Semua orang berada di rumah Rinan. Aya masih menyembilu di sofa ruang tamu. Tatkala para ibu berada di dapur dan ayah Rinan di ruang kerjanya,
Rinan berjalan dari kamarnya. Wajah datar dengan sedikit cemberut, mata yang
kosong, dan bibir yang rapat tak pernah lagi lepas selama dua pekan ini. Biasanya Rinan hanya keluar dari kamar untuk mengambil air minum jika teko di kamarnya sudah kosong dan hausnya sudah darurat.
Masih menangisi Karim dan memikirkan Ridho, Aya juga terus mencemasi Rinan. “Gimana kalau aku minta bantuan Rana?” Aya menyeka air matanya. “Dia pernah bilang kalau dia mahir di bidang konseling. Aku yakin dia bisa.”
“Apa bisa? Aku juga menggeluti bidang itu tapi nggak berhasil,” Dini datang. “Apalagi yang aku hadapi adalahsepupu aku sendiri.”
“Kita coba aja. Lagian mungkin Rinan nggak bisa membaik justru karena kamu adalah sepupunya,” terka Aya.
Dini agak tak senang mendengar hal itu.
“Maaf. Aku salah ngomong,” ucap Aya cepat. Ia sadar baru saja melafalkan kalimat yang tak tepat.
Handphone Rana berdenting. la tak langsung mengangkatnya. Matanya tertahan sepuluh detik membaca nama kontak yang meneleponnya. ”Halo... Assalamu'alaikum.”
“Wa'alaikumsalam, Rana. Kamu ada waktu?”
“Memangnya ada apa?”
“Maaf, aku mau minta bantuan kamu,” kata Aya. Lalu ia menunggu kalau-kalau Rana ingin berbicara lebih juga. Namun, hubungan di telepon itu malah bisu. Rupanya Rana justru ingin membiarkan Aya menyelesaikan ucapannya.
“Aku mau kamu ngebantuin dikit kalau bisa. Kamu pernah kerja konseling, kan? Sepupu aku, Rinan, mungkin butuh kamu,” Aya terbata-bata.
“Oh, gitu?” dalam hati, Rana bersyukur Aya tak mempermasalahkan urusannya dengan Haura. “In syaa Allah, aku mau.”
“Makasih, ya... Rana,” bicara pelan Aya membuat Rana tersadar bahwa Aya masih memiliki beban mengenainya.
“Rana teman kamu itu yang tadi ikut melayat?” tanya Dini setelah Aya menutup telepon.
“lya. Teman kantor aku.”
“Dari banyaknya teman kamu, kenapa hanya dia yang datang?”
“Dia emang yang paling deket sama aku.”
“Oh. Lalu Ridho? Kenapa dia bisa ada di rumah sakit dan ngurusin Karim? Selain itu, bukannya mereka musuhan?”
“Tadi subuh dia cerita, dia yang selama ini menjadi teman Karim di kota ini. Bukan temen, sih. Tapi mitra. Ridho nggak ngejelasin mitra dalam bidang apa. Aku juga nggak peduli soal itu karena pikiran aku lagi kabur. Tapi sekarang aku bertanya-tanya, kalau mereka punya hubungan kerja,kenapa Karim masih membenci Ridho sampai saat Ridho mau ngelamar aku? Di samping semua itu, rupanya Ridho peduli banget sama Karim.”
“Aku dan semuanya juga penasaran, kenapa kamu sedih banget? Kamu nggak begitu dekat dengan Karim dan kamu mengenal dia sebagai orang yang kamu benci bahkan meskipun dia saudara kamu.”
Lama Aya menjawab bahwa Karim adalah kakak tirinya dengan berbagai paradigma yang membuat Aya tersadarakan pedihnya menjadi manusia yang hidup sendiri dan dalam satu kurun waktu dibenci oleh adiknya. Sudah biasa Dini mendengar kisah anak yang terbuang, bahkan beberapa anak yang pernah ia bimbing mengalami hal serupa namun baru kali ini empatinya memanggil tangis.
“Di pesantren dulu, aku udah bisa ngertiin pemderitaannya, tapi baru sekarang aku bisa nerima dia. Dia ternyata membahagiakan. Andai masihada banyak waktu...” Aya terisak-isak lagi.
“Apa kamu...” ujar Dini yang terharu.
“Ih! Kamu nanya mulu, deh? Udah tau kalo aku lagi sedih, aku nggak mood ngomong,” Aya merebahkan tubuhnya ke sandaran sofa. “Dini! Dini!” Aya tiba-tiba memegang keras tangan Dini. “Coba kamu searching, saudara tiri itu mahram, bukan?”
“Kamu ngagetin, tau! Aku kira ada apa.”
“Ini apa-apalah! Aku nggak tau hukumnya. Haram atau dosa?”
“Haram atau dosa? Kamu ngaco ngomongnya.”
“Udah searching cepetan! Tangan aku lagi lemes,” sergah Aya dengan wajah gusar yang kuyup oleh air mata.
“In syaa Allah tanpa aku searching, aku bisa jawab.”
“Apa, dong?”
“Haram, sih, setau aku.”
“Hhhh...” desah Aya. “Astaghfirullaah,” katanya pelan.
Lalu Aya tersentak lagi, Dini terhenyak kembali. Aya sepertinya mencari sesuatu. Segitunyakah kegundahan yang dirasakan Aya sampai-sampai terlihat seperti sedang depresi?
“Apalagi, sih, Aya?”
Aya belum menjawab, Rinan lewat dengan membawa teko penuh air minum. Belakangan ini sebenarnya ia tak suka untuk mengangkat benda yang kendati hanya berat sedikit. Namun Rinan tetap datar dan tetap menjadi pusat perhatian keluarganya.
“Kalau aku ngomel atau berisik, dia pasti teriakin nama almarhum papa aku. Akhirnya, aku diem. Hhh... tapi sekarang dia berubah.”
“Apa kamu tau karena apa?” tanya Dini meski ia telah lelah menanyakan itu. Aya sendiri sudah paham seratus persen setelah di pemakaman tadi. Ternyata ada dua hal yang mengubah kepribadian Rinan; pekerjaan dan cinta. Keduanya menyatu dalam kata `masa depan`. Namun Aya tak mampu menjawab Dini untuk hal yang kedua. Lalu Aya kembali dengan permasalahan yang sebelumnya.