Pukul 02.41, tidur lelap terganggu oleh sebuah telepon. Tak lebih dari tiga menit, Aya sudah di ambang pintu. Bu Hani pusing setengah matidibuatnya.
“Aya?! Ada apa?!”
“Mama ikut aja kalau mama mau.”
Tak sulit untuk mendapat taksi langsung di depan rumah, tetapi itu selain di subuh hari. Perlu berjalan sedikit ke jalan yang paling raya untuk itu. Penerangan di jalan sangat minim. Kaki Bu Hani sempat terperosok ke dalam lubang di jalan. Alhasil ada sedikit goresan di kakinya.
“Ya Allah...” ucap Bu Hani seraya memegang tangan putrinya agar ia tertahan dan tak jatuh.
Suhu membekukan tulang. Aya dan Bu Hani menyilangkan kedua tangan, memeluk diri sendiri. Kemudian Aya merasa menabrak sesuatu dalam waktu 0,001 detik padahal di depannya benar-benar tak ada apapun. Apakah tadi itu angin keras? Apa itu adalah udara yang kebanyakan oksigen? Atau mungkin itu kali pertama Aya merasakan hal mistis.
Aya dan mamanya bergandeng tangan hingga di bawah lampu jalan jingga remang-remang, mereka berhasil menghentikan sebuah taksi.
Perjalanan yang sadis seramnya belum berakhir. Ada aroma asing tak mengenakkan dan temperatur dalam taksi itu lebih dingin. Rambut Pak Sopir yang gondrong tak terurus pun menambah kengerian di balik gelap. Menangisnya Aya pun terhambat oleh rasa takut. Zikir. Mereka terus berzikir. Lebih-lebih Si Mama. la tak mengerti ke mana anaknya ingin pergi sementara hari masih dini. Sempat terpikir bahwa Aya tengah di bawah alam sadar.
Tibalah merekadi satu-satunya tempat ramai dan terang di kawasan itu. Aya sudah lupa dengan keseraman tadi. Kini ia seperti cacing kepanasan di subuh yang beku, mendung pula. Kemudian datang seseorang tatkala ia baru turun dari taksi.
“Ridho! BangKarim? Bang Karim kenapa?”
Ridho bersikap tenang. la mengajak Aya dan Bu Hani untuk masuk. Aya menangis sebisanya. Ada apa lagi dengan Karim? Ridho di telepon tadi tadi hanya berkata,”Aya, datang ke rumah sakit tempat Karim.”
Untuk kedua kali dalam hidupnya, Aya diantar menyusuri suatu lorong rumah sakit dan tujuannya adalah kamar paling menyedihkan. Rasa hancur merayapi. Angin sesak masuk ke hidung, mengguntur di tenggorokan, mengamuk di paru-paru, suara tangis parau, membelah di udara. Bu Hani yang bahkan tak tahu siapa yang kemungkinan meninggal itu memeluk Aya. Sama hangatnya dengan pelukan sepeninggalan papa Aya. Bu Hani pengertian. la memilih mengurungkan pertanyaan-pertanyaan hingga Aya lebih tenang. Tetapi dilihat dari caranya menangis, tersimpul pikiran bahwa butuh waktu lama untuk menunggunya membaik.
Tetangga, kerabat, tokoh agama setempat, Dini, Rinan, serta orang tua mereka masing-masing, Rana, Haura, Ridho, dan Aya yang tak lepas dari pelukan mamanya baru saja selesai menyaksikan penancapan nisan. Usai habislah kerumunan pelayat yang beberapa di antaranya masih bertanya-tanya dari man anama Fian bisa tertulis di papan kubur yang mereka layat.
Aya masih duduk berjinjit memandangi nama Karim. Sendiri. la telah meminta agar mamanya lebih dulu pulang. Karim, rasanya baru kemarin bersama dengannya. Baru kemarin rasanya tertawa bersama. Dan benar, itu memang baru kemarin dan betul-betul hanya kemarin.
“Dia kakak yang baik,” selarik suara, Aya mendengar itu dari belakangnya.
“Dan aku adik yang jahat,” gumam Aya.
“Dia itu...”
“Kamu masih di sini juga? Jangan, Ridho. Aku nggak mau ada masalah baru,” Aya menunjukkan besar beban lewat bicaranya yang tersengut-sengut, tanpa menoleh ke Ridho.
Ridho mengangguk sangat lamban.
“Emangnya dia kayak gimana?” Aya sendiri yang malah mengajak Ridho
berbicara. ”Coba ceritain biar aku makin nyesel cuma sekian menit bisa samasama dia,” dan bahkan Aya sendiri yang ingin menambah larutan sedihnya.
“Entahlah. Pokoknya dia baik. Misalnya... dia yang membantu saya berlatih silat.”
“Coba aku tebak, berlatih dalam artian berantem?” sudut bibir Aya.
“Tepat,” datar Si Ridho seperti biasa.
“Ada lagi?”
“Apa lagi? Ehm... Katanya, cukuplah kota ini tempat tinggal dia.”
“Berarti dia cinta kesederhanaan? Nggak peduli mau tinggal di mana, nggak peduli nggak punya rumah, selama tanah dan langit kota ini masih bisa ditempati, itulah tempat tinggal.”
“Justru itu berarti tidak sederhana? Jelas-jelas tersirat bahwa dia mau seluruh kota ini. Serakah, kan?”
“Bukan cuma serakah. Dia juga kejam. Di rumah sakit subuh tadi, kamu bilang kalau dia nggak begitu peduli sama kesehatannya. Terus dia nggak punya temen yang cukup care, rumah, atau pun uang. Kejam sama diri sendiri itu nggak baik. Kita dilarang menzalimi siapa pun. Ridho, kenapa aku baru menerima dia? Kedatangan kamu ke rumah Dini waktu itu belum terlalu lama, kan? Saat itu adalah puncak benci aku ke dia.”
“Kamu menyesal baru menyayangi dia?”
“Iya... Tu... Tunggu dulu. Kamu jangan salah sang...”