FII AMANILLAH

Husnulispedia
Chapter #23

22) Pada Aya


“Wa`alaikum salam,” dibukanya pintu oleh Dini. Terkejut sedikit melihat yang datang.

“Saya dapat chat dari Aya. Memangnya ada apa?”

“Aya nggak ada di sini.”

“Oh??” Ridho agak bingung.

“Ehm, tapi handphonenya ada di meja ruang tamu, sih. Mungkin dia pulang setelah kirim chatnya.”

“Tapi kenapa dia pulang padahal dia ada urusan?”

“Karena aku, Ridho,” Rinan muncul di belakang Dini dengan mengenakan khimar hijau tuanya. “Aku...”

Sebuah taksi berhenti di depan. Seseorang keluar, tampak menggeleng kecil saat melihat Ridho berdiri di ambang pintu. “Aku bilang juga apa. Kamu akan ngelakuin sesuatu kalau aku simpen begitu aja handphone aku di sini,” ujar Aya sesampainya ia di samping Ridho.

“Kamu sengaja?” tanya Rinan, suaranya hampir tak terdengar.

“Waktu aku baru aja sampe di rumah, aku berpikir kalau yang aku lakuin itu salah. Agak nyebelin, sih. Aku harus bolak-balik karena ini.”

“Aya...” sahut Ridho. “Biarkan Rinan... meneruskan apa yang mau dia bilang. Barangkali ada gunanya juga kamu menyimpan handphone kamu tadi.”

Dini terkaku mendengar ikhwan yang pernah (dan masih) ia harapkan. Aya merasa malu terhadap Ridho atas celotehnya tadi. Rinan tak menyangka jika kehendaknya sangat dihargai dan di-husnudzon-i oleh . Tiga akhwat itu terhenyak bersama tanpa janjian.

Rinan menarik napas sedikit. Pikirannya agak berputar-putar. Luka-luka di kaki, betis, dan tangannya yang telah dibalutkan perban oleh sang mama masih sangat begitu perih. Benar-benar tak mengenakkan keadaan yang ia tengah dirasakannya. “A... Aku... Maaf atas kejadian yang menimpa Rana,” Rinan menekuk wajah. Ingin sekali ia segera pergi dari situ.

Ridho diam. Rinan menjadi makin tak enak hati.

“Maaf itu perlu, kan? Itu yang perlu aku bilang sekarang,” Rinan berkata pelan. Tetap dalam pose menunduk sedikit.

Ridho tersenyum. “Iya. Ada lagi?”

Aya dan Dini agak tak enak jika membiarkan Ridho berlama-lama di rumah Rinan. Barangkali Ridho sedang ada urusan penting namun sepupu mereka malah menyebabkan Ridho melakukan penundaan.

Rinan tak mampu menggoreskan senyum meski hatinya sedang senang-senangnya karena seperti dipedulikan meski hanya sesepele itu. Kemudian Rinan bertanya, “Kapan tanggal pernikahannya?”

Rinan tak tahu mengapa ia sangat menanyakan hal itu. Hal yang terbilang privasi itu. Namun tak ada maksud untuk datang ke acara akad atau resepsi nanti sebagai pengganggu bahkan pengacau. Cukup kamarnyalah yang ia obrak-obrik. Rinan benar-benar sekadar ingin tahu.

Ada empat macam hal dalam persoalan manajemen waktu yang Rinan kutip di sebuah kegiatan tarbiyah setahun yang lalu dan masih ia ingat: penting-mendesak, penting-tidak mendesak, tidak penting-mendesak, dan tidak penting-tidak mendesak. Rinan menganggap bahwa ini adalah pertanyaan yang tidak penting dan tidak mendesak namun relungnya ingin menanyakan itu. Pula ingin memastikan kebenaran jika yang ia dengar kemarin dalam percakapan antara Aya dengan Rana di depan rumahnya memang nyata.

