Aya menemukan handphonenya yang ia letakkan sendiri di atas kulkas di rumah Rinan. Ia menelepon seseorang. “Tadi malem, aku ngeliat video aku sama Karim. Aku baru sadar kalau ternyata Karim bikin video sendiri pas aku ke toilet. Di video itu... `Adik-adik`? Dia ngajar, ya?”
“Sudah lama sejak Karim bergabung dengan saya dan teman-teman saya di kelas informal yang kami buat sendiri untuk anak-anak yang tidak mampu,” ujar orang yang di telepon itu.
“Oh? Kalau gitu... Tolong kamu ambil video ini, ya? Karim nggak bilang langsung ke aku kalau dia bikin video ini tapi semalem aku rasa... ini pesan terakhir dari dia.”
“Ya.”
“Ehm, kasih aku alamatnya. Aku pengen ke sana, deh, kalau gitu.”
“Oh? Nanti saya kirim.”
“Jam masuknya? Siapa tau aku dateng pas nggak ada orang.”
“Setiap hari.”
“Setiap hari? Apa nggak kasian anak-anak itu?”
“Mereka justru sedih kalau sehari tanpa belajar.”
“Kalian semua pasti sibuk.”
“Kami saling berkomunikasi di WA. Yang tidak sibuk harus mengusahakan untuk datang. Jam mengajarnya juga tidak panjang. Maksimal tiga jam. Sudah termasuk makan, nonton, dan main bersama. Pokoknya seru.”
“Hhh...” Aya tersenyum tipis. “Apa yang aku denger ini adalah penawaran kerja?”
“Ini harapan dari anak-anak itu.”
Aya tertegun. “Ya, udah, Ridho. Assalamu`alaikum.”
“Wa`alaikum salam.”
“Apa makna dari semua ini, Aya?” batin Dini yang sedang berdiri di balik dinding.
***
Malam. Dahinya bertumpu di atas kedua lengannya yang terlipat di meja rias. Memejamkan mata bukan untuk tertidur. Membuka mata nantinya hanya melihat kegelapan.
“Hey!” Rinan menepuk bahu Aya lalu menarik kursi ke samping Aya dengan sikap pecicilannya. “Kamu kenapa?”
Aya baru membuka bibirnya, hendak mengawali kata dengan huruf `A`, saat Rinan kembali berbicara. “Jangan dijawab!”Palingan jawabannya; aku nggak apa-apa,” Rinan nyengir.
Melihat Rinan yang menggemaskan benar-benar kembali, Aya memasang mata manja, “Hhh... Rin, aku boleh ngelakuin hal yang udah lama nggak aku lakuin, nggak?”
“Selama itu nggak negatif.”
“Kapan, sih, Af-ya-ni berlaku negatif?”
“Selalu!”
“Kayak...” Aya menarik dan mencubit pipi kiri Rinan, “gini?”
Aya tertawa lepas. Sudah lama ia tak merasakan bahagia yang terlalu. Rinan meringis, menepuk-nepuk tangan yang bisa-bisa memelarkan pipi lebarnya itu. Karena pipinya serius agak sakit, mata Rinan tampak basah. Mata Aya juga. Bukan karena ia dibalas oleh Rinan. Aya terharu.
“Tapi aku boleh tanya, nggak, kena...” ujaran Aya terpotong.
Rinan tampak dengan wajah flat menakutkannya, “Nggak boleh.”