FII AMANILLAH

Husnulispedia
Chapter #22

21) PECAH

Rana menghampiri Aya yang telah turun dari mobil di depan rumah Rinan. Ia masih membawa sesuatu yang menggundahkannya.

“Kamu kenapa, sih, Ran?” tanya Aya.

“Aku... ngerasa bersalah sama kamu.”

“Setelah Haura, kamu juga...”

“Haura ngerasa bersalah karena udah salah sangka. Sedangkan aku... Aku udah bikin Ridho melepas yang terbaik untuk dirinya. Kamu, Aya.”

Aya seketika memegang tangan kiri Rana dengan sedikit geram pada sikap merendah Rana. “Rana! Ridho sendiri yang memutuskan apa yang dia lakukan. Ridho mencintai kamu.”

Rana menunduk.

“Ridho memang sempat melamar aku tapi pada akhirnya kamu adalah ujung dari langkahnya itu!”

Rana langsung memeluk kawan barunya itu. “Aku nggak tau kenapa aku gelisah kayak gini. Tapi kalau emang semuanya baik-baik aja...”

“Iya, semuanya baik-baik aja!”

“Terima kasih.”

“Jangan berterima kasih kalau ini tentang dia. Aku akan terima semua kasih dari kamu kalau ini tentang persahabatan. Dan peran aku sebagai sahabat sama sekali bukan dengan merelakan seseorang tapi dengan berusaha membantu kamu menghilangkan kekacauan di pikiran kamu.”

***

           Rinan berlari menuju kamarnya. Air mata melelehi pipinya. Pintu ditutupnya kasar namun tak dikunci. Malas untuk itu. Panas rasanya kepala. Saking gerahnya, jemari ingin mencengkeram sesuatu. Bukan. Ia ingin menghempaskan. Meja rias dengan cermin yang cukup lebar adalah sasaran. “Aku...” Rinan menyentuh permukaan tepi cermin. “Udah bikin...” Dialirkannya seluruh tenaga ke telapak tangannya. “Ridho...” Meja rias itu mulai menjorok ke depan. “Melepas yang...”  Miring 45 derajat. “Terbaik untuk dirinya...” Suara bergenderang sampai di telinga orang-orang yang masih berada dalam satu atap. “Kamu, Aya.” Kaca bertubrukan dengan lantai, terpental berserakan. Berbahaya. Namun Rinan, ia hentak-hentakkan kakinya saking tak peduli akan serpihan-serpihan tajam yang pecah dengan ukuran besar hingga yang tak kasar oleh mata.

           Sama seperti saat yang telah lalu, orang-orang berkumpul di depan kamar yang selalu menjadi sumber kebisingan. Sempat diketuk dua kali, ternyata pintunya bisa dibuka dan Rinan didapati duduk di lantai dengan kedua kaki dilipat keluar. Air matanya juga tak berhenti keluar, menetes jatuh di punggung tangan. Rinan lebih meracau dari yang sebelumnya. Makin mengkhawatirkan.

           Karena memang mengenakan alas kaki di dalam rumah, Aya, Dini, dan mama Rinan langsung menghampiri Rinan dengan tetap berhati-hati. Kaca-kaca itu berhambur lepas di lantai.

           Rana mendengar keributan sesaat sebelum ia ketuk pintu rumah Rinan. Ia memutar balik mobilnya untuk membawakan sayur belanjaan Aya yang terlupa. Tak pikir panjang, Rana masuk begitu saja ke tempat yang terdengar suara cemas wanita. “Assalamu`alaikum!” Rana sempat mematung hingga ia pun melangkah cepat ke sisi Rinan. “Rin, kamu a...!”

           Sangat mengagetkan gerak Rinan. Semula ia hanya terus menunduk tak peduli dengan mama dan sepupunya. Lantas ia mendorong keras lengan Rana yang bahkan tak sempat duduk berjinjit sempurna. Rana tentu terhempas ke belakang. Telapak tangannya menggesek lantai yang penuh biji-biji tajam. Masalah belum selesai. Retakan besar mengiris bagian bawah mata kanan Rana.

           Keadaan semakin sulit dan mengkhawatirkan. Aya segera membantu Rana berdiri sementara Dini sekencang mungkin berusaha menemukan kain untuk membalut luka di lemari dekat dapur. Sebelum menggapai wastafel, dipasangnya resleting cadarnya di sisi pipi kanan.

           Aya sudah di ambang pintu seraya merangkul Rana saat Dini datang dengan sehelai kain tebal dan basah. Rana yang mulutnya merintih seperti sedang sesak napas menerima kain itu untuk membalut matanya. Aya menyerahkan Rana pada Dini dan merogoh tas kecilyang diselempang Rana untuk mengambil kunci mobil.

           Sesekali Aya menoleh ke belakang, kursi penumpang. Sambil menyetir, ia menangis. Yang paling dicemaskannya adalah kawannya itu. Dini yang juga menangis terus menahan kain di mata Rana agar tak terjatuh. Dini pun menarik pelan kepala Rana untuk bersandar di bahunya. Seluruh tubuhnya pasti sedang lunglai hampir total. Rana sendiri masih merintih seperti orang yang sulit menemukan oksigen, saking sakitnya saat itu. Sesekali terucap nama Allah. Tersirat akan permohonan kesembuhan sekaligus ampunan karena sakit yang ia dapat.

           Perawat di rumah sakit, untunglah sangat sigap membawakan kursi roda agar tubuh Rana tak terguncang saat dibawa ke ruang pengobatan yang bisa berdampak pada luka di matanya.

           Aya membuka layar handphonennya. Membuka daftar kontak. Menoleh ragu pada Dini di sampingnya. Mata Dini secara simbolis mengangguk. Nomor yang Aya hubungi berhasil ditembus. Tinggal menunggu seseorang mengangkatnya.

           Bercak merah masih belum dibersihkan. Serpih-serpih tajam itu juga hanya angin yang menyentuh-nyentuhnya. Rinan masih mematung melantai di tempatnya sedari tadi dengan kepala menunduk, tak bisa berhenti meleleh air di wajahnya. Mama Rinan tak melakukan apa-apa. Tak minat merapikan semua, tak minat juga berbicara pada putrinya. Bahkan ia tak mampu untuk sekadar merangkul saking tak habis pikirnya atas perbuatan putrinya. Sang mama lebih memilih untuk duduk di kasur.

           “Bukan hanya perbuatan kamu kali ini, Rinan. Tapi semua! Semua yang kamu lakuin dan semua sikap kamu selama ini! Mama capek, Nak. Batas kesabaran adalah saat Allah yang menghentikan, tapi kalau kamu terus begini, ngeliat muka muram kamu aja, mama udah capek! Kamu liat? Orang yang harusnya nggak pernah menyerah untuk anaknya, sekarang jelas-jelas bilang kalau matanya nggak sanggup melihat anaknya.”

           Rinan bergeming.

           “Itu anak orang, Rinan! Kamu apain dia?! Kasian dia! Mama nggak tega ngeliat dia berdarah kayak gitu.”

           “Mahhh...”

“Telapak tangannya... Matanya!”

“Mama...”

“Mama nggak tau, apa kaca-kaca itu juga menembus kaki sama betisnya?”

“Aku juga berdarah, Mah.”

Mama Rinan berhenti berucap. Hatinya getir mendengar keluh itu. Merasa bersalah atas ocehannya. Serba salah dengan yang harus ia lakukan.

“Kaki dan betis aku berdarah...”

Salah Rinan sendiri, tetapi akhirnya kalimat itu menggerakkan tubuh sang mama untuk meninggalkan tempatnya duduk, berusaha menggapai bahu putrinya.

Lihat selengkapnya