Mengenai pertanyaannya kali ini, sayang sekali tak ada jawaban. Di antara Aya, Dini, dan terkhusus Ridho, tak satu pun yang bisa mendengar suara batin seseorang, siapa pun itu, termasuk suara batin Rinan barusan. Mereka semua yang berada di ambang pintu luar dan dalam itu hanyalah manusia dengan five senses.

Aya risih sendiri. Melihat Rinan hanya melamun, ia cepat-cepat menegur. “Rinan, apa lagi yang kamu perluin?”

Rinan segera membangunkan diri dari lamunan. “Aku juga mau bilang terima kasih atas tindakan kamu, Ridho, yang selalu baik,” Rinan agak menaik-turunkan kepalanya, seperti sedang mengangguk. “Itu aja. Eh, makasih juga udah mau dateng.”

“Ya, udah. Alhamdulillah, aku lihat kamu sekarang udah baik-baik aja. Sehat-sehat ya. Maaf nggak bisa lama. Saya sekarang pulang dulu. Assalamu`alaikum,” Ridho berbalik dan pergi menuju mobil hitamnya yang jarang terlihat kusam.

Rinan melangkah ke depan hingga ia tepat berada di teras. “Maaf juga kalau dari tadi bicaranya cuma di teras,” Rinan bersuara kecil. Ridho sendiri pasti masih bisa mendengarnya meski sudah berjarak beberapa meter jauhnya.

Belum hilang mobil Ridho dari pandangan, Rinan sudah berbalik untuk masuk ke rumah lagi, bersitatap dengan kedua sepupunya. Pada Dini lebih lama. “Ya, ada banyak hal yang mau aku bilang tadi. Tapi nggak ada satu pun dari banyak hal itu yang aku ucapin. Aku sendiri baru sadar kalau SMS itu bikin aku keliatan kekanak-kanakan dan kayak orang gila,” kemudian Rinan menarik matanya menuju Aya (lagi). “Maaf kalau insiden handphone itu meresahkan. Tapi... aku bukan anak kecil. Aku sehat. Aku normal.”

***

Baru saja Rana menunaikan shalat Magrib usai bersuci dengan tayammum. Sekarang ia mengambil Al-qur`an dengan cover yang ia design sendiri lalu minta dibuatkan melalui onlineshop. Ia mengaku pada hatinya bahwa kegelisahan tengah mendeburi. Ada apa dengan Rinan? Itu yang sedari tadi ia pikirkan. Kendati begitu, pemberian maaf tetap terlantun. Yang bisa dilakukan hanyalah memaklumi keadaan yang menjangkiti Rinan.

Menyelinap masuk ke kamar Rana, Haura mengetuk kepala kakaknya dengan jari terlunjuk. Rana yang tadi termenung memberikan tatapan malas.

“Ibu bilang, Kakak tetep mau ke kantor, ya,?” tanya Haura dengan mata yang masih sedikit terkantuk.

“Iya. Ada pekerjaan yang nggak bisa diwakilin. Tapi in syaa Allah, kalau udah selesai, Kakak bakal minta izin pulang cepet. Lagian mata ini nggak ngaruh dan nggak ngeganggu, kok. Kakak sanggup buat kerja sampe jam pulang biasanya.”

“Iisshh, aku tetep aja khawatir. Kakak, kan, nggak bisa nyetir dengan baik karena tangannya juga luka-luka!”

“Kamu ini,” ditariknya hidung Haura. Tak begitu sakit bagi Haura sebab tangan Rana masih lemah karena luka. “Masa kamu nggak bisa mikir, sih, kalau Kakak bisa naik taksi?”

Haura nyengir. “Janji, ya! Nanti pulang cepet!”

“In syaa Allah.”

“Kak! Inget, ya. Ngucap 'in syaa Allah' itu berarti bakal berusaha buat nepatin janji, bukan cara alternatif buat nolak.”

“Bagus.”

“Apa yang bagus?”

“Bagus kalau kamu selalu inget nasihat dari orang lain.”

“Oh, kirain mau ngejek-ngejek lagi.”

“In syaa Allah, Kakak nggak akan selalu ngejek kamu, usilin kamu.”

“Nah! Gitu, dong!”

“Kakak bakal beralih buat sering nyubit kamu, haha,” Rana menjepit lagi hidung Haura.

“Kaaak!”

***

Aya dan Rana berpapasan di lobi kantor. Rana baru saja sampai dan hendak masuk ke kantor sedangkan Aya teriris jari manis kanannya oleh pemotong selotip (perekat kertas) sehingga harus ke kedai kecil untuk membeli plaster tanpa mau merepotkan OB. Rana jadi tak enak ketika Aya sama sekali tak melirik padanya. Rana segera meyakinkan diri sendiri bahwa ia memiliki kesalahan yang tidak ia sadari. Padahal Rana sebenarnya hanya tak melihat luka di jari Aya dan tak tahu jika Aya sedang terburu-buru.

***

Rinan masih terlelap sejak ia tertidur kembali usai shalat subuh. Wajahnya yang begitu manis terus dipandangi oleh sang papa yang memutuskan untuk tidak pergi ke tempat kerja dulu. Ia teguh dengan janjinya pada Rinan, putrinya yang tak henti mengadu kesedihan di pundaknya semalam. Rinan melaporkan bahwa semua orang tidak lagi menyayanginya. Semua orang membenci keadaannya. Rinan masih pulas saat papanya mengakhiri ingatan tentang putrinya yang tak bisa ditebak apa yang selama ini menjangkiti hatinya. Rinan memang bersikap aneh. Namun sang papa berusaha berdiri menjadi orang yang paling mencintainya meski hati juga sama dengan yang lain, bergejolak. “Ya Allah, kenapa putriku ini? Hamba lelah dengan keadaannya.”

***

“Assalamu'alaikum,” Aya menyapa begitu ramah dari balik dinding tempat Rana bersinggasana di kantor.

“Wa... 'alaikum salam,” jawab Rana setelah sempat terhenyak.

“Gimana caranya kamu nulis dan ngetik kalau tangan kamu penuh perban? Sakit juga, kan, kalau terlalu kena tekanan?” Aya begitu bersahabat kedengarannya. Tak seperti dugaan Rana sebelumnya.

“Alhamdulillah masih bisa meskipun emang agak lebih lambat, sih,” Rana tersenyum kikuk. Ia pun mencoba untuk menanyakan sesuatu dalam keraguan. “Ehm...”

“Sekali lagi aku minta maaf,” suara Aya melemah.

“Jangan mengandai-andai kalau aja ini nggak terjadi. Ini qadarullah.”

“Iya, Ran. Aku memang selalu diajarin untuk nggak suka bilang 'kalau aja' karena hal sepele ini bikin kita seakan nggak menerima takdir dari Allah. Sekaliii lagi aku minta maaf.”

Rana tersenyum. “Aku tau kamu juga selalu diajar untuk meminta maaf dalam keadaan tertentu, tapi kamu jangan terlalu berlebihan.”

“Oh iya, ya? Sekarang aku belajar dari kamu untuk nggak jadi orang yang berlebihan. Pantes aja sedari kecil aku orangnya sering heboh sendiri, ternyata aku cuma kurang mendalami yang namanya berlebihan. Padahal aku sering denger hadist yang bilang kalau melampaui batas itu gede hukumannya.”

“Oh, ya?” Rana berusaha lebih santai. Sesantai sikap Aya padanya. “Apa seorang Aya itu pernah lebay?”

“Lebay dalam segala hal. Lebay saat seneng, sedih, galau, apalagi marah. Dulu Ridho sering banget aku marah-marahin dan ya ampun dia flat-flat aja. Kebayang, nggak, ka...” Aya mengakhiri ketusannya, sadar lebaynya keluar. Apalagi yang ia bahas adalah calonnyas Rana.

Sangat pengertian. Rana tersenyum asik. “Bawa santai aja, kali!”

Sekarang terasa sulit bagi Aya untuk melengkungkan kembali bibirnya. Patah-patah. Berakhirnya sebuah tawa, canda, dan senyum selalu menjadi pertanda sesuatu yang menegangkan dan menakutkan atau semacamnya hadir. Rana kaku lagi. Ia benar-benar akan melontarkan pertanyaannya.

“Apa seseorang nggak terima hubungan aku dengan Ridho?”

Bergemetar hati Aya. Akan bermasalahkah jika dijawabnya? Sementara menunggu lisan Aya, Rana sibuk menyalahkan diri. Memang tak mau ia tanyakan hal ini. Akan menyakitkan jika ia tahu dugaannya benar. Pula narasumbernya akan dibuat sakit kepala bahkan berniat untuk berbohong. Tentu Rana tak ingin menjadi alasan seseorang berlaku dosa. Tak ada cara untuk mengulang putaran waktu. Sudah terlanjur ia lantunkan. Tinggal tunggu sahutan.

“Ya.”

“Aku udah pikirin ini. Obrolanku dengan Rinan waktu itu... Cara Rinan mendorong aku...”

Aya dan Rana membayangkan detik-detik Rinan mengeluarkan emosinya. “Dia... mencintai... Ridho.”

Aya seketika melantangkan suaranya pada Rana. “Jangan peduliin itu!” Aya tak mau hal semacam itu membolak-balikkan pikiran Rana hingga memutuskan untuk membatalkan ihwal ke depannya. “Nggak usah pikirin perasaan orang lain. Jalani sesuai rencana kamu. Aku tau kamu orangnya gampang iba, gampang berela hati. Tapi ini hal penting bagi kamu. Jangan sampai kamu ngelakuin yang nggak-nggak. Ok?”

Pancaran mata Rana lemah. Aya tak suka ekspresi putus asa sahabatnya itu.

“Aku harus pulang cepat,” ketus Rana.

Yang muncul di kepala Aya usai mendengar perkataan Rana barusan adalah semacam hal yang mengerikan. Rana ingin pulang cepat karena mungkin persiapan yang sedang berlangsung di rumahnya ingin segera ia hentikan.

“Aya, jangan berlebihan. Tenang aja, ya?” Rana mulai mengemas pulpen, tip-x, sticky note, buku catatan kecil, dan handphone ke tote bag-nya. “Assalamu`alaikum.”

Rencana yang terangkum tadi pagi untuk temani Rana pulang, Aya urungkan.

***

Haura pulang dari sekolah dengan suka cita yang tak berperi. Ia langsung memeluk ibunya yang tadi ditelepon pihak event organizer untuk memberi tahu bahwa mereka akan segera ke rumah kliennya itu.

“Makasih, makasih, makasih, makasih, makasih, makasih...” Haura memeluk erat ibunya.

“Ini anak kenapa, sih?”

“Makasih banyak, Bu. Titip makasih juga buat bapak.”

“Sini, sini,” Bu Mairah menarik tangan Haura untuk duduk di sampingnya. “Ada apa?”

“Makasiiiih banget. Aku nggak habis pikir kalau aku adalah orang yang beneran beruntung. Bu, aku nggak tau apa semua yang bernapas di dunia ini punya harapan dan target yang besar, tapi aku beruntung banget bisa jadi satu dari mereka yang bisa capai sesuatu yang super. Makasih!” Haura kembali mendekap. “Kalian kasih aku dukungan, doa, sarana, dan kalian turutin semua yang aku mau terutama kalau ada seminar, workshop, pelatihan. Kalian nggak pernah berat dan nggak pernah marah kalau aku lebih mentingin urusan aku sendiri.”

“Itu karena yang kamu lakuin juga positif, sayang.”

“Aku udah sebutin semua kebaikan kalian dan hanya beberapa orang yang kayak gitu. Aku bahkan tadi dapat penghargaan di sekolah tadi atas karya-karya aku. Aku udah punya butik hijab dan industri kerajinan tangan kertas yang produknya sampai ke luar negeri. Itu karena aku punya kalian.”

“Ini berkat cita-cita yang kamu ambisikan dengan intensitas yang ensiklopedis lagi semampai.”

Haura senyum, terenyuh. “Itu... kutipan di novel aku yang ibu buat. Novel itu juga sukses, Bu. Syukron. Jazaakallah khoir, my jamilah mom.”

***

Rana mematung sejenak setelah taksinya berlalu. Dari depan rumah, ia menyaksikan hari pertama persiapan. Namun ia lebih menyebutnya hari mengutak-atik rumah.

Sang ibu menghampiri meski Rana sendiri tengah berjalan menuju dirinya pula. Buang-buang tenaga. Rupanya tak ada lelah. Ini awal dari kebahagiaan hakiki yang baru.

“Kerjanya lancar, Nak?” Rana dirangkulnya.

“Alhamdulillah, Bu.”

Ibu Rana mengambil handphone di roknya. “Nih, kamu pilih desain undangannya.”

Tak butuh waktu lama untuk Rana menggeser dan memilih desain di layar handphone ibunya. “Ini. Ibu setuju, kan?”

Senyum ibunda Rana makin sumringah. “Ibu banggaaa sekali punya kamu. Sederhana tapi pintar. Pilihan kamu di antara desain-desain undangan ini menunjukkan itu. Lihat yang kamu pilih. Simpel tapi elegan.”

Rana sejenak menunduk polos sementara lengannya dielus. “Ini bermula sejak aku belajar menyamakan, Bu. Menyamakan. Yang sama katanya jodoh.”

Bu Mairah tersenyum. “Dia... Dia orang sederhana yang pintar.”

Rana flashback. Ridho pernah berkata ingin langsung bekerja selulusnya jenjang sarjana kendati tetap menjalankan usaha-usahanya yang sudah berjalan dua tahun terhitung sejak ia kuliah semester satu. Di situlah pertama kali Rana mencoba menyamakan langkah.

“Nih, kamu ambil handphone Ibu dan hubungi kembali percetakannya. Ibu mau masuk dulu.”

“Aku pake handphone aku aja, Bu.”

“Ya udah...”

Rana kini sendiri di halaman rumahnya. Sepi di antara banyak orang yang lalu lalang bekerja. Pelan ia ambil handphone di tasnya. Memecahkan sandi, membuka instagram, pencarian, di-klik-nya akun percetakan itu. Semua jemari berdiam lagi sementara nomor WA di bio akun itu menanti untuk disalin.

“Rana!” Bu Mairah berlari pelan dari dalam rumah. Ia datangi lagi Rana di halaman. Diceritakannya bahwa tante Rana dari keluarga bapaknya mengalami gejala stroke dan baru saja mendapat perawatan di rumah sakit.

Pekerja diminta berkemas. Besok aja dilanjutin lagi, ujar ibu Rana. Di taksi, diam Rana tak sama dengan ibu dan adiknya. Ia bukan termenung sepenuhnya karena memikirkan tantenya. Ini tentang harap yang sepertinya terkabul langsung. Bahkan di rumah sakit, Rana adalah orang yang paling pertama keluar dari kamar pasien. Ia termangu didatangi ibunya di kursi ruang tunggu.

“Udah kamu hubungi?”

“Ehm, belum, Bu.”

“Kenapa? Perasaan, kamu hampir sepuluh menit megang handphone di halaman tadi baru setelah itu Ibu dateng dan ngasih tau tentang tante kamu.”

“Ehm... Tadi...”

Lihat selengkapnya