Tak sengaja kakinya sedikit tersandung pada kaki Dini. Namun Rinan tak sedikit pun menoleh.
“Jadi itu yang selama ini...?” desah Dini.
“Tadi...” Aya yang iba betul pada Rinan memikirkan hal lain pula.
“Tadi apa? Bukan 'nggak ada apa-apa', kan?”
“Ok, aku ketemu Ridho. Lebih tepatnya ngajak Ridho ketemu.”
“Apa?!” Dini berdiri dari sofa. “Kamu ngajak Ridho ketemu? Untuk apa?”
“Kenapa? Din, ini emang konyol, tapi aku rasa di antara kita udah nggak ada masalah lagi. Aku... menarik lamaran kemarin.”
“Menarik lamaran?”
“Kamu nggak usah ngulang-ngulang ucapan aku.”
“Tapi kamu mau menikah dalam kekonyolan?” Dini menatap masam Aya.
“Ya, ini konyol. Tapi ini mimpi aku. Kenapa kamu liatin aku kayak gitu?”
“Kamu nggak habis pikir, kamu minta seseorang yang udah kamu tolak untuk kembali ke kamu?”
“Apa ini malu-maluin?”
“Konyol dan malu-maluin”
“Terus kenapa? Seenggaknya aku bisa dapetin apa yang aku mau. Dulu aku nolak dia untuk menjaga perasaan kamu. Sekarang kita berdua udah baikan. Apa aku salah?”
“Ya! Kamu emang udah ngelakuin hal yang nggak bener!”
“Kamu munafik atau gimana, sih?” Aya yang bermaksud ingin curhat memicingkan matanya. “Ternyata kamu mau baikan sama aku karena aku nggak jadi sama Ridho? Sekarang kamu marah karena aku mau kembali ke dia?” Aya memutar matanya setengah lingkaran. “Menurut pemahaman sepupu bercadarku ini, apa itu munafik? Orang yang ada maunya?”
“Apa maksud kamu?! Menghina aku?”
“Prinsipnya, kalau kamu nggak bisa dapetin dia, aku juga nggak boleh.”
Mata Dini membelalak. “Nggak nyangka kamu ngatain aku kayak gitu.”
Aya berencana untuk pergi dari rumah Rinan, Dini mendahului. Tak mungkin Aya pergi juga. Siapa yang akan menemani Rinan? Tetapi jika ia tetap di sana, perasaannya juga akan terus terjepit karena Rinan sepertinya juga telah membencinya.
“Ok, jangan menyia-nyiakan waktu,” gumam Aya yang duduk bersandar di sofa. Aya mengambil lembaran-Iembaran penuh makna yang ada di tasnya. Disela bacaannya, Aya mengingat semua. Ridho yang dingin, Haura yang marah, pelayan yang kasar, Rinan yang tersiksa, dan Dini yang sakithati. “Ya Allah, rasanya aku kembali ke masa dulu. Sehari penuh dengan masalah. Tapi...” desahnya sementara hidung mulai menjambu, “Tapi... aku punya Allah yang sayang aku...” karena kepalanya tertengadah ke langit-Iangit, air mata mengalir melalui sudut matanya menuju telinga. Nada dering handphone mengusik.
Aya tergesa-gesa di lorong rumah sakit. Kecemasan di wajahnya entah mengapa bisa semendalam itu. “Mbak, saya yang tadi ditelepon. Di mana... Di...”
“Mbak Afyani?”
“Iya... Iya,” Aya ngos-ngosan.
“Di kamar sebelah sana, Mbak.”
Aya segera menarik diri ke kamar yang ditunjukinya. Namun ia berbalik lagi ke pengurus rumah sakit barusan. “Makasih, Pak.”
Aya menempelkan telapak tangannya di pintu. Melirik ke dalam lewat kaca berbentuk lingkaran yang melekat pada pintu itu. la pun masuk bersamaan dengan keluarnya dua titik air di mata sebelah kanan. “Abang...” ucap kecil Aya.
Aya duduk berlutut di samping Karim yang tengah menutup mata, memegang tangannya yang terlilit infus, dan mengusap bagian kepalanya yang tidak lagi diperban. Menangis.
“Abang?” tanya Karim yang dikira Aya masih pingsan.
Malu. Aya mengusap segera basah di pipinya.“A... Aku selalu berharap punya kakak. Tepatnya kakak laki-Iaki. Dan pengen banget panggil dia... abang.”
“Tapi kenapa dulu malah dipanggil orang jahat?” Karim terdengar lemah.
“Harus aku jawab,ya?” Aya sinis.
“Jawab aja pertanyaan yang sekarang, kenapa adik pintarku ada di sini?”
Aya menunduk karena semakin berderai air mata mendengar panggilan itu.
“Mbak, anda siapanya pasien laki-Iaki itu, ya?”
“Saya ... Ehm, memangnya kenapa, ya, Sus?”
“Setelah diperiksa, kepala beliau cukup parah, baikdi dalammaupun di luar. Jadi perlu untuk check-up minimal sekali sebulan.”
“Untuk masalah check-up, kasih tau dia langsung aja. Saya nggak tinggal sama dia. Jadi, catat nomor handphone saya aja. Hubungi saya untuk administrasinya dan kalau ada apa-apa kabari juga.”
“Baik, Mbak.”
“Aku, sih, nggak yakin orang kayak dia mau ngelakuin yang namanya check-up. Tapi semoga aja, deh.”
Kejadian di rumah sakit beberapa waktu itulah jawaban untuk Karim.
“Kenapa aku dibawanya ke rumah sakit yang ini, ya?” tersirat oleh Karim bahwa seandainya ia dibawa ke rumah sakit lain oleh orang-orang yang menolongnya di jalan raya tadi, ia takkan bersua Aya. Namun kebetulan rumah sakit itulah yang dituju.
“Karena kalau kamu sakitnya bukan di Singapura, jadi kamu juga dirawatnya bukan di City Hospital of Singapore!” Aya datar.
“Kok 'kamu'? Bukannya'abang',ya?”
“Nggak usah becanda, deh!”
“Kalau gitu, jawab dengan serius. Kenapa Afyani datang ke sini?”
“'Afyani?' Bukan 'Adik Pinter'?”
“Emangnya kamu nganggap orang ini kakak kamu?